Chapter 4

69.7K 2.5K 21
                                    

Aku bangun tidur dan melihat keluar jendela. Ayam sudah berkokok walaupun langit pun belum bisa bangun. Aku bergegas ke kamar mandi untuk mengganti pembalut karena aku sedang datang bulan.

Setelah aku selesai, aku memutuskan untuk lari lari kecil di sekeliling desa sambil lewat depan rumah kepala desa untuk melihat keadaan Ryan. Karena sudah seminggu aku tidak bertemu dengan nya. Harus kah aku khawatir?

Aku terus melangkahkan kakiku dengan tempo yang cukup cepat. Sedang lah. Sebelum belokan ke rumah kepala desa, seseorang mengejutkan ku.

"Karin!" Ucap Akbar sambil menepuk pundak ku.

"Ah akbar! Kamu mau buat aku serangan jantung atau apa?" Kataku.

"Tidak, aku mau nya sih buat kamu jatuh cinta padaku." Aku diam malu atas jawaban nya. "Kamu lari sendirian aja? Gak ngajak ngajak aku nih? Sebelum aku pulang ke Jakarta." Lanjutnya.

Aku tertawa. "Gak ah males." Dan aku lari sambil menjulurkan lidahku. Dan dia menangkap ku di pelukan nya dari belakang. Dan kita tertawa terbahak bahak. Sungguh aku tidak mau kehilangan teman ku yang satu ini.

Saat kita tertawa tawa, aku menoleh ke belakang, dan melihat Ryan berdiri, diam terpaku, memandang aku dan Akbar yang sedang berpelukan. Aku spontan melepaskan pelukan ku dari Akbar. Dia menatapku lurus, tajam, dan kosong. Tatapan nya hancur. Mata nya berkaca kaca.

"Ryan?" Tegurku. Dia tetap diam memandang ku. Dan dia membalikkan badan dan pergi meninggalkan kita. Aku mengejarnya. "Ryan! Aku mohon. Jangan pergi." Teriak ku sambil mengejar nya. "Ada yang harus kita bicarakan."

Ryan menhentikan larinya dan menoleh ke belakang untuk melihat ku. "Apa yang harus kita bicarakan, Karin?"

"Kamu kenapa sih bertingkah sangat aneh akhir akhir ini?" Tanyaku.

Dia menunduk dan menggeleng geleng kan kepala. "Aku.. Aku tidak tahu, Karin."

"Bilang ke aku. Kenapa kamu pergi tiba tiba dari aku?" Aku tak tahu apa yang merasuki ku. Tapi aku tiba tiba ingin membuang semua yang kupendam di hatiku. "Kamu jahat, Ryan. Kamu bajingan. Kamu tinggalin aku setelah kamu ngambil harga diri aku seperti itu." Ucapku.

"Harga diri apa? Aku bahkan belum sempat masuk ke tubuhmu."

"Tapi kamu sudah menyentuh area area terlarang ku." Jawabku.

"Lupakan saja semua sentuhan ku. Lanjutkan saja hidupmu tanpa ku. Aku hanya bule maksiat."

"Aku tidak pernah bilang hal seperti itu." Ujarku.

"Tapi seseorang menyadarkan ku bahwa memang benar aku itu Bule maksiat. Dia bahkan memintaku untuk menjauhimu. Dia benar, Karin. Aku seonggok sampah dan kamu berlian cantik. Kita tidak selevel. Level mu terlalu jauh diatas aku. Dan jujur, aku yakin aku tidak pantas sama sekali untuk menjadi pasangan mu." Jawabku.

"Tapi, Ryan, bagaimana kalau aku tidak peduli apa kata orang? Bagaimana walaupun kau benar benar seonggok sampah, aku masih mau memilihmu?" Mata nya berninar binar.

"Maaf kan aku sayang. Aku tidak bisa. Aku ini lelaki bejat. Lelaki buas. Bahkan aku seperti binatang. Aku sudah tidak suci, dan aku yakin ada seribu dosa di ujung kuku tangan ku. Kamu terlalu suci untuk aku." Ujarku. Aku mendekatinya dan menggenggam tangan nya. "Jika memang ada jalan, kita akan menjadi satu. Jika tidak, lupakan semua sentuhan ku dan kata kata manisku. Maafkan aku." Aku mencium kening nya dengan lembut tapi menyiksa. Dia meneteskan air mata. Dan aku berlari meninggalkan nya.

Saat aku sampai dirumah, aku melihat dua orang lelaki tinggi dari belakang. Mereka tampak familiar, dan sepertinya mereka bukan lah orang Indonesia. Aku menatap mereka lekat lekat. Bertanya tanya siapa kah mereka. Dan akhirnya mereka menyadari kehadiran ku dan menoleh ke belakang menghadapiku. Dan aku terkejut.

A pray of DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang