Susah payah tenggorokannya menelan semua pil pahit yang tadi dalam genggamannya, buru-buru didorongnya masuk pil tersebut ke lambungnya menggunakan air. Setelah meminum obatnya, Nigel kembali memasukkan obat-obatan tersebut kedalam laci.
"Nigel, buruan turun." Teriakan Kakak sulungnya dari bawah membuat Nigel buru-buru melangkah sebelum lelaki Leo itu marah.
"Iya? Kenapa mas?" Tanya Nigel sembari menuruni anak tangga.
"Ikut Gue cepetan." Dibawah sana Millo sudah menunggu dengan tas gitar di punggungnya
"Kemana?" Tanya Nigel.
"Nanya mulu Lo." Kesal Millo.
Millo langsung menyambar kunci sepedanya dan berjalan lebih dulu, Nigel mengikuti tanpa bertanya kembali, takut jika Kakaknya itu akan marah jika dirinya banyak bertanya.
Didepan sana Millo sudah menaiki motornya, sedangkan Nigel hanya diam mematung didepan pintu sembari mengerjapkan matanya. Millo yang melihat itu memutar bola matanya jengah, oh ayo lah apa bocah itu se bego itu?
"Naik cepetan." Perintah Millo.
"Hah?" Bukannya segera naik ke boncengan sepeda, Nigel justru mengeluarkan suara yang mebuat Millo ingin mencekik leher adiknya itu.
"Naik goblok, jangan hah hoh hah hoh aja Lo." Setelahnya Nigel langsung naik ke boncengan motor Millo.
***
Motor sport itu melaju dengan kecepatan penuh, membelah padatnya jalanan Ibu Kota. Suara klakson sesekali terdengar dari motor merahnya, tak sedikit pula pengendara yang mencaci maki karena motor yang melaju dengan ugal-ugalan itu. Bahkan lampu merah saja diterabas begitu saja, tak memperdulikan peluitan dari seorang polisi jalanan yang sekarang juga ikut mengejarnya dibelakang.
Millo melirik kearah kaca spion, memastikan bahwa polisi tidah berhasil menyusulnya. Tak sengaja dia melihat Nigel dengan tubuh menengang sempurna, wajahnya pucat pasi bola matanya bahkan tidak sanggup berkedip dan hanya memandang lurus kedepan. Melihat itu lelaki Leo tanpa sadar terkekeh.
"Lo takut?" Tanyanya.
"Ti... Tidaakk." Jawab Nigel yang sudah dapat dipastikan berbohong.
Dari balik kaca helmnya Millo tanpa sadar menyunggingkan senyumnya, Millo menambah kecepatan motornya membelah jalanan sore yang semakin padat. Sedangkan Nigel berpegang erat pada besi yang ada dibelakangnya sambil merapalkan doa semoga dia masih bisa menikmati hari esok.
Motor yang membawa si bungsu melaju kencang itu kini telah berhenti, Nigel tak sadar jika motor itu telah berhenti. Dia masih setia duduk diboncengan dengan badan tegap sempurna seolah tengah mengikuti latihan paskibra ditambah dengan cekalan tangannya yang erat di besi belakang motor.
"Hei, turun lah sampai kapan Lo seperti itu." Suara Millo menyadarkannya, dibukanya kedua mata yang sedari terpejam itu. Menoleh kearah sang Kakak yang sudah terlebih dulu turun dari motor dengan kekehan diwajahnya.
Ya, Millo Chandra Antariksa tertawa karena tingkah si bungsu yang entah mengapa menggemaskan dimatanya, seketika rasa benci yang tertanam meluap begitu saja.
"Mas tertawa?" Tanyanya polos, Millo yang tersadar langsung merubah raut wajahnya.
"Turun cepet, jangan lemot kayak siput." Ucap Millo kemudian berjalan mendahului Nigel.
Nigel buru-buru turun dari motor dan menyusul Kakaknya yang sudah terlebih dahulu memasuki Kafe. Sesampainya di dalam lelaki Gemini itu dibuat takjub dengan ornamen yang ada didalam kafe. Bagaimana tidak, burung-burung kertas yang menggantung dilangit-langit dan disetiap sisi tembok bertuliskan kalimat-kalimat tentang mimpi, terkait dengan mereka yang harus memperjuangkan mimpinya, mempertahankan apa yang telah menjadi impian mereka dan pastinya tetap percaya pada mimpi mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
NIGEL (TAMAT)
Teen FictionIni kisah tentang anak bungsu bernama Nigel Ghaitsa yang selalu dibanding-bandingkan dengan keenam kakaknya, kata siapa jadi anak bungsu itu enak. Siapa yang mengatakan jika anak bungsu itu dimanja dan apapun yang diinginkan di turuti. Buktinya Nige...