032

2K 118 1
                                    

"Dua kali kebetulan yang sangat sial!" seru Aksa frustasi.

"Ini sebuah keberuntungan, Aksa. Tawaran yang bagus bukan?" Jovanka melambaikan tangannya agar Aksa duduk kembali. "Atau... ini takdir? Karena, udah dua kali lo melihatnya secara terang-terangan."

"Lo gila?!" tanya Aksa dengan suara lantang. "Lo pasti cukup luar biasa gila," sambungnya kesal.

"Benar, gue cukup luar biasa. Namun, tidak gila," jawab Jovanka seraya tersenyum tipis, lalu menyesap limunnya.

Mendengar jawaban Jovanka, Aksa merasa skakmat. Ia tampak marah, bingung, lalu khawatir. Ia terdiam dan beralih melihat tingkah Axel yang duduk di sofa pertengahan--antara sofa yang didudukinya dan Jovanka. Cowok itu, Axel terlihat hanyut dengan tumpukkan berkas di depannya. Keributan sedari sepuluh menit lalu tak membuat cowok berahang tegas itu terlihat terganggu sedikit pun.

Mengalihkan pandangannya dari Axel, Aksa menghelas napas berat, lalu mengedarkan penglihatannya ke seluruh penjuru ruangan. Ia baru menyadari ruangan itu terlihat sangat klasik dan elegan. Benda-benda yang ada di meja serta bergantungan di dinding juga terlihat sangat mewah dan bermerk.

"Sudah cukup memandangi isi ruangan ini," ujar Jovanka memecah fokus Aksa dan langsung bangkit dari duduknya.

Aksa mengernyit saat melihat Jovanka melangkah ke sebuah meja kerja yang lumayan besar. Gadis itu terlihat mengambil sebuah map clip berwarna biru, lalu berjalan kembali ke arahnya dan melempar map itu ke atas meja. Dengan tatapan tajam melekat pada Aksa, Jovanka duduk kembali ke sofa.

"Gue nggak pernah bilang setuju untuk jadi bawahan lo," ujar Aksa lagi-lagi dengan suara lantang.

"Ini rumah orang. Intonasi suara lo, tolong diwajarkan." Axel mulai angkat bicara sambil meletakkan berkas yang ia baca sedari tadi ke meja, bersama tumpukkan berkas lainnya.

Aksa mengerjap dan langsung menyadari sesuatu. Sedari tadi ia memaki dengan suara lantang kepada Jovanka. Mengeluarkan kata-kata yang sanggat tak sopan seperti: sial, gila, psikopat, dan moster. Dan yang hebatnya, Aksa baru menyadari bahwa dirinya sedang berada di sarang moster itu sendiri, yaitu rumah Jovanka. Apa ini akhir dari hidupnya? Mati di umur delapan belas tahun secara tragis di tangan seorang psikopat.

Bukan hanya itu yang dipikirkan Aksa. Tapi, apa semua anggota rumah ini psikopat? Hingga teriakan dan makiannya tadi tak mengundang satu orang pun yang tiba-tiba masuk ke ruangan ini untuk menanyakan sesuatu atau mendapatkan sebuah penjelasan? Dan lagi, apa Anselio juga seorang psikopat? Sungguh, sekarang Aksa merasa dirinya yang gila dan akan segera mati karena ketakutan.

"Duduk!" perintah Jovanka jelas.

Aksa tertegun, ia menggerakkan tubuhnya untuk duduk kembali ke sofa, takut-takut.

Jovanka menghela napas dalam-dalam dan kembali meraih segelas limunnya. "Tenang, suara lo nggak bakalan keluar dari ruangan ini. Ruangan ini kedap suara," jelas Jovanka dan langsung membuat Aksa merasa sedikit legah.

"Lo lagi nyari pekerjaan bukan?" Axel kembali mengeluarkan suara. "Lo cukup tanda tangan dan menerima persyaratan di berkas itu. Gaji lo perbulan lima juta. Dan syarat utamanya, tidak boleh menyinggung identitas Jovanka yang seorang psikopat di publik. Termasuk kepada seluruh pegawai rumah ini, Anselio atau pun mamanya."

Aksa mengernyit. "Maksud lo... Anselio dan mama lo nggak tahu kalau...." Aksa menghentikan ucapannya, lalu melirik Jovanka sesaat dan langsung membuat Axel mengangguk, mengiyakan.

"Lo terima aja penawarannya. Gue nggak bakalan nyiksa lo kok." Ada jeda di ucapan Jovanka. "Atau... lo bisa bayangin apa yang akan terjadi sama adik lo, Deliya."

Seketika napas Aksa tertahan saat mendengar ancaman Jovanka. Mau tak mau, Ia langsung meraih map clip berwarna biru itu, membukanya, meraih pulpen yang tergeletak di atas meja, lalu menanda tanganinya tanpa membaca.

Jovanka menyunggingkan senyum ketika pulpen di genggaman Aksa menari di atas kertas berisikan kontrak kerja itu. "Senin besok sepulang sekolah, lo langsung datang ke sini. Lo bakalan menerima tugas pertama."

Mendengar ucapan Jovanka, Aksa hanya dapat menghela napas dalam-dalam lalu bangkit dari duduknya. "Gue pulang dulu," ujarnya langsung pergi dari hadapan Jovanka dan Axel, tanpa mendengar persetujuan mereka terlebih dahulu.

***

Deliya baru saja memakan sesendok ice cream cake harvest miliknya saat lonceng di pintu toko kue berdenting. Pandangan gadis itu langsung menangkap sosok Ayas yang baru saja tiba.

Cowok itu terlihat mengenakan setelan santai seperti jeans hitam selutut, kaos putih yang dipadukan jaket bomber, serta sepatu berwarna putih bergaris hitam yang menurut Deliya kian menambah ketampanannya. Dengan senyum lebar, Deliya pun melambai ke arah Ayas untuk memberi tahu lokasinya dan menyuruh cowok itu untuk duduk.

Di sisi lain, ada Arvin yang menatap Deliya tak suka. Menurut Arvin, reaksi Deliya kepada Ayas itu terlalu berlebihan. Dan lagi, saat melihat gadis itu tersenyum lebar kepada Ayas, Arvin langsung merasakan hatinya mencelus.

"Ini jaketnya." Deliya mengulurkan sebuah paper bag berwarna biru muda ke arah Ayas setelah cowok itu duduk. "Udah gue cuci dan seterika juga."

Ayas meraih paper bag itu, lalu meletakkannya ke kursi kosong di dekatnya. "Thanks. Padahal nggak dicuci juga nggak apa-apa."

Deliya tertawa. "Kalau nggak dicuci dulu, gue yang gak enakan."

Lagi-lagi hati Arvin mencelus. Ia mengernyit sesaat sambil melirik Ayas yang duduk di sampingnya. Menebalkan muka, Arvin berhasil memasang wajah santai sambil menyeruput lemon teanya, lalu bertanya, "kok jaket lo bisa sama Deliya?"

Ayas menoleh ke arah Arvin dan mengernyit tipis. "Kemarin gue ketemu Deliya, terus ada kejadian yang buat gue harus minjamin jaket ke dia," jawabnya santai.

Arvin mengangkat salah satu alisnya. "Sebentar...." Ia menoleh ke arah gadis yang duduk di hadapannya. "Kemarin kalian ketemuan? Waktunya kapan? Kok bisa? Kenapa? Kejadian apa?"

Deliya memutar bola matanya malas saat mendengar rentetan pertanyaan dari Arvin. "Lo mau makan kue juga gak? Gue yang traktir." Deliya beralih kepada Ayas dan mengabaikan Arvin.

"Hem...." Ayas menimbang sambil melirik alorji. "Oke, gue pesan dulu," ujarnya dan bangkit menuju rak kaca yang menampilkan macam-macam deretan kue.

Arvin menatap Deliya kesal. Begitu ia melirik Ayas yang telah berada di depan rak kue, Arvin mulai memijit-mijit pelipisnya. Ia lebih memilih tak ditraktir Deliya hari ini, dari pada harus mendapat traktiran dan makan satu meja bersama dengan salah satu orang yang telah mendapat cap 'pereman sekolah sekaligus buaya darat' seperti Ayas.

Mungkin Arvin harus mencerahkan otak Deliya, bahwa cowok yang membuat gadis itu senyum-senyum sedari tadi adalah salah satu 'bad boy' yang tampangnya saja lebih buruk dari dirinya--menurut Arvin. Tapi sebodoh-bodohnya Deliya, dia tak mungkin kalau tidak mengetahui siapa Ayas itu. Ya... jika bukan berarti otak gadis itu sudah benar-benar rusak.

Beberapa saat kemudian Ayas kembali sambil membawa sepiring tiramisu cake holland bakery dan segelas es jeruk. "Tadi gue tanya di kasir, makanan kalian belum dibayar. Jadi, tadi sekalian gue bayar."

"Oke, thanks you," ujar Deliya cepat tanpa menolak sedikit pun.

Arvin menguyah mocca cake miliknya. "Gue bisa banyar sendiri," ujarnya singkat dan ketus.

"Nggak apa-apa, sekalian," respon Ayas ramah.

"Dasar, nggak nerima rezeki," cibir Deliya kepada Arvin.

Mendengar cibiran Deliya, Arvin langsung melotot kecut. Sekali pun pahit, ia harus menerima kenyataan. Kenyataan bahwa ditraktir seorang 'bad boy' sekaligus seseorang yang baru saja masuk ke dalam daftar 'black note' Arvin.

------
Thanks you for reading.
Maaf jika ada typo atau kalimat yang tidak nyaman dibaca.
Have a nice day.

She Is PsychopathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang