050

1.6K 103 30
                                    

Warning for this part
Terdapat adegan berbahaya mohon bijak dalam membaca.

- - - - - -

Seorang anak perempuan berkepang satu sedang bersiap menuju aula sekolah untuk kegiatan lomba menggambar. Anak itu terpilih untuk mewakili kelasnya, yaitu kelas dua-A, karena hasil gambarnya yang dinilai bagus oleh guru kesenian untuk seumuran anak dua SD.

Lomba itu diselengarakan oleh sebuah perusahaan swasta yang bergerak dalam produksi alat tulis. Tema yang diangkat untuk lomba adalah keluarga, alam, serta cita-cita. Setiap peserta harus menggambar tiga tema itu dalam batas waktu tiga jam, atau hingga selesai selama tidak melewati batas waktu. Dan, pemenangnya akan mendapat uang saku, piagam, satu set alat gambar, lukis serta keperluan sekolah lainnya.

Semua tema, syarat, serta hadia telah diberitahukan pada setiap kelas kemarin lusa. Waktu lomba ini pun dilakukan pada hari sabtu pukul delapan tepat. Sebenarnya bukan hanya lomba menggambar, namun masih ada lomba lainnya seperti menyanyi, membuat cerpen, serta puisi yang hadianya pun sama seperti lomba menggambar.

"Nggak ada Papa, bisa nggak ya ikutin tema keluarga?" ujar seorang anak perempuan berkuncir dua dengan nada mengejek pada tiga temannya, saat anak perempuan berkepang satu tadi akan melewati tempat duduknya.

Ketika mendengar ucapan yang dilontarkan anak berkuncir dua itu, langkah anak berkepang satu itu langsung terhenti di ambang pintu kelas. Ia menoleh ke arah beberapa anak yang sedang cekikikan, ketawa-ketiwi aneh tak jauh di hadapannya. "Kamu ngejek aku lagi?" tanyanya serius dan terlihat tak suka.

Anak berkuncir dua yang merasa pertanyaan itu tertuju untuknya, ia pun langsung menoleh sambil tersenyum. "Kamu merasa?" Ada jeda, karena ia melangkah ke arah anak berkepang satu itu. "Kamu benar," sambungnya setelah berdiri tepat di hadapan anak itu seraya diikuti oleh teman-temannya.

Saat menyadari akan ada keributan lagi dari dua orang yang sama, alias dua anak yang akhir-akhir ini memang terlihat tak akur dan saling mengatai. Para anak yang ada di kelas itu, alias teman kelas mereka pun mulai berkumpul untuk menonton. Mereka terbagi menjadi tiga kubuh, yaitu kubuh anak berkepang satu, kubuh anak berkuncir dua, dan kubuh netral.

"Aku ada Papa!" balasnya tegas dengan sorot mata tajam. "Kamu jangan terus-terusan ngatain aku gitu dong."

"Ta-pi, itu-memang-benar," sindirnya kembali sambil menekan setiap kata yang ia lontarkan. "Papa kamu nggak pernah kelihatan, Jovanka. Papa kamu ninggalin Mama kamu. Kamu nggak bisa ikutin tema lomba. Seharusnya aku yang ikutan lomba itu."

"Kamu juga nggak," balas anak kepang satu itu, alias Jovanka sambil menahan kesal. "Kamu nggak punya Mama."

"JANGAN BAWA MAMAKU, ITU BEDA!" maki anak berkuncir dua itu sambil mendorong Jovanka hingga punggungnya membentur pintu dan tengkuknya menghantam handle pintu sebelum akhirnya tersungkur ke lantai. "Aku dan kamu beda cerita!" sambungnya sambil menunjuk wajah Jovanka. Sedangkan anak murid yang menonton hanya bisa melihat tanpa membantu.

"Udah!" Jovanka menepis tangan yang menunjuk wajahnya. Ia pun mendongak menatap wajah anak di hadapannya tajam.

"Dasar nggak punya Papa!" serunya kembali. "Papa kamu itu buang kamu. Mama dari anak lain juga bicara gitu."

"Aku bilang... UDAH!" Jovanka mulai naik pitam dan meraih sebuah batu berbentuk kubus di dekatnya yang dilapisi plastik. Batu itu tak terlalu besar dan lumayan pas dengan genggaman tangannya--batu ganjalan pintu--lalu hendak melayangkan batu itu ke arah anak berkuncir dua di hadapannya.

She Is PsychopathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang