022

2.4K 161 2
                                    

Satu minggu kemudian.

Banyak yang Aksa pusingkan sejak malam itu. Sebelumnya, ia hanya pusing dengan kelakuan Deliya yang terkena pergaulan bebas, hingga membuat dia sering mengunjungi sebuah tempat yang menurut Aksa adalah tempat segala sumber dosa berkumpul. Namun, sekarang cowok berhidung mancung itu juga harus dipusingkan dengan lingkar pertemanan Deliya.

Bagaimana tidak pusing. Pasalnya, Deliya sekarang masuk ke dalam lingkaran pergaulan bebas yang lebih parah. Menurut Aksa sendiri, bisa disebut itu adalah induknya. Entah orang seperti apa Jovanka dan Axel itu, pikiran aneh terus saja memutari kepala Aksa.

Aksa mulai merasa tak nyaman. Tapi ia sadar, tak ada gunanya berbicara pelan-pelan untuk membujuk Deliya agar menjauh dari mereka. Ditambah lagi, ia tak dapat menjelaskan secara terperinci tentang maksud dari ucapannya, dikarenakan ancaman Axel yang sangat mengerikan.

Cowok berahang tegas itu mengancam Aksa dengan tatapan yang sangat menusuk. Dia mencengkram kerah baju Aksa hingga ia sedikit sulit bernapas. Tak ada tatapan main-main dari cowok itu. Bahkan, tatapan tajam serta nada suara Axel masih terekam sangat jelas di ingatan Aksa selama satu minggu ini.

"Kalau lo berani menyebarluaskan apa-yang-lo-lihat-malam-ini, gue bisa jamin, keluarga lo bakalan selesai, se-le-sai," kata Axel malam itu cukup membuat bulu kuduk Aksa merinding. Ditambah lagi dengan penekanan di beberapa katanya, membuat tubuh Aksa bergetar serta lemas seketika. Sosok cowok berkulit putih itu bak berubah menjadi sosok yang berbeda sekaligus menyeramkan. Sungguh menyeramkan.

"Lo kenapa pengen nginep di rumah gue? Enggak biasa banget," ujar Arvin begitu masuk ke kamarnya dan melihat Aksa sedang berbaring di sebuah kasur lantai sambil menonton acara televisi.

Dengan malas Aksa melirik Arvin yang sedang melangkah santai menuju ranjang di sampingnya. Arvin terlihat membanting diri ke kasur, tengkurap dengan kepala menghadap televisi, ikut menonton acara yang dilihat oleh Aksa.

"Lagi pengen nginep aja. Mumpung orang tua lo nggak ada di rumah, jadi kita bisa berduaan." Aksa menjawab perkataan Arvin, walaupun sedikit terlambat.

Saat mendengar jawaban Aksa. Arvin langsung menoleh, dan menatap ngeri sohibnya itu. "Berduaan?" Ia mengulang salah satu kata yang di ucapkan Aksa tadi. "Lo jangan buat gue jadi kriminal deh, Sa. Walaupun kita temen, kalau lo macem-macem, gue nggak segan untuk bacok lo."

Aksa tersenyum geli. "Gue juga masih normal kali, kampret." Ia menjeda ucapannya. "Gue cuman pengen tenang aja."

Dahi Arvin mengerut. "Kalau mau tenang, lo tidur di kamar tamu lah. Atau mau kamar yang lain? Kamar di rumah gue banyak, tinggal pilih," usul Arvin sekian kalinya, sambil berlagak songong.

"Nggak enak juga, sepi. Gue pengen ngobrol sama lo," jawab Aksa cepat.

Arvin diam sesaat. "Jangan-jangan lo terserang penyakit yang namanya, nggak waras ya, Sa? Kelakuan lo beberapa hari ini aneh. Tapi, lo nggak berubah jadi homokan?"

Aksa bangkit dan duduk menghadap Arvin. "Homo pala lo pitak! Gue cuman pusing sama Deliya. Jadi, gue cuma mau berada di atmotfer yang berbeda buat nenangin pikiran." Aksa menjeda ucapannya. "Dia itu adik gue satu-satunya, Vin. Tapi, kelakuan Deliya akhir-akhir ini bikin gue gila. Gak tahu lagi gue harus gimana."

"Adik lo lagi puber aja kali. Omongin pelan-pelan dia pasti ngerti," ujar Arvin, lalu terdiam sejenak karena berpikir. "Tapi perasaan gue akhir-akhir ini, Deliya udah jarang pergi ke klub. Terus, emang ada yang salah ya, kalau dia temenan sama Jovanka? Perasaan, dari kemarin-lemarin lo ngelarang dia deket-deket Jovanka."

Aksa mengernyit sebal saat mendapati respon Arvin yang santai dengan segala asumsi kebingungan. "Vin...." Arvin hanya berdeham saat namanya dipanggil Aksa. Dia malah fokus menonton film yang ada di televisi tiga puluh dua inch miliknya itu. "Lo suka sama Deliya?" sambung Aksa dengan pertanyaan secara tiba-tiba untuk mengalihkan topik pembicaraan.

Mendengar pertanyaan Aksa, Arvin pun menoleh dengan cepat. Ia melotot sempurna saat melihat Aksa yang sudah menatapnya dengan salah satu alis terangkat. "Nggaklah. Tenang, gue sama Deliya cuma temenan. Lo tahu sendiri, orang yang gue suka sekarang itu Jovanka."

Aksa mendengus. Ia berdecak sebal setelah mendengar jawaban Arvin. Tanpa mengeluarkan sepata kata, Aksa pun memilih kembali berbaring ke kasurnya dengan posisi membelakangi Arvin.

"Lo kenapa sih?"

"Bacot, Vin. Gue mau tidur," sahut Aksa dengan nada kesal.

"Gue salah apa lagi, Sapirmin?!" bingung Arvin kesal, karena ia benar-benar tak mengetahui letak kesalahannya.

***

Jovanka baru selesai mandi dan sedang mengeringkan rabut dengan handuk saat ponselnya yang tergeletak di atas nakas bergetar beberapa kali. Ia mengambilnya dan menghela napas jengah saat melihat siapa yang mengirimkan pesan padanya lewat aplikasi hijau bergambar telepon.

6 messages received
Sender: Aldi
Test, jovanka.

Sender: Aldi
Eh, aktif.
Vanka, tolong dong info online-nya diatur. Jadi gue nggak perlu test dulu kalo mau chat.

Sender: Aldi
Princess, lg ap?

Sender: Aldi
Bls dong, princess.

Sender: Aldi
Princess gitu ih, kacang mulu :"

Sender: Aldi
Untung cantik, jd bebas :D

Jovanka mencibir, lalu meletakkan ponselnya kembali ke atas nakas. Ia hanya membacanya dan tak berniat untuk membalas pesan itu.

Sambil tetap mengeringkan rambutnya dengan handuk, Jovanka menatap keluar jendela balkon kamarnya, berpikir sejenak. Keadaan di luar gelap dan sedang diguyur hujan. Walau intensitas hujan tidak besar, Jovanka sudah merasa malas jika harus keluar malam ini. Padahal sekarang, ia ingin sekali menikmati minuman serta suasana di klub.

Sebelum beralih menuju meja rias yang berada di samping lemari pakaian, Jovanka berdecak. Suasana hatinya sekarang benar-benar abstrak ditambah lagi hujan di luar. Sudah seminggu pula ia tak bermain dengan para calon korbannya.

Pasalnya, Axel menyarankan untuk tidak bertindak karena keadaan keamanan yang semakin ketat karena kasus-kasus sebelumnya. Jadi hari ini, setelah Jovanka mengeringkan rambutnya, ia pun memutuskan untuk bersantai di pantry rumah saja.

Tak lama setelah rambutnya lumayan kering lalu menyisirnya rapi, Jovanka bangkit dari kursi meja riasnya. Ia berjalan menghampiri nakas bermaksud mengambil ponselnya. Namun, sebelum benda pipih itu diraihnya, benda itu kembali bergetar beberapa kali.

Jovanka sontak menarik napasnya dalam saat mengetahui Aldi lagi-lagi mengirimkannya pesan yang sangat-sangat tidak penting. Sudah sekitar tiga hari cowok itu menyerbu ponsel Jovanka dengan pesan yang super duper mengganggu. Kalau saja Deliya tidak memberikan nomornya kepada Aldi, kehidupan sunyi ponselnya pasti akan terus berlanjut.

7 messages received
Sender: Aldi
Jovanka... bls dong.

Sender: Aldi
Kok cuma dibaca.

Sender: Aldi
Gue kangen ni.

Sender: Aldi
Lo gk kangen sama gue?

Sender: Aldi
Jovanka, lo lg ap?

Sender: Aldi
Mau gk jadi pacar gue?

Sender: Aldi
Jovanka... yuhu... gue emang suka ngemilin kacang, tp gk suka di kacangin :" JOVANKA B.A.L.E.S.

Ia lagi-lagi hanya membaca pesa -pesan itu. Persetan dengan sosok baiknya di depan publik, Jovanka tidak ada pilihan lain lagi. Ia buru-buru memilih untuk memblokir kontak cowok itu sesegera mungkin. Selama tiga hari terakhir ini, ia sudah cukup bersabar dengan gangguan pesan dari Aldi. Dari pada nantinya gangguan itu memicu hal yang bukan-bukan. Misalnya... niat untuk membunuh cowok itu yang pasti akan merepotkannya nanti.

"Ganggu hidup gue aja," gumam Jovanka sambil melempar ponselnya ke atas tempat tidur, lalu melangkah keluar dari kamarnya.

------

Thank you for reading.
Jangan lupa tekan bintang dan berkomentar.
Have a nice day

She Is PsychopathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang