037

1.6K 106 5
                                    

"Kamu salah mengerti, Ra." Aksa menatap gadis di hadapannya penuh harap.

"Salah mengerti?" Radinka mengernyit dalam. "Aku lihat dengan kedua mataku, kamu jalan sama Jovanka dan Axel di toko buku tiga hari lalu. Tapi, kamu nggak ada waktu untuk aku. Setiap aku ngajak kamu jalan atau ke toko buku, kamu malah beralasan. Terus weekend kemarin kamu bak menghilang, nggak ada kabar sama sekali. Apa lagi yang salah dimengerti, Aksa?!" cecarnya mengeluarkan semua unek-unek dalam hati.

"Aku bisa jelasin, tapi nggak sekarang, oke?"

"Kenapa nggak sekarang?" Nada suara Radinka naik satu oktaf dari sebelumnya. "Salah paham, penjelasan, penjelasan apa lagi? Paling kamu cuma beralasan lagi. Dari kemarin kamu selalu beri alasan itu dan ini. Aku pusing nanggepin kamu Sa, pusing!"

"Ra, aku bener-bener bisa jelasin, namun nggak sekarang." Aksa berujar penuh harap. Ia tak bermaksud menghancurkan hati kekasihnya itu, apalagi membuatnya pusing dan terlihat menderita seperti sekarang. Aksa  sama sekali tak ingin membuatnya sakit hati, sama sekali tidak. Karena Aksa sungguh menyayanginya.

Radinka menggeleng. Senyum sinis terukir jelas di wajahnya. Menurut Radinka, semua sudah begitu jelas di matanya tanpa perlu penjelasan apa pun lagi. Randinka merasa, ia hanya buang-buang waktu jika membiarkan Aksa mengeluarkan semua alibi dan alasan. Sungguh, Radinka tak ingin mendengarnya. Ia hanya ingin mendengar sebuah penjelasan bukan alasan.

"Aku cape." Sorot mata Radinka semakin dingin dan tajam.

"Radinka, tolong. Aku...."

"Cukup Aksa!" seru Radinka, hingga membuat beberapa murid yang berlalu serta menuruni anak tangga lantai dua ke satu melirik ke arah mereka berdua yang sedang berbicara di dekat samping tangga, tepatnya di depan tempat penyimpanan di bawah tangga itu.

"Ra...." Aksa meraih kedua tangan gadis di hadapannya, mencoba tak memperdulikan tatapan orang di sekitar mereka. Namun, sayangnya tangan Aksa langsung ditepis oleh gadis itu.

Radinka menggeleng. "Temui aku kalau kamu udah bisa menjelaskan bukan beralasan," ujarnya lalu berpaling, melangkah tergesa-gesa meninggalkan Aksa. Radinka ingin cepat-cepat pergi, ia tak tahan menahan gejolak di hatinya. Dan mungkin, jika lebih lama lagi ia berhadapan dengan kekasihnya--Aksa--mungkin ia akan mengeluarkan tangisnya di depan cowok itu. Dan itulah hal yang paling tak diinginkan oleh Radinka.

"Radinka!" panggil Aksa dengan tatapan yang mengikuti arah pergi gadis itu yang menaiki anak tangga ke tantai dua.

Tiba-tiba langkah Radinka terhenti, namun bukan karena panggilan Aksa, tapi karena ia berpas-pasan dengan Arvin yang sedang menuruni anak tangga.

Avin mengernyit. "Lo kenapa?" tanyanya bingung saat melihat mata Radinka memerah dan berkaca-kaca.

Radinka mendengus saat mendengar pertanyaan Arvin, ia merasa sama kesalnya saat melihat wajah Aksa. Mungkin itu karena Arvin teman dekat Aksa. Belum lagi saat Radinka menanyakan sesuatu tentang Aksa akhir-akhir ini, cowok itu malah menjawab; Lo kan pacarnya, seharusnya lo lebih tahu. Dan lagi, respon yang paling sering didapat oleh Radinka itu; Gue juga nggak tahu.

"Hey?" Arvin mengangkat salah satu alisnya. Namun, bukan sebuah jawaban yang Arvin dapat, Radinka malah langsung melangkah pergi melewatinya. Mendapatkan respon aneh gadis itu padanya, Arvin menoleh cepat ke arah Aksa yang berdiri di samping anak tangga paling bawah. "Lo ngapain dia lagi?" tanyanya sambil melangkah ke arah Aksa.

Aksa menghela napas berat. Bukannya menjawab pertanyaan Arvin, Aksa malah langsung mengingat cerita tentang adiknya--Deliya--yang dijelaskan oleh Arvin kemarin lusa, tepatnya sabtu pagi di sebuah kafe perpustakaan favorit sohibnya itu.

Cerita tentang perkataan seorang pria yang berada di dalam rumah Aksa yang Arvin tebak itu adalah ayah Aksa sendiri. Serta, bagaimana reaksi Deliya setelah itu hingga kemana Arvin membawa adiknya setelah itu.

Semua diceritakan secara terperinci oleh Arvin pada waktu itu. Aksa pun sontak merasa kesal pada Arvin karena, cowok itu mengetahui lebih banyak hal yang dialami adiknya dari pada ia yang notabennya kakak kandung Deliya.

"Hey." Arvin menjentikkan jarinya di depan wajah Aksa.

Bukannya mengeluarkan sebuah kata, Aksa malah mendengus. Saat mendengar suara Arvin, rasa kesal Aksa seperti meningkat dua kali lipat dan ingin sekali mencakar wajah sohibnya itu. Namun niat itu diurungkannya.

Aksa pun lebih memilih pergi meninggalkan Arvin dan mencari tempat untuk menenangkan pikiran serta perasaannya yang sedang campur aduk. Yaitu perasaan kacau, bingung, kesal dan... entahlah, ini sungguh tak dapat di jelaskan dengan kata-kata.

"Woy! Malah ninggalin gue," panggil Arvin yang kebingungan karena tingkah aneh Aksa sedari tadi pagi. Mengabaikan Aksa, setelah menggaruk tengkuknya yang tak gatal, Arvin langsung melangkah menuju tujuan awalnya, yaitu UKS.

Sambil memegang perutnya, hanya satu yang memenuhi pikiran Arvin sekarang, yaitu obat mag. Masa bodoh dengan Aksa, yang paling penting sekarang adalah mengamankan perut terlebih dahulu. Ini juga gara-gara Arvin yang kesiangan hingga tak sempat sarapan hingga membuat magnya kambuh.

***

"Teka-teki mengenai pembunuhan terhadap beberapa korban pada beberapa waktu lalu mulai menemui titik terang. Namun lantaran belum banyak yang bisa disampaikan, pihak kepolisian meminta untuk tetap sabar menunggu perkembangan penyelidikan. Para warga juga diimbau untuk mengurangi aktivitas luar ruangan di saat malam hari."

Mata Anselio menatap lekat layar plasma sebesar 32 inch di depannya. Keseriusan wanita pembawa berita yang menular ke Anselio, membuatnya fokus mendengarkan berita yang sedang disampaikan dan mengabaikan panggilan mamanya dari ruang kerja.

"... sejauh ini memang hanya tiga korban saja yang ditemukan dan menurut pihak kepolisian, jumlah ini kemungkinan akan bertambah jika sang pelaku belum juga ditemukan. Pihak otopsi juga telah menemukan beberapa kejanggalan dalam sempel darah korban, serta tim penyelidik juga telah melakukan penyelidikan lebih mendalam terhadap kasus ini...."

Tiba-tiba fokus Anselio teralihkan kepada Jovanka yang sedang menuruni anak tangga. Adiknya itu telah menggenakan setelan rapi, yaitu baju kaos berwarna putih dengan jaket jeans, celana jeans semata kaki dan dilengkapi dengan sepatu sket berwarna putih juga. Tak lupa, rambut panjangnya ia ikat seperti ekor kuda.

"Kamu mau kemana di jam segini?" tanya Anselio sambil melirik jam kayu klasik di samping tangga yang tepat menunjukkan pukul delapan malam.

Langkah Jovanka terhenti saat mendengar pertanyaan dari kakaknya itu. "Bukan urusan lo," jawabnya ketus sambil menatap balik Anselio yang sedang duduk di sofa.

"Kamu harus nonton berita. Jangan keluar malam-malam." Ada jeda di ucapan Anselio saat sosok Axel menuruni anak tangga. Cowok berahang tegas itu juga terlihat mengenakan setelan rapi seperti adiknya, Jovanka. "Akhir-akhir ini terjadi kasus pembunuhan. Dan pihak kepolisian sedang menyelidiki kasus itu secara mendalam," sambungnya saat Axel telah berdiri di samping Jovanka.

Jovanka mengernyit tipis. "Bukan urusan gue," ujarnya ketus lalu melanjutkan langkahnya. Sedangkan Axel, ia tak berucap sepata kata pun dan langsung menyusul langkah Jovanka setelah tatapannya bertemu sesaat dengan tatapan Anselio.

Sedangkan Anselio, ia hanya dapat menghela napas berat saat kedua sosok itu menghilang di balik pintu utama. Anselio pun langsung meraih remote yang tak jauh darinya lalu mematikan layar televisi. Kemudian, ia bangkit dan melangkah menuju ruang kerja mamanya, mematuhi panggilan-panggilan dari wanita paruh baya itu tadi.

------
Thanks you for reading
Have a nice day.

She Is PsychopathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang