030

2K 124 1
                                    

warning for this part 17+

- - - - - -

Ucapan Axel membuat Jovanka menarik napas dalam dari sela-sela gigi dan berharap hari baiknya tak akan hancur. Saat Axel melontarkan ucapan sekali lagi, jemari Jovanka mencengkeram erat ponselnya. Ia pun menghela napas, lalu beralih ke arah dasbor untuk mengambil sepasang sarung tangan karet.

"Udah selesai? Urus aja bagian lo."

"Gue nggak butuh partner," ulang Axel kembali.

"Udah gue putuskan," jawab Jovanka santai. "Setelah gue keluar dari mobil, lo urus mobil gue."

Hening. Tak ada kata yang keluar dari mulut Axel di seberang panggilan sana.

"Dia udah sampai mana?" tanya Jovanka sambil menghimpitkan teleponnya di antara telinga dan bahu. Sedangkan kedua tangannya sibuk memakai sarung tangan.

"Sekitar sepuluh menit lagi, dia tiba."

"Oke lakukan sekarang," perintah Jovanka, lalu mematikan panggilannya dengan Axel.

Jovanka melempar ponselnya sembarang ke atas dasbor mobil. Matanya beralih ke  kursi penumpang yang berada di samping kursi pengemudi. Di sana telah duduk seorang pria mabuk berwajah Eropa, yaitu seorang target yang Jovanka incar dan dapat dari klub tadi.

Tanpa menghabiskan waktu Jovanka berjalan keluar dari dalam mobilnya. Ia mengitari setengah bagian mobilnya dari depan, menjemput targetnya untuk keluar dari mobil itu, lalu menuntunnya menuju sebuah pondok kayu.

Tak sulit bagi Jovanka untuk menuntun pria itu. Dia hanya setengah tak sadarkan diri karena mabuk dan masih bisa berjalan walau sedikit oleng.

"Dimana ini? Kau membawaku ke hamparan bintang? Indah," ujar pria itu serak saat Jovanka telah membaringkannya di atas rerumputan, di depan sebuah pondok kayu yang atapnya telah delapan puluh persen akan rubuh.

"Buka bajumu," suruh Jovanka dengan Aksen dingin, khas dirinya.

Senyum pria itu mengembang. "Kau... nakal se-kali," godanya dengan aksen orang mabuk seraya membuka bajunya susah payah dengan posisi tetap berbaring.

Jovanka tak mengindahkan ucapan pria itu. Ia malah merogoh sebuah suntikan yang berada di balik jaketnya. Sebuah suntikan berukuran normal yang telah di isi setegah obat racikan barunya. Hanya sebuah obat yang dapat melumpuhkan orang dalam waktu sepersekian detik, sesuai dengan berapa banyak dosis yang diberikan.

Jovanka menoleh ke arah pria itu, dan dia, pria itu terlihat telah melepas baju yang dikenakannya hingga tak ada sehelai benang pun yang menempel di tubuh bagian atasnya. Menurut Jovanka, tak ada yang spesial dari tubuh pria itu, otot saja antara ada dan tidak. Sedangkan dibagian lengan serta dadanya, terdapat tato bunga serta ukira naga. Sangat menggelikan, pikir Jovanka.

Jovanka berjongkok, ia membuka tutup suntikan dan menjentikkan ujung jarum suntikan itu beberapa kali, sebelum menyuntikkannya ke lengan si targetnya itu.

Ketika merasakan sesuatu yang menusuk di lengan dan mengalir ke dalam kulitnya, pria itu langsung melotot sempurna. Sontak ia bergerak hendak mencengkram tangan Jovanka namun, sedetik kemudian tubuhnya telah kebas dan tak dapat digerakkan.

"Apa yang kau lakukan!" seru pria itu kaku dan serak.  Jovanka tak menjawab. Ia malah menyimpan kembali suntikan tadi ke dalam saku jaketnya, lalu merogoh sebuah pisau lipat kesukaannya.

Tanpa banyak bicara, Jovanka langsung melanjutkan Aksinya. Dari bagian utama yaitu, kedua tangan. Ia menusuk, mengukirnya, dan menyayatnya secara berantakan. Apa pun caranya, asalkan pria itu menjerit dan merintih kesakitan.

Bagian selanjutnya, Jovanka beralih ke perut. Sebelum itu, ia sempat melirik alorji yang dikenakannya, lalu tersenyum penuh makna yang membuat siapa saja melihat senyuman itu dapat bergidik ngeri.

"Hey, aku akan menghancurkan perutmu," ujar Jovanka terang-terangan dan santai.

"K-kau! P-psi-kopat gila!" bentak pria itu terbata-bata dan berat.

"Manusia sepertimu tak pantas hidup di dunia ini." Ada jeda di ucapan Jovanka. "Kau pengedar obat terlarang, bahkan kau juga pecandu aktif. Menjijikkan!" sambung Jovanka lalu mengiris-ngiris kulit perut pria itu.

Keringat serta jeritan tercekat dari korbannya itu sanggat membuat Jovanka merasa puas dan senang. Belum lagi aroma darah yang sangat... memabukkan, menurutnya itu lebih menggairahkan dari pada segelas koktail ataupun wiski impor termahal.

"Hen-ti-kan," ujar pria itu tak kuat lagi menahan rasa sakit. "To-tolong!" jeritnya sekuat tenaga hingga membuat Jovanka mengernyit kesal.

"Jangan meminta tolong, itu menjijikkan," ujar Jovanka masih dengan kernyitan dikening, pertanda tak suka.

Pria itu mengerang. Ia berusaha menggerakkan tubuhnya, namun usahanya hanya sia-sia. Bahkan, usahanya itu membuat keringat serta darah semakin banyak merembas dan mengalir keluar. "Help!" teriaknya sekali lagi untuk  meminta bantuan setelah mengumpulkan semua tenaga dan suaranya.

Saat Jovanka mendengar suara serak korbannya yang lantang, ia langsung menikam perut pria itu. Adegan selanjutnya, Jovanka lasung menyabut pisaunya hingga membuat kulit perut sang korban terbuka, memperlihatkan sedikit organ dalam yang keluar.

Pria berwajah Eropa itu langsung memuntahkan darah kental dari mulutnya. "K-kau... gi-gila, mati! P-psikopat!" serunya terputus-putus dan terbata-bata, sebelum akhirnya menghembuskan napas terakhir.

Melihat pria berwajah Eropa itu yang sepertinya telah meningga, Jovanka malah menikam perut pria itu berkali-kali hingga organ bagian perut, seperti usus, hati, dan lambungnya terlihat dari luar dan dalam keadaan yang hancur serta mengerikan.

Setelah aksi brutalnya itu, Jovanka bangkit dari jongkoknya. Ia melangkah mendekati bagian kepala mayat pria itu dan berjongkok kembali. Selanjutnya, Jovanka mengiris leher mayat itu. Ia melakukan itu hanya seperti kebiasaan, walau ia tahu dengan isi organ perut yang telah berantakan di luar, pasti pria itu telah mati.

Jovanka menarik napasnya dalam. Aroma darah menasuki indra penciumannya. Senang, legah, dan ya... sunguh sangat membahagiakan, itu lah perasaan Jovanka sekarang. Kalau dijelaskan, mungkin seperti tiba-tiba mendapatkan harta yang tak akan habis hingga tujuh turunan.

Lalu beberapa saat kemudian, Jovanka merasakan ada seseorang yang berdiri tak jauh di belakangnya. Ia pun melirik dengan ujung mata dan benar saja, sekelebat bayangan terlihat melangkah mundur secara perlahan.

Jovanka tidak bergerak ataupun menoleh. Ia malah tersenyum tipis dan senang jika orang itu melihat seluruh adegan mengembirakan tadi secara jelas dan live karena, ia telah mengetahui siapa orang itu.

Hening. Hanya bunyi jangkrik, rumput dan daun pohon tertiup angin malam yang mendominasi. Lalu, berselang beberapa detik kemudian barulah terdengar suara berat Axel yang mengucapkan, 'mau pergi kemana?', dengan nada dingin khas cowok itu. Setelah itu, Jovanka pun bangkit, berbalik dan menghampiri mereka. Ya mereka, Axel dan Aksa.

------
Thank you for reading.
Maaf jika ada typo.
Tinggalkan komentar serta bintang oren.
Have a nice day.

She Is PsychopathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang