026

2.2K 117 3
                                    

Dua hari kemudian....

"Hai, princess!"

Jovanka menoleh sambil mengernyit ketika panggilan itu berkumandang di koridor sekolah siang itu. Sebenarnya, tanpa perlu melihat ia sudah tahu siapa yang berani memanggilnya seperti itu.

Dengan salah satu alis terangkat Jovanka menatap Aldi yang melangkah 'sok keren' ke arahnya. Ketika cowok bertampang galak itu telah berdiri di hadapannya, Jovanka langsung menampilkan senyum kecil.

Tingkah Aldi pun tak pelak mengundang perhatian dari para siswa-siswi yang berada di sekitar mereka. Sambil berbisik-bisik, beberapa murid yang berlalu juga ikut curi pandang ke arah Aldi dan Jovanka.

"Apa lo lihat-lihat?!" hardik Aldi tak suka saat tiga orang siswa berlalu sambil menatapnya aneh. "Nggak perlu perduliin tatapan orang," sambung Aldi kepada Jovanka.

Jovanka mengangguk pelan, lalu bertaya, "ada apa?"

Aldi berdeham. "Bunga dan coklat ini untuk lo," katanya sambil mengeluarkan setangkai bunga mawar merah dan sebungkus coklat dari belakang tubuhnya.

Jovanka mengernyit. Tangannya tak bergerak sedikit pun untuk mengambil hadia dari Aldi itu. Ia malah merasa jengkel karena, menurut Jovanka hal seperti ini termasuk sesuatu yang menggelikan. Mawar merah dan coklat, kekanak-kanakan dan klise sekali.

Aldi mencebikkan bibirnya saat Jovanka malah bergeming. "Ambil dong hadiahnya," pintanya sambil menyerahkan dua hadiah itu ke tangan Jovanka.

Jovanka mengerjap. Ia spontan menerima dua hadiah itu dan hendak protes. Namun Aldi terlebih dahulu berucap, "Gue diancam Kepsek. Katanya, gue bakalan nggak dilulusin kalau berulah. Jadi sekarang kita bakalan jarang ketemu. Jangan sedih ya, kalau lo nggak bisa sering-sering lihat gue."

"Terus, bunga dan coklat ini--"

Aldi memotong ucapan Jovanka. "Itu untuk lo. Coklat itu rasanya manis, kata orang rasa manis itu akan selalu diingat. Jadi lo harus selalu ingat gue. Dan mawar kain itu melambangkan rasa suka gue ke lo yang nggak bakal layu," cerocosnya.

Jovanka mengerjap mendengar perkataan Aldi. Telinganya serasa berdenging sepersekian detik tadi. Kata-kata alay itu benar-benar membuat Jovanka ingin memuntahkan isi perutnya saat itu juga.

"Sebenernya, bukan karena ancaman Kepsek juga. Tapi gue rasa, gue memang harus fokus ke ujian."

Salah satu alis Jovanka terangkat. Apa telinganya tak salah mendengar? Apa cowok di hadapannya ini sedang sakit? Terserang virus, hama, atau yang sejenisnya? Kenapa cowok yang notabennya pereman SMA Citra Hati ini bisa memikirkan ujian? Ini sungguh tak masuk akal.

Aldi tersenyum lebar dengan kedua tangan yang tiba-tiba memegang pundak Jovanka hingga membuat gadis itu tersentak kaget. "Slow girl. Nggak perlu ngelihat gue aneh kayak gitu." Aldi melepas kedua tangannya dari pundak Jovanka. "Gue memang dikenal nggak ada aturan. Tapi, gue juga nggak mau kalau dapat nilai merah, apa lagi sampai gak lulus cuman gara-gara hal sepele."

Jovanka bingung harus bagaimana menanggapi Aldi. Cowok di hadapannya ini banar-benar aneh! Super aneh!

"Gue harus berusaha, Jovanka. Gue harus menyusun masa depan demi kehidupan kita berdua nanti, demi keluarga serta anak-anak kita," ujar Aldi serius, jelas dan percaya diri.

Sedangkan Jovanka, ia langsung melototi cowok di hadapannya itu dan saat ingin berkomentar atas ucapan Aldi, tiba-tiba seseorang berdeham dan muncul dari belakang cowok itu.

Sontak Jovanka mengalihkan penglihatannya. Sedangkan Aldi, cowok itu langsung berbalik. Mata mereka pun langsung mendapati seorang guru dengan ekspresi galak yang sedang melangkah mendekat ke arah mereka berdua.

"Bu Ratna?" sapa Aldi seraya meringis.

"Aldi, Aldi, Aldi...," geram Bu Ratna setelah berdiri di hadapan Aldi. "Apa lagi yang kamu lakukan?" tanya Bu Ratna sambil melirik bunga serta coklat yang ada di tangan Jovanka.

"Haha." Aldi tertawa renyah sambil menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. "Itu, Bu. Nggak ngapa-ngapain kok."

Bu Ratna melotot. "Kamu memang benar-benar... setelah julukan pereman sekolah, kamu mau julukan Romeo? Perbaiki nilaimu untuk ujian!" pekik Bu Ratna di kalimat terakhirnya.

Aldi sedikit tersentak dan meringis saat Bu Ratna memekik dengan lantang. Lalu tanpa aba-aba ia pamit, Aldi langsung berlari menyusuri koridor sekolah sebelum Bu Ratna lagi-lagi menceramahi dan menghukumnya.

Bu Ratna menghela napas kesal, matanya mendelik kepada Aldi yang kabur begitu saja, lalu menoleh ke arah Jovanka dengan pandangan menilai.

"Selamat siang, Bu," sapa Jovanka sopan.

"Kamu... murid baru sekaligus adiknya Anselio, benar bukan?" tanya Bu Ratna karena merasa sedikit ada yang aneh.

"Iya, Bu," jawab Jovanka sekenannya.

"Kamu pacaran dengan Aldi?"

"Tidak, Bu," jawab Jovanka sekali lagi sekenannya, lalu pamit dan hendak pergi dari hadapan Bu Ratna. "Ini buat Ibu saja," sambung Jovanka sebelum benar-benar pergi sambil menyodorkan bunga serta coklat yang diberi Aldi tadi ke tangan Bu Ratna.

Bu Ratna juga secara spontan menerima dua hadia itu. Belum sempat ia protes, Jovanka sudah terlebih dahulu berbalik dan pergi dari hadapannya. Bu Ratna menatap punggung Jovanka dengan heran. Namun sedetik kemudian ia tersenyum kecil melihat coklat serta bunga yang dipegangnya itu. Bu Ratna manggut-manggut. "Ibu akan melupakan kejadian tadi," gumannya pelan.

***


Sore harinya.

Di dalam sebuah kamar yang berada di sebuah apartemen mewah di kota Jakarta, terdapat dua pria paruh baya yang sedang asik bercengkrama. Mereka duduk di sebuah sofa berwarna hitam yang saling berhadapan, dengan sebuah meja kaca sebagai pemisah.

Salah satu pria berkemeja ungu dengan potongan rambut cepak, asik menarikan jari-jarinya di atas keyboard laptop yang berada di pangkuannya. Sedangkan pria berkumis tipis yang satunya, ia asik menikmati segelas wine impor dari Prancis dengan sepiring kudapan kecil khas Italia.

Di beberapa sisi dalam ruangan itu terutama pintu masuk, terdapat beberapa pengawal atau penjaga berpakaian jas rapi berwarna hitam. Mereka semua berdiri bak sebuah patung dengan posisi tangan di belakang dan dibekali sebuah pistol di balik jas masing-masing.

"Assa! Pria licik itu sudah mengetahui pergerakan kita," ujar pria berkemeja ungu. "Andrew, aku sudah tak sabar ingin melihat dia hancur."

Andrew menyunggingkan senyum. Ia kembali menuangkan wine dari sebuah botol ke dalam gelasnya. "Kau benar," balas Andrew.

"Aku akan mengambil kembali apa yang seharusnya milikku."

"Haha." Andrew tertawa kencang seraya menggoyangkan gelas yang dipegangnya hingga wine yang ada di dalamnya seperti berputar. "Arion, Arion... Arion Shaquille, semua ini berkat rencanamu. Bukan hanya menguntungkanmu, tetapi aku juga bisa menghilangkan apa yang seharusnya hilang."

Pria yang dipanggil Arion itu menutup laptop dan meletakkannya ke atas meja. "Bagaimana urusanmu dengan anakmu?" tanyanya sambil mengambil sebuah gelas dan ikut menuangkan wine ke dalamnya.

Andrew menghela napas kasar. "Aku rasa, untuk sekarang itu tidak penting."

Arion mengangguk mengerti. "Kau benar. Fokus saja untuk sekarang. Aku yakin, anakmu nanti juga akan berpikiran sama dengan kita."

Senyum Andrew pun mengembang saat mendengar ucapan yang keluar dari mulut rekannya itu. "Mata dibalas mata, nyawa dibalas nyawa."

------
Thanks you for reading.
Maaf jika ada typo.
Silakan tinggalkan komentar serta bintang orennya.
Have a nice day all.

She Is PsychopathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang