Nigel memasuki pekarangan rumahnya dengan harap-harap cemas, kedua tangannya terlipat kebelakang menyemubunyikan kertas ulangan disana. Di teras rumah dia bisa melihat Ayahnya yang tengah duduk sembari membaca koran, hal itu tentu saja membuat perasaannya semakin tidak karuan.
Pak Chandra yang menyadari kedatangan si bungsu langsung meletakkan korannya dimeja yang ada disampingnya, atensinya kini tertuju pada kertas yang ada di genggaman Nigel.
"Apa itu?" Tanya Pak Chandra tegas.
Nigel tidak menjawab, dengan tangan gemetar dia menyerahkan kertas itu kepada Ayahnya. Pak Chandra melihat tulisan dua angka yang dibuat dengan tinta merah dipojok kanan atas. Wajahnya langsung merah padam saat melihat hasil ulangan si bungsu.
"Dasar bodoh!!!" Bentak Pria berusia 65 tahun itu saat melihat hasil ulangan anak bungsunya.
Dua puluh tiga, nilai yang didapatkan dari ulangan matematika.
Nigel yang duduk di sofa menunduk takut melihat Papanya yang marah besar saat melihat nilainya. Nigel sebenarnya bukan anak yang bodoh, dia pintar pada bidangnya yaitu fotografer sayangnya Papanya tidak pernah peduli tentang itu. Lagi pula itu juga pelajaran matematika, pelajaran yang tidak disukai olehnya tetapi dia terpaksa harus mempelajari hal yang tidak dia suka.
Nigel membenci hitungan, tetapi anehnya dia masuk ke jurusan IPA dan nilai kimia juga fisikanya selalu bagus, bukan kah ini artinya dia anak yang pintar?
"Kau benar-benar memalukan, coba contoh keenam Kakak mu itu. Mereka semua menjadi atlet..."
"Dan Kau apa? Kau hanya menjadi beban Nigel."
Nigel hanya diam tidak menanggapi, sebab apa yang dilakukannya selalu salah di mata Papanya. Nigel pernah mengutarakan perasaannya, mengatakan jika dia juga ingin di sayang oleh Papanya seperti saat Papanya menyayangi keenam Kakaknya, namun apa yang terjadi setelah itu? Dia justru mendapatkan hinaan dan pukulan bertubi-tubi.
"Maaf Pa." Lirih Igel
"Maaf? Maaf mu itu tidak berguna untuk Saya. Pergi!" Usir Papa, Igel langsung berdiri dan pergi ke kamarnya.
Sementara itu Pak Chandra berdecak kesal, beliau baru saja pulang dari restoran dan sudah dibuat darah tinggi dengan nilai Igel.
"Seharusnya dulu aku buang saja dia, benar-benar tidak berguna." Ujarnya kemudian beranjak dari ruang tamu.
***
Nigel berdiri di balkon kamarnya melihat langit malam yang terasa sepi meskipun ribuan bintang terlihat disana. Baginya malam itu identik dengan dirinya, meskipun banyak jutaan bintang disana tetap saja malam terasa dingin dan sepi, seperti hidupnya sekarang. Meskipun tinggal dengan tujuh orang di atap yang sama, Nigel selalu merasakan kesepian. Malam itu sepi dan sepi adalah dirinya.
Nigel melihat satu bintang yang paling bersinar diantara bintang lainnya, paling menonjol diantara ribuan bintang di angkasa. Nigel tersenyum berharap suatu hari nanti dia bisa menjadi seperti bintang tersebut, paling bersinar diantara banyaknya bintang. Nigel berjalan masuk, menutup pintu balkonnya kemudian duduk di kursi meja belajarnya dan membuka laptopnya.
Nigel gemar menulis diary dan dia harap suatu hari nanti setiap cerita dalam diary-nya akan dibaca oleh keluarganya, dan berharap mereka tahu bahwa dia selama ini menyayangi mereka apapun tindakan mereka terhadapnya, Nigel tetap menyayangi keluarganya.
Cklek....
Pandangan Nigel langsung beralih pada pintu kamarnya yang terbuka, disana menampilkan sosok lelaki jangkung dengan wajah datarnya berjalan mendekatinya tanpa merubah raut wajahnya.
"Kenapa?" Tanya Nigel menolehkan kepalanya dan melihat Ayden yang sudah berdiri di tepi ranjangnya.
Bukannya menjawab Ayden justru mendudukkan dirinya diranjang, Nigel menutup pintu balkon kemudian mendekati Ayden dan ikut duduk disamping Kakaknya itu. Beberapa detik kemudian tindakan Ayden membuatnya terkejut, lelaki itu memeluknya dengan erat. Nigel membalas pelukan Ayden, tangannya bahkan mengusap punggung Kakaknya itu.
"Capek." Lirih Ayden.
Sekarang Nigel paham apa yang terjadi, Kakaknya pasti baru saja diberi wejangan oleh Papa. Dia sangat paham betul bagaimana Kakaknya akan bersikap kepadanya disaat Kakaknya itu merasa berada dibawah tekanan seperti sekarang. Ayden akan mendatanginya dan meminta pelukan, namun jika semua sudah kembali normal Ayden tidak lebih dari kelima Kakaknya yang lainnya yang suka membullynya, yah meskipun Ayden lebih sering menjadi penonton disaat yang lain dengan gencarnya membully dirinya.
"Ah, Aku melupakan sesuatu." Nigel merutuki kebodohannya saat dia baru mengingat janjinya untuk menemani Halim ke coffe shop.
***
"Maaf Mas sebelumnya, tetapi kami sudah mau tutup." Seorang pelayan menghampiri Halim.
Halim, satu-satunya pelanggan yang tersisa tidak ada siapapun selain dirinya disini. Lelaki itu mengedarkan pandangannya. Mencari keberadaan Nigel yang tak kunjung dia temukan. Dinding yang berlapis kaca itu bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda Nigel akan segera tiba, malah dia bisa melihat orang-orang berlarian menepi sebab hujan turun.
"Tunggu lima menit lagi Mas." Pinta Halim.
"Maaf Mas, tidak bisa kami harus tutu sekarang. Jadi Mas boleh pergi." Usir pelayan itu dengan halus.
Halim mau tak mau beranjak dari sana, keluar dan seketika udara dingin menyapa kulitnya. Sialnya lagi dia hanya memakai kaos pendek dan celana jins saja. Halim berteduh dibawah tenda bersama orang-orang yang juga berteduh.
***
Sudah lima belas menit Nigel memohon kepada Papanya agar dibolehkan untuk pergi, namun sayangnya Papanya itu tidak mengizinkannya terlebih mengingat hasil ulangannya yang sangat mengecawakan.
"Pa, Aku mohon izinkan lah Aku pergi." Nigel masih memohon, bahkan dia tidak segan berlutut didepan Papanya yang duduk disofa bersama dengan Haidar, Joan dan Millo.
"Lo gak ngerti bahasa manusia apa gimana? Papa udah bilang enggak yah enggak bego!!" Ucap Millo yang sepertinya sudah jengkel mendengar rengekan Nigel sejak tadi.
"Yah mana ngerti dia bahasa manusia Kak, kan dia bukan manusia." Celetuk Haidar.
"Terus apa dong?" Tanya Joan.
"Ehm mungkin lebih mirip anjing." Jawab Haidar sekenanya tanpa memperdulikan perasaan Nigel.
"Ah kau benar, bahkan lihat lah posisinya sekarang sangat mirip dengan anjing yang tengah memohon kepada tuannya." Ucap Millo.
Nigel yang menyadari posisinya langsung berdiri dan melihat satu per satu Kakaknya yang tengah memandangnya remeh sekarang.
"Bukan kah anjing tidak bisa berdiri dengan kedua kakinya? Kenapa kau melakukan itu sekarang? Kembali lah ke posisi mu semula." Lagi-lagi Haidar mengeluarkan ucapan yang membuat hati Nigel teriris sakit.
Nigel meremas kuat tangannya, ucapan ketiga Kakaknya sangat tidak berperikemanusiaan ditambah dengan Papanya yang hanya diam disaat pria itu mendengar dengan jelas semua umpatan yang dilontarkan untuknya, tetapi Papanya memilih untuk diam.
Tanpa kata Nigel meninggalkan mereka berempat menuju kamarnya, bahkan dia masih bisa mendengar Haidar yang tak hentinya menyeletuk mengatakan anjing kepadanya. Air matanya menetes, dengan kasar Nigel mengusap air matanya. Dia benci dengan keadaan, dia benci dengan dirinya sendiri, dia benci dengan takdir yang membelenggu dirinya.
###
KAMU SEDANG MEMBACA
NIGEL (TAMAT)
Teen FictionIni kisah tentang anak bungsu bernama Nigel Ghaitsa yang selalu dibanding-bandingkan dengan keenam kakaknya, kata siapa jadi anak bungsu itu enak. Siapa yang mengatakan jika anak bungsu itu dimanja dan apapun yang diinginkan di turuti. Buktinya Nige...