25

330 24 0
                                    


Menarik beberapa ratus kilo meter dari rumahnya. Mina berhenti disebuah halte bus. Tubuhnya langsung ia jatuhkan di kursi dingin halte itu.

Apa yang bisa ia lakukan lagi?

Ia sungguh tidak berguna dan sangat bodoh!

Beberapa kali Mina merutuki dirinya sendiri. Meski pada akhirnya ia menyemangati dirinya sendiri. "Tidak apa, waktu akan terasa begitu cepat. Sampai hari bahagia itu datang, dan kita akan melupakan kenangan buruk ini."

Dan tanpa sadar. Hujan deras turun ditempatnya berada. Udara dingin itu semakin menusuk ke dalam tulang. Sampai suara gemuruh petir menenggelamkan suara isak tangis milik Mina. Ia ingin menghilang saja dari muka bumi ini.

Kepala Mina terangkat saat teringat kejadian saat saat dulu. Ingatannya kembali berputar kepada tangan yang selalu hadir disaat ia terluka. Dan sekarang, meskipun ia sudah kehilangan tangan itu. Apakah dirinya masih diberi kesempatan oleh sang semesta?

Iya! Setidaknya ia harus meminta maaf dahulu sebelum benar benar menghilang dari muka bumi ini.

Mina beranjak dari kursi dingin itu sembari menatap nanar kearah pantulan cahaya yang jaraknya tak jauh dari tempat ia berada. Mina tau tujuannya sekarang. Ia kembali menarik koper sambil berlarian ditengah hujan untuk mencari sebuah ojek.

**

Tok tok tok...

Tok....tokkk...tokk.....!!!! Mina terus menepuk pintu rumah besar itu tanpa henti. Untung saja Pak Amrin tidak punya dendam padanya dan pada akhirnya membukakkan pintu gerbang untuknya. Tapi Pak Amrin tidak punya kunci rumahnya.

Tokkkkk!!!!!! Tokk—

Mina mematung bersama tangannya yang masih diudara. Ia lalu melambaikan dan memberi salam 'Hai' seolah tidak terjadi apa apa. Beserta senyuman yang kaku.

"Ssaya—!"

Brukkkk! Pintu kembali tertutup.

Mina memejamkan matanya sebentar. Lalu menarik nafas dalam dalam. Dia tidak akan menyerah.

"Pak! Saya tau bapak masih dibalik pintu kan? Beri saya satu kesempatan untuk berbicara pak! Banyak hal yang mau saya ucapin sebelum saya pergi. Kalau tidak, saya harus menanggung penyesalan ini tiada akhir."

Sedangkan Rafa didalam rumah sedang membaca buku dengan santai. Pakaian rajut yang ia kenakan sangat cocok untuk cuaca dingin seperti ini. Rafa terus membalikkan halaman. Sedangkan Mina diluar masih mengecoh. Suaranya bisa didengar olehnya.

"Mohon beri saya satu kesempatan lagi." terdengar seperti sebuah kata yang sangat putus asa.

Pakaiannya basah?

Krekkk......

"Pak?"

"Kenapa pakaianmu basah?" tanyanya dingin. Entah kenapa perasaan Mina semakin dilema takut Rafa tidak akan menolongnya lagi. Tapi niatnya memang hanya ingin meminta maaf saja bukan?

"Karena hujan. Saya cuman mau bilang—"

"Ayo masuk." titah Rafa yang selanjutnya langsung melenggang pergi begitu saja.

"Saya kesini..."

"Cepat ganti baju." Seru Rafa tanpa elakan lagi. Mina langsung bergegas menuju kamar mandi tamu. Dan tak lama langsung keluar lagi.

Mina melihat Rafa melewatinya menuju dapur dengan membawa dua plastik besar ditangannya.

"Mari makan dulu."

Mina mengikuti Rafa menuju dapur. Karena ingin mengutarakan apa yang harus ia sampaikan terlebih dahulu.

"Padahal saya udah kenyang loh pak. Maksud saya kesini bukan untuk makan tapi—"

Idih Pak BosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang