018

2.7K 199 4
                                    

Hi love, maaf jika ada kesalahan dalam penulisan.
Kritik dan saran dipersilakan.

Sebelum membaca, silakan tekan bintang oren di pojok kiri. Jangan lupa komen juga ya.

Enjoy reading.

------

Jovanka mendengus kesal saat mendengar ketukan pintu yang kesekian kalinya. Orang itu tampak berusaha agar diizinkan masuk ke kamar Jovanka. Padahal Jovanka sudah beberapa kali menyuruhnya untuk pergi.

"Jovanka," ujar suara dari luar sana.

Jovanka bangkit dari kursi stenlis yang didudukinya dengan kesal. Memutar kunci, lalu menarik kenop hingga pintu di hadapannya terbuka dengan sekali hentakan. Pandangannya langsung terjatuh pada cowok yang masih mengenakan seragam putih abu dengan blazer maroon khas SMA Citra Hati. Jovanka menatapnya sengit. Namun, ia tetap mengizinkannya masuk.

Anselio melangkah masuk. Sedangkan Jovanka, ia kembali duduk di kursi dekat meja belajarnya. Sekarang matanya sibuk membaca sebuah novel, karya dari Pricillia A.W yang berjudul Zero Clas Legacy season tiga. "Mau apa?" tanya Jovanka disela kegiatannya saat Anselio telah duduk di tepi kasur.

Anselio mengalihkan pandangannya yang berada pada furnitur-furnitur kecil di atas nakas kepada Jovanka. "Vanka...," lirih Anselio.

"Apa?!" tanya Jovanka mulai kesal.

"Kamu harus jaga jarak dengan Aldi," ujarnya terjeda. "Kemarin di kantin, dia udah tahu kalau kamu itu adik aku. Tapi tadi, aku lihat dia masih juga deketin kamu."

"Hmm," jawab Jovanka singkat, masa bodoh.

"Aku serius, Jo-van-ka," ujar Anselio kembali dengan penekanan saat menyebut nama Jovanka. "Aldi itu dari keluarga Gunawan. Dia itu pesaing kelua--"

"Keluarga Gunawan pesaing dari keluarga Rendra? Terus apa hubungannya sama gue?" Jovanka memotong ucapan Anselio sambil menutup novel yang ia baca, lalu melemparnya ke atas meja hingga terdengar bunyi 'bedemum'. "Inget ya, nama gue, Jovanka Deolinda Keano. Gue bermarga Keano, bukan Rendra. Jadi, mau saingan atau apa pun itu, semua itu bukan urusan gue."

Anselio tersentak mendengar perkataan Jovanka yang tegas. Ia merasakan tenggorokannya tercekik saat adiknya menyebut marga kedua keluarga dan seakan-akan kedua belah pihak itu tak ada hubungan apa-apa. Bagaikan hubungan yang asing dan hanya sekadar lalu.

"Ada lagi?" tanya Jovanka dengan sorot mata yang tajam. "Dan, berhenti manggil aku-kamu."

Anselio menghela napas berat seraya beranjak dari duduknya, tapi wajahnya seakan berkata lain. Hanya karena tak ingin berdebat dengan adiknya, ia pun pergi meninggalkan kamar Jovanka tanpa menjawab ucapan adiknya itu.

***

"Del, ini sih gue yang traktir lo kue," ujar Arvin sambil memotong kue read velvet dengan sebuah sendok kecil, lalu memakannya.

"Hm," angguk Deliya yang sedang khusyuk menikmati sepotong ice cream cake harvest miliknya.

Arvin mengernyit. "Hm? Hm apa hm? Ngeselin banget sumpah. Kan gue jadi rugi."

Deliya mendengus. Ia meletakkan piring kuenya di atas meja. "Perhitungan banget sih! Gue kan lupa bawa duitnya. Kapan-kapan gue traktir beneran deh," ujar Deliya lalu meraih kuenya kembali.

"Tekor bandar, tekor bandar," gumam Arvin sambil menggeleng. "Lo jangan ke klub lagi deh," sambungnya tiba-tiba.

"Hm?"

"Hm lagi?" Arvin memutar bola matanya jengah. "Sejak kapan lo jadi suka ke klub gitu?" sambung Arvin.

Deliya mengernyit sambil berpikir. "Hmm... mungkin sekitar tiga bulan lalu." Ada jeda di ucapannya. "Kenapa jadi bahas klub?"

"Lo jangan ke klub lagi, nggak bagus." Arvin menjawab ucapan Deliya dengan santai tanpa beralih dari piring kuenya.

Plaakkk....

sebuah jitakan mendarat di kening Arvin hingga membuatnya meringis dan melotot sempurna kepada Deliya.

"Bacot ah lo. Itu urusan gue," ujar Deliya rada kesal, lalu kembali memakan kue es krimnya.

"Sakit bege." Arvin mengelus jidatnya yang memang terasa nyeri.

"Makanya jangan banyak tanya."

Arvin berdecak sebal. "Cepetan makan kuenya, gue mau pulang. Gerah liat ulat bulu kayak lo."

Deliya melotot. "Apa?! Ulat bulu?! Tampang cantik kayak gini lo bilang ulat bulu?!" ujarnya dengan intonasi yang lebih meninggi. "Wah, katarak seratus layer lo, Vin."

Arvin ikut melotot. "Diem. Ini toko kue, bukan pasar ikan," ujarnya saat menyadari beberapa tatapan heran dari pengunjung lain.

Deliya mendengus. "Ngeselin banget!"

Drrttt... drrttt.... drrttt.

Ponsel Arvin yang diletakan di atas meja tiba-tiba bergetar dan menyala. Terlihat dua pesan masuk di sebuah aplikasi berwarna hijau bergambar telepon. Tanpa membuka apliaksinya, Arvin tetap dapat dengan jelas membaca isi pesan itu. "Cepet habisin kuenya. Kakak lo udah chat gue."

Deliya mengangguk. Ia menurut dan memakan kuenya dengan lahap. Menurut Deliya, sayang kalau kue mahal dan enak itu tak dihabisi hingga tiktik akhir. "Thanks, udah nolong gue kemarin malem. Nanti gue beneran traktir lo deh," ujarnya tiba-tiba. Dan bak aktris, yang tadinya terlihat kesal, ia pun berubah menjadi lembut dengan cepat.

Arvin mengernyit melihat perubahan mood Deliya. "Oke. Gue pegang janji lo, hitung-hitung gantiin isi dompet gue yang tekor hari ini," jawab Arvin yang ingin memancing emosi Deliya kembali.

"Iya-iya," jawab Deliya kesal saat mendengar ucapan cowok di hadapannya itu. "Dasar pelit. Nggak mau rugi amat. Padahal, hitung-hitung buat nambahin pahala juga."

Arvin tak merespon Deliya dengan ucapan, ia malah menahan senyum saat melihat gadis itu terlihat kesal sambil memakan kuenya dengan lahap. Imut, satu kata yang tiba-tiba terlintas di pikiran Arvin.

She Is PsychopathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang