059

88 9 1
                                    

Tepat satu minggu tubuh Jovanka yang tak sadarkan diri menghabiskan waktu di ruang ICU. Setelah masa-masa krisis itu berlalu, ia pun dipindahkan ke ruang rawat pribadi. Masih dengan keadaan tak sadarkan diri yang biasa disebut dalam dunia medis sebagai pasien yang dalam keadaan koma, keluarganya pun dihimbau untuk lebih sering menstimulasi indera Jovanka. Baik itu sentuhan, penciuman, pendengaran atau yang lainnya.

Hal tersebut pun berangsur kurang lebih satu bulan hingga akhirnya Jovanka mulai sadarkan diri. Namun, kondisinya setelah itu pun terbilang tak cukup baik. Terutama tangan kirinya yang sulit digerakkan. Kata dokter, itu bisa terjadi karena efek dari tembakan tempo hari dan akan dicoba untuk melakukan terapi. Selain dari hal itu, sikap Jovanka pun ikut berubah. Ia lebih banyak berdiam diri sambil termenung.

Selain dari Jovanka, kurang lebih satu bulan ini pula keberadaan Shally tidak ditemukan. Gadis itu seperti menghilang ditelan bumi. Axel yang tak terima atas perbuatan Shally pada Jovanka, ia pun terus mencari sosok gadis itu untuk balas dendam namun, hasilnya nihil. Banyak kali pula Axel protes ke papanya kenapa tak berusaha mencari Shally dan malah menutup kasus itu.

Tak banyak alasan yang diberikan papanya alias Alterio pada Axel. Alterio hanya tak mau kasus itu bertambah runyam dan mengundang banyak mata. Kalau banyak yang tertarik dengan kasus ini, Alterio tak bisa menjamin rahasia putrinya, Jovanka selama ini akan aman. Jadi, keputusan Alterio adalah dengan menutup kasus dan menjaga Jovanka terhindar dari Shally 7×24 jam.

Sedangkan Papa Shally, Andrew dan rekannya Arion, mereka telah menjalani persidangan pertama. Namun, kelihatannya masih banyak kali persidangan yang akan mereka lalui karena, banyaknya hal-hal kotor yang telah mereka lakukan. Serta untuk Andrew, ia akan diselidiki lebih karena kasus putrinya, Shally.

"Vanka, lo mau makan sesuatu?" tanya Axel pelan seraya melihat Jovanka yang duduk di hospital bed dengan arah pandang ke luar jendela. Lagi-lagi seperti itu. Axel sungguh penasaran dengan apa yang sedang Jovanka pikirkan. "Vanka?" panggilnya sekali lagi.

Jovanka pun menoleh seraya menggeleng. "Terapi untuk tangan gue udah dijadwal?"

Axel mengangguk pelan. "Lusa," jawabnya dan langsung mendapat anggukkan mengerti dari Jovanka.

"Deliya, Ayas dan... Aksa, mereka benar baik-baik aja?" tanya Jovanka dengan intonasi ragu.

"Iya, mereka baik-baik aja. Lo tenang aja, mereka bakal jenguk lo kalau nggak sibuk."

"Bukan itu maksudnya. Dia... menghilang, kan?"

Axel terdiam, ia tahu betul 'Dia' yang dimaksud Jovanka itu siapa. Namun, ia bingung harus menjawab apa. Pasalnya, Axel tak ingin membuat Jovanka cemas. Kalau diperkirakan Dia, alias Shally meninggal, itu sangat tidak mungkin karena tak ditemukan mayat apa pun. Namun, kok bisa seseorang menghilang tanpa jejak selama hampir satu bulan ini.

"Gimana? Dengan menghilangnya dia, apa Deliya, Ayas dan Aksa benar-benar aman?"

"Iya mereka benar-benar aman." Axel menjeda ucapannya sesaat. "Lo nggak perlu khawatir, mereka benar-benar aman," ujarnya sekali lagi untuk meyakinkan Jovanka.

Obrolan mereka pun terputus saat Anselio terlihat muncul dari balik pintu seraya membawa sekeranjang buah-buahan serta seikat bunga krisan. "Hai, kalian ngobrolin apa? Nih kakak bawa banyak buah," ujarnya seraya menaruh bawaannya di nakas.

Mendengar pertanyaan serta kata kakak dari mulut Anselio, Axel langsung menghela napas berat seraya memutar bola matanya malas. "Gue keluar dulu," ujarnya pada Jovanka, dan langsung melangkah pergi tanpa mendengar persetujuan.

Setelah melihat Axel yang melangkah keluar, Jovanka pun bergerak untuk mencari posisi yang nyaman dan memejamkan matanya, mengabaikan Anselio yang heboh sendiri dengan barang-barang bawaannya.

"Kalian masih nggak terbiasa ya dengan kata 'kakak'? Mulai sekarang harus dibiasakan," ujarnya dengan suara sedikit mengeras agar Axel mendengar.

***

Di sisi lain, di sebuah hotel lantai tiga tepatnya di kamar nomor 97, terbaring seorang gadis di atas sofa abu-abu seraya mendengar suara dari televisi yang menampilkan siaran berita.

"Hei, makanlah," kata seorang pria paruh baya dengan suara baritonnya seraya meletakkan lauk pauk ke atas meja makan dari dalam lemari. "Kau harus punya tenaga kalau ingin membalas dendam."

"Kak Aldi bagaimana?"

Pria itu mengangguk. "Dia baik-baik saja setelah di Jepang." Ada jeda sesaat di ucapannya. "Shally, Kakek mu akan membantu. Jadi jangan terburu-buru. Kau hanya perlu menunggu hingga keadaan tenang."

Shally menarik napasnya panjang, lalu bangkit dari posisinya dan melangkah ke arah meja makan. "Ini membosankan. Sakin membosankannya serasa ingin mati. Tapi, lebih menyenangkan kalau seseorang mati ditangan Shally, bukan?" akhir Shally dengan senyum yang terukir jelas di kedua sudut bibirnya. "Apa Shally masih tak boleh keluar? Walau di balkon?"

Si pria mengangguk seraya menyiapkan air minum dari kulkas. "Jangan mengambil resiko."

"Yang benar saja, kalau begini caranya Shally benar-benar akan mati kebosanan." Ucapannya terjeda. "Untuk botol-botol wine Shally bagaimana?"

"Kau bisa mengumpulkan botol-botol itu kembali saat berada di Jepang," jawabnya acuh seraya melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. "Saya akan pergi dan kembali nanti malam. Ada yang ingin kau beli?"

Shally menggeleng lemas. "Shally akan berterima kasih kalau kamu membawakan seseorang untuk mengisi koleksi wine."

Pria paruh baya itu menghela napas pelan mendengar ucapan Shally. "Aku pergi dulu. Jangan buka pintu untuk sembarang orang dan, selagi aku tak ada, kecilkan suara televisi itu."

"Hm." Shally berdeham malas.

She Is PsychopathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang