Semua kembali normal, hanya saja ada yang sedikit berbeda disini. Ya, pagi yang cerah mengawali kehidupan baru Nigel. Untuk kali pertama dalam hidupnya dia merasakan duduk di meja makan bersama keenam saudaranya dan sarapan bersama, sayangnya Papanya masih enggan untuk menerima kedatangannya. Saat pria itu tahu ada Nigel yang duduk di meja makan, dia memilih untuk pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
"Papa kapan bisa menerima Nigel?" Gumamnya dengan wajah sendu.
Menatap kepergian Papanya yang berjalan melewatinya dengan pandangan yang sama seperti biasanya, hanya saja kali ini pandangannya lebih dari biasanya.
Antara benci dan amarah tersirat jelas di mata pria itu saat keduanya bersitatap. Nigel tak tahu alasan apalagi yang membuat Papanya terlihat semakin membencinya.
"Sudah lah, semua butuh proses bukan? Seperti kita. Gue yakin Lo bahkan nggak berekspektasi kalau kita semua mulai nerima Lo jadi saudara kan? Jadi sabar aja, Papa nanti suatu saat bakal nerima Lo juga kok." Ucap Millo.
"Sekarang mending kita sarapan, terus sekolah. Nigel Mas Joan yang anter yah hari ini." Tawar lelaki bermata sabit itu.
Nigel hanya mengangguk sebagai jawabannya, suasana seketika menjadi hening bahkan suara sendok garpu yang beradu dengan piring saja tidak terdengar.
***
Nigel dengan ragu melangkah kan kakinya memasuki ruang kelas, sudah berapa lama dia tidak menginjakkan kaki disini?
Semua mata kini tertuju kepadanya, dia sudah seperti seorang maling yang ketangkap basah. Semua orang memperhatikannya.
"Waahh, akhirnya Lo masuk juga. Lo tahu nggak selama Lo sakit dua sahabat Lo itu....."
"Nigeeelll...."
Belum sempat lelaki berambut ikal itu melanjutkan ucapannya suara Liam terdengar memanggil namanya.
"Liam, Halim mana?" Tanya Nigel. Liam hanya mengendikkan bahunya.
Keduanya berjalan kearah bangku, tak selang berapa lama bel masuk berbunyi dan sampai detik itu juga Halim tidak terlihat.
Nigel mulai khawatir, begitupun dengan Liam. Tidak biasanya Halim membolos sekolah, apalagi sampai tidak memberitahu mereka seperti ini.
Keduanya sama-sama mencoba menghubungi Halim, sayangnya tak ada jawaban darinya.
***
Joan tengah menyesap kopinya, duduk bersandar di dinding. Kedua matanya terpejam erat, kilas balik saat dia menyakiti Nigel dengan cara menjadikannya samsak membuat amarahnya kembali bangkit.
Amarah yang entah berasal dari mana, amarah karena rasa penyesalan atau justru amarah karena dia sudah tidak bisa lagi menyakiti Nigel seperti sebelumnya.
Bukan tidak bisa, mungkin lebih tepatnya dia sudah tidak ingin lagi. Joan ingin menerima Nigel sebagai adiknya, bukan lagi memandangnya sebagai anak pembawa sial.
"Maaf, pasti sakit banget yah pas itu." Lirihnya, air matanya terjatuh kala mengingat saat dirinya menendang perut Nigel dengan brutal, padahal dia sudah tau kalau Nigel sakit saat itu.
Tawanya yang dulu menggelegar setiap melihat si bungsu berteriak meminta ampun sembari kesakitan, sekarang berganti dengan tetesan air mata penyesalan.
Dia sadar, sebanyak apapun air mata yang menetes bahkan sampai berubah menjadi darah pun tak akan sebanding dengan penderitaan Nigel selama ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
NIGEL (TAMAT)
Teen FictionIni kisah tentang anak bungsu bernama Nigel Ghaitsa yang selalu dibanding-bandingkan dengan keenam kakaknya, kata siapa jadi anak bungsu itu enak. Siapa yang mengatakan jika anak bungsu itu dimanja dan apapun yang diinginkan di turuti. Buktinya Nige...