057

1.4K 116 28
                                    

Entah sudah berapa jam Jovanka dipermainkan oleh orang yang meneleponnya tadi. Sekitar pukul setengah enam sore, Jovanka tiba-tiba mendapat telepon dari nomor yang tak ia kenal. Setelah ia mengangkat telepon itu, tak lama, terdengar suara seorang perempuan yang asing baginya.

Tanpa basa-basi perempuan itu langsung bilang, agar Jovanka mengikuti semua intruksinya jika ingin Aksa dan Deliya selamat. Napas Jovanka langsung tertahan, tenggorokannya juga ikut kering saat nama Aksa dan Deliya terdengar yang dibuat sebagai sebuah ancaman. Shally, nama itu pun langsung muncul di pikiran Jovanka.

Ia mengernyit tipis saat menyadari sesuatu. Jovanka tak semudah itu percaya dengan ancaman dari sang penelepon. Apa lagi penelepon itu membawa nama Aksa. Pasalnya Aksa, tadi siang cowok itu baru saja menelepon Axel untuk menanyakan perkembangan pencarian adiknya, Deliya yang berarti ia baik-baik saja. Namun, semua pikiran Jovanka hancur saat suara Aksa terdengar dari seberang panggilan.

Jovanka merutu dalam hati. Ia langsung menegakkan tubuh yang tadinya bersandar di kepala ranjang. Bagaimana bisa cowok itu ikut tertangkap? Tak lama setelah itu, terdengar intruksi yang menyuruh Jovanka untuk meninggalkan ponsel di rumah dan menghapus riwayat panggilan itu. Lalu pergi ke sebuah minimarket dan mengganti kendaraan dengan yang telah disiapkan. Kemudian di dalam mobil yang telah disiapkan, ada intruksi lain yang ditulis di sebuah kertas.

Tanpa pikir panjang setelah panggilan berakhir, Jovanka bersiap dan mengambil pisau kesayangannya serta pistol yang ada di lemari. Lalu, ia pun langsung melakukan intruksi dan berangkat ke tujuannya. Kemudian singkatnya, di sinilah Jovanka sekarang, berada di kafe Shally.

Tak beberapa langkah Jovanka memasuki kafe, ia langsung mengenali dua sosok yang masing-masing terikat di sebuah kursi yang berbeda. Jovanka mengernyit heran sambil berlari ke arah dua orang itu, yaitu Deliya dan Ayas. Jovanka pun melepaskan Deliya yang telah bergerak tak sabar untuk melepaskan diri.

"Pergi!" seru Deliya begitu lakban di mulutnya terlepas disertai ikatan di tubuhnya juga ikut terbuka. "Pergi dari sini! Sekarang! Lari!" sambung Deliya saat melihat Jovanka akan melepaskan Ayas dari ikatannya.

"Pergi!" Ayas ikut berseru, namun lemah.

Jovanka heran dengan reaksi mereka. Kenapa menyuruhnya pergi? Dan lagi, kenapa Ayas yang terikat di sini? Dimana Aksa?

"Kenap--"

"Lo nggak ngerti. Pergi Vanka, pergi!" Deliya memotong ucapan Jovanka dan mulai panik.

"Jangan buru-buru." Sebuah suara langsung membuat Deliya dan Ayas membeku, mereka pun secara otomatis mengalihkan tatapan pada asal suara. Sedangkan Jovanka, awalnya ia tak terkejut. Namun ketika dia mengalihkan pandangan, matanya langsung membulat lebar. Pasalnya, manik mata Jovanka langsung menangkap Aksa yang sedang dijadikan sandera dengan pisau yang melekat di lehernya.

"Lo pergi, Shally jamin, Aksa akan berakhir," ujar Shally sambil tersenyum dan menekan pisau di leher Aksa, meninggalkan goresan tipis di sana. Sedangkan Aksa, cowok itu hanya diam ketakutan dengan mulut yang dilakban dan tangan terikat di belakang.

"Kak Aksa!" pekik Deliya saat melihat goresan merah di leher Aksa.

"Lepasin mereka," pinta Jovanka. "Sebenernya... lo ngelakuin semua ini cuma mau mainin gue, bukan?" sambungnya.

"Cerdas. Jadi, Shally nggak perlu repot-repot menjelaskannya," jawab Shally cepat.

Suasana tegang. Namun Deliya dan Ayas tak terkejut lagi dengan ucapan Shally. Karena, Shally sudah menceritakan sebagian besar rencananya ini hanya untuk mengincar dan mempermainkan Jovanka.

"Mari kita lanjutkan cerita," kata Shally, lalu memberi kode pada dua bawahannya yang baru saja memasuki ruangan itu melalui pintu depan, untuk menangkap Deliya dan Ayas.

She Is PsychopathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang