Bab 13

291 27 0
                                    


Jika ada yang bertanya soal bagaimana pendapat Mina tentang Rafa. Maka Mina akan menjawab Rafa itu bagai bunglon. Dia bisa berubah ubah. Dari yang awalnya kang ghosting jadi kang nyosor sampai kang lamar.

Main ngelamar tiba tiba disiang bolong.

"Aduh Pak saya pusing banget." Mina memegang kepalanya yang sedikit berdenyut. Mina dan Rafa sedang duduk di di teras depan.

"Belum diapain apain kamu sudah pusing?"

Mina menatap Rafa dengan menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa saya harus nikah sama bapak?"

"Kodratnya setiap manusia kan menikah." jawab Rafa santai. "Memangnya kamu punya calon lain selain saya?"

"Alasan yang paling kuat saya terima lamaran bapak apa?"

"Saya banyak uang! Saya baik! Jujur! Dermawan! Bijaksana! Rajin menabung juga." Mina melongo atas jawaban Rafa.

"Iya iya iya." Mina mengangguk anggukkan kepalanya.

"Saya belum siap menikah maaf pak." tolak Mina kali ini. Karena dirinya memang belum siap membangun rumah tangga. "Juga diantara kita engga ada cinta. Kita juga baru berkenalan. Ini terlalu tergesa untuk saya."

Rafa mengerti. Tak lama kemudian seseorang memanggil keduanya untuk makan sore. Karena perbincangan Mina dan Rafa sudah berjalan sampai sore hari.

**

Mina bangun pagi pagi kali ini. Ia melihat mamahnya yang membereskan pakaiannya dalam lemari.

"Punya anak gadis tapi bar bar kaya gini."

Mina mengupingnya dalam diam. Harinya sepagi ini kalau sarapannya debat siangnya bakal capek.

"Kenapa kamu tidak terima lamarannya? Agar kamu bisa terbebas dari semua ini."

"Mamah mau aku cepat pergi?"

"Jika itu yang lebih baik kenapa tidak? Lagi pula wanita kan seharusnya menikah. Biar ada yang bertanggung jawab atas dirimu sendiri."

"Apa gunanya rebahan terus? Lebih baik menikah. Jadi menikahlah dan cepat terima lamarannya. Kenapa menyia nyiakan laki laki yang baik." ucap sang mamah sambil pergi dari kamar Mina.

Menikah?

Apa ia harus menikah segera?

Apa menikah itu baik? Dan jalan satu satunya saat ini?

--

Brakk.....

Suara sandaran pada kursi kayu. Mina bersandar di kursi yang berada diwarung Icang.

"Oy Icang! Jangan ngena ngena terus lah! Kalian harus mikirin gue! Enak aja langsung bersenang senang tanpa inget gue!"

Mae keluar lebih dulu dengan cengirannya. Ia duduk disebelah Mina sambil memijat mijatnya tangan Mina pelan.

"Min Min mau minum apa?"

"Pengen pucuk pucuk,"

Icang langsung menyodorkan teh pucuk pada Mae untuk memberikannya pada Mina.

"Hatur nuhun Min Min," ucap Icang dan diangguki Mae dengan semangat.

"Teh pucuk gratis, sebagai hadiah atas perjuangan Min Min."

"Hadiah kok cuman teh pucuk? Kalian mah gitu gak suka aku nda suka!" rengek Mina manja.

"Ke urang ka pasar, Min Min terserah bade balanja naon oge." (Nanti kita ke pasar, terserah kamu mau belanja apa aja) ucap Icang dan disetujui oleh Mae.

Idih Pak BosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang