Ruang Karate

400 42 3
                                    

Lelah, mungkin itu lah gambaran yang tepat untuk menggambarkan keadaan Nigel sekarang. Setelah tadi dia harus melaksanakan perintah Millo untuk bernyanyi sambil bermain gitar, sekarang giliran Joan yang memintanya untuk membersihkan ruang karatenya dan jangan lupakan tentang dirinya yang juga akan menjadi samsak Joan.

Masih ingat dengan hukuman untuk Nigel? Dimana dia harus menuruti semua permintaan keenam Kakaknya selama tiga hari, sebenarnya permintaan mereka tidak berat dan dia masih bisa mengatasi itu semua. Kecuali permintaan Joan yang menginginkan dia untuk menjadi samsak.

"Lemah banget, baru juga sepuluh pukulan." Seperti sekarang ini, setelah Nigel membersihkan sekaligus merapikan ruang karate Joan, lelaki bermata bulan sabit itu meminta si bungsu untuk berdiri di atas matras dengan pakaian karate.

Pukulan, tendangan sampai bantingan dilakukan oleh Joan kepada Nigel. Lelaki pemilik senyuman manis itu hanya bisa pasrah kala Kakak keduanya entah sengaja atau tidak menendang ulu hatinya. Membuatnya kini tersungkur sembari memegang ulu hatinya yang terasa sakit.

"Ck, lemah." Ucap Joan kemudian meneguk air mineralnya yang baru saja diambil dari dalam kardus yang terletak dipojok.

Nigel mengatur napasnya, tak lama kelima Kakaknya masuk kedalam ruang karate termasuk Ningsih yang sepertinya masih berada didalam kediaman keluarga Chandra. Bahkan Papanya juga berada disini sekarang.

Nigel menatap mereka semua yang berdiri didepannya, entah mimpi buruk macam apa yang dia terima saat Zidan melangkahkan kakinya dan tanpa aba-aba meninju pipi kanannya. Pukulan cukup keras membuat sudut bibirnya mengeluarkan darah.

"Kau tahu apa kesalahan mu?" Tanya pak Chandra yang menatap tajam si bungsu yang terlihat tengah menyeka darah dari sudut bibirnya.

Nigel menggeleng, semua orang menatapnya dengan tajam. Entah apa salahnya sekarang, dia benar-benar tidak tahu.

"Lihat itu bodoh!!" Pak Chandra melemparkan amplop coklat kepada Nigel.

Bola matanya membelalak kala dia melihat kertas diagnosanya ada ditangan Papanya, namun mengapa Papanya terlihat sangat marah? Begitupun dengan yang lainnya? Apa mereka tidak merasakan kasihan sedikit pun kepadanya?

"Apa Kau berpikir kami akan kasihan kepada mu saat kami mengetahui Kau sakit? Cuihhh mimpi saja Kau anak pembawa sial!!" Pak Chandra meludah kearah samping, pria itu benar-benar tidak peduli.

Nigel menatap kearah Ayden, hanya dia satu-satunya orang yang tahu penyakitnya. Lelaki jangkung sedari tadi diam itu melangkah mendekat, membisikkan kata yang membuat Nigel meremas kuat tangannya.

"Apa Lo berpikir Gue akan menyimpan rahasia itu? Jangan mimpi sialan! Lo nggak berhak ngatur Gue." Ayden memundurkan langkahnya setelah membisikkan hal tersebut kepada Nigel.

"Ah, iya kalau Lo penyakitan gini bagus deh. Ngomong-ngomong kapan mati?" Pertanyaan laknat itu muncul dari lelaki berkulit tan.

"Haidar jaga ucapan mu." Perkataan Millo membuat semua yang disana terkejut.

"Apa maksud Lo? Lo bela dia?" Agham menatap tak percaya Kakak sulungnya.

Millo menggeleng, "Lupakan, Gue pusing." Setelahnya Millo beranjak dari sana meninggalkan mereka semua.

Pada akhirnya semuanya keluar, menyisakan Nigel, Joan, Zidan, Ayden juga Ningsih di ruang karate.

Zidan masih menatap Nigel dengan tajam, bahkan lebih tajam dari sebelumnya. Entah apa dia telah membuat kesalahan fatal? Tetapi seingatnya dia tidak melakukan kesalahan-kesalahan apapun.

Ningsih yang sedari tadi diam bersembunyi dibalik punggung kekasihnya meremas ujung pakaiannya, entah apa yang telah direncanakan oleh gadis itu yang jelas sekarang dia tengah menatap Nigel dengan smirk di wajahnya.

NIGEL (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang