017

2.9K 198 9
                                    

Hi love, maaf jika ada kesalahan dalam penulisan.
Kritik dan saran dipersilakan.

------

Pukul sepuluh malam kurang lima belas menit. Dengan setelan santai, Aldi memarkir mobil di halaman depan rumahnya, lalu masuk ke dalam rumah seraya menyenandungkan nada lagu berjudul senorita.

Ketika memasuki ruang tengah, Aldi mendapati pemandangan yang sangat jarang dilihatnya. Papanya, Andrew Gunawan duduk di sofa depan televisi. Sebuah pemandangan super langkah, mengingat Andrew yang selalu berada di Jepang dengan segala urusan bisnis serta mengurusi perusahaan mertuanya di sana.

Aldi tidak memanfaatkan kesempatan itu untuk berinteraksi dengan Andrew. Bahkan memanggilnya pun tidak. Ia malah melanjutkan langkahnya ke tangga menuju lantai dua yang dimana kamarnya berada. "Tahu pulang ke rumah juga kamu," perkataan itu sontak menghentikan langkah Aldi. "Para asisten rumah bilang, kamu sudah hampir tiga bulan tidak pulang. Papa--"

"Seharusnya aku yang bilang gitu." Aldi memotong ucapan papanya, lalu berbalik menatap laki-laki yang kini juga menatapnya.

"Jaga ucapanmu, Aldi."

"Ada yang salah? Sudah berapa lama anda berada di Jepang? Anda ingat kalau masih memiliki seorang putra yang tinggal di Indonesia?"

Andrew menghela napas, lalu bangkit dari duduknya untuk menghampiri Aldi. "Papa di Jepang itu kerja, ada bisnis yang harus diurus. Ditambah lagi, ada perusahaan kakekmu di sana." Ada jeda di ucapannya. "Kamu tahu sendiri sejak nenekmu meninggal, kesehatan kakekmu menjadi menurun."

"Ya sudah, anda tak perlu balik ke Indonesia. Menetap saja di sana," jawab Aldi ketus.

"Aldi! Kamu semakin hari semakin keterlaluan! Jaga ucapanmu!" bentak Andrew. "Kalau mama kamu masih ada, dia pasti tak suka mendengar ucapanmu yang tak sopan."

Aldi memutar bola matanya malas. "Kalau mama masih ada, apa anda juga akan jarang berada di rumah? Seperti sekarang," balasnya ketus.

Andrew menghela napas dalam dan segera mengalihkan pembicaraan. "Di sekolah, kamu sedang mendekati seorang perempuan?"

"Bukan urusan anda."

"Itu urusan papa. Kamu mendekati anak dari keluarga Rendra. Benar bukan?"

Aldi menyunggingkan senyumnya. "Ternyata... selama ini aku masih hidup dengan seorang mata-mata. Hebat, hebat sekali."

"Ini demi kamu."

"Demi aku? Anda sedang melawak? Tapi sungguh, ini sangat-sangat tidak lucu. Kalaupun aku mendekati anak dari keluarga Rendra, itu bukan urusan anda."

"Aldi!" bentak Andrew lagi.

"Aku lelah. Setelah mengambil keperluanku, aku tak akan mengganggumu," kata Aldi kemudian melangkah menaiki tangga, meninggalkan Andrew yang menahan marah.

"Adikmu akan kembali ke Indonesia," ucap Andrew tiba-tiba, membuat langkah Aldi terhenti sesaat. "Ingat adikmu, Aldi," sambungnya.

Seketika itu pula Aldi merasakan rahangnya mengeras. Namun, ia tetap melanjutkan langkahnya tanpa menjawab ucapan Andrew.

***

Aksa menatap kosong ke arah jalan raya dari dalam warung seblak milik mamanya. Ia duduk sambil menopang dagu dengan salah satu tangannya. Sedangkan tangan yang satu lagi sedang memainkan jeruk asam yang ada di dalam mangkuk kecil.

"Tumben kamu ada di sini. Nggak kerja?" Ucapan itu sukses mengalihkan perhatian Aksa. Ia menoleh dan menatap mamanya, Fany yang kini berdiri di sampingnya. Tidak ikut duduk. Dia mengusap lembut kepala Aksa.

"Aku... sudah nggak kerja lagi."

"Dipecat lagi?" tanya Fany. Wanita itu menghela napas pelan, lalu menarik salah satu kursi dan ikut duduk bersama anaknya.

"Iya."

"Karena adik kamu lagi?"

Aksa mengangguk ragu. "Aku pasti cari kerjaan lagi, biar ngurangin beban mama. Mama nggak perlu khawatir."

Fany tersenyum lembut. "Mama masih bisa kok biayain kamu dan adikmu. Biarpun papamu jarang pulang, tapi dia juga memberi uang untuk sekolah kalian."

Aksa menghela napas. "Sebenernya, papa kerja apa?" tanyanya ragu.

"Mama juga nggak tahu." Sekarang Fany yang menatap nanar ke jalan raya. "Kamu pikirkan saja sekolahmu, tak perlu mencari kerja sambilan. Dan... maaf untuk adikmu, Aksa," ujar Fany sambil mengelus lembut kepala anaknya.

Aksa meraih salah satu tangan Fany. "Mama jangan ngomong gitu. Bagaimanapun, Deliya juga adik aku."

Fany tersenyum tipis. Ia mengedarkan pandangan ke segala penjuru ruang warungnya yang sepi tanpa pembeli. "Maaf Aksa, mama belum bisa bahagiain kalian."

Aksa mengikuti pandangan mamanya lalu tersenyum lebar. "Mama memang yang terbaik. Begini aja Aksa udah seneng kok, asal ada mama."

Fany mengulum senyum. "Mama akan berusaha melakukan yang terbaik buat kalian. Karena kalian harta mama yang paling berharga."

Aksa tertawa kecil. "Love you, Ma," katanya hingga mendapat sebuah pelukan singkat dari mamanya.

Hangat menjalar di dada Aksa saat mendapat pelukan dari mamanya. Ia tersenyum. Pembicaraan singkat itu membuatnya semangat kembali. Menyadari suasana hatinya yang telah terasa lebih lega, Aksa bersyukur karena telah menjadi bagian dari keluarga kecil ini.

Saat Fany melepas pelukannya, ia dapat dengan jelas melihat senyum lembut di wajah anaknya, dan seolah menular, ia pun ikut tersenyum. Fany tak berharap lebih atas kehidupannya, ia hanya berharap agar anak-anaknya hidup dengan bahagia. Hanya itu.

She Is PsychopathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang