"Kenapa diam saja? Kau tak berniat memperkenalkan teman barumu itu, ya?"
Seorang yang agak mirip dengan Tae Yong angkat suara. Bedanya rambutnya bebas cat rambut, saking lebatnya dikucir ala-ala pria Jepang. Bangkit dari sofa mendekati kami. Jarinya yang panjang menawarkan keakraban. Aku memandangnya ragu, lantas memandang Tae Yong pakai isyarat mata, apakah aku perlu menyambutnya.
"Namaku Yuta."
Yuta terlihat ramah, apa salahnya balas beramah tamah. Toh Tae Yong cuma menatapku dalam diam. "Lee Di Tya."
Tarikan kencang meloloskan jabat tanganku dengan Yuta dan itu ulah Tae Yong. Berkata selanjutnya, "Aku sudah di sini, bukan? Aku pergi." Lantas menarikku berbalik menuju pintu keluar.
"Hei, Dude. Kenapa kau tak duduk sebentar dan mengobrol. Siapa tahu temanmu itu kebingungan dan meminta penjelasan. Omong-omong aku Kim Do Young." Do Young yang bermain biliar menunda tembakannya, menatapku agak sangsi dan itu cukup membuatku tahu, tidak semua pria kaya ini menerimaku sepenuhnya.
Yang lain rambut pirang—lawan Do Young—memanjangkan langkah untuk sampai di depan Tae Yong dan gerak cepat merangkulnya duduk ke sofa. Otomatis gandengan tanganku dengan Tae Yong terlepas. Membiarkan diriku berdiri bodoh.
"Kapan lagi kau punya waktu luang, kalau bukan sekarang." Si pirang menuangkan bir pada seloki sampai penuh lantas memaksa Tae Yong menggenggamnya. Kurasa karena kewalahan menerima bertubi-tubi serangan pemaksaan, Tae Yong akhirnya menenggak bir pertamanya malam ini.
"Di Tya!" Tae Yong memanggilku lengkap gestur menepuk sofa di kirinya yang kosong.
Sulit memutuskan untuk duduk di antara wangi uang atau keluar saja, hal yang sangat ingin kulakukan sebelum masuk klub ini malahan. Namun melihat mata bulat itu memancarkan sihir keyakinan kuat, aku pun menurut. Melangkah lamat lantas duduk di samping Tae Yong.
"Oh, namaku Kim Jung Woo kalau kau ingin tahu." Si rambut pirang basa-basi, tapi bagiku itu seperti formalitas saja.
"Jadi, Di Tya kau ingin mendengar apa dari kami?" Mark angkat suara. Ia menenggak selokinya sebelum melempar tanya.
Kalian tahu semut yang tiba-tiba berada di tengah-tengah komunitas gajah, itulah aku. Habitatku jelas bukan di sini.
Aku berdeham, mengendalikan canggung. "Aku tahu kau seorang produser terkenal. Aku cukup mengikuti perkembangan musik. Dan Moon Taeil seorang pemilik agensi besar. Siapa yang tidak kenal Moon Entertainment di negara ini. Lalu kalian semua, aku pernah melihat kalian berseliweran di koran dan televisi, meski tidak mengikuti sepak terjang kalian, aku tahu kekayaan kalian mengerikan."
Mark beserta lainnya, kecuali Tae Yong, tertawa gelegar.
"Aku suka sekali istilahmu, kekayaan kami mengerikan." Johnny yang membawaku dan Tae Yong, berbicara. Sekarang ia menyodok bola putih untuk mengincar angka 7. "Itu seperti kita menguasai seluruh dunia," lanjutnya kini dengan gelegar tawa.
"Kau akan merasa lebih mengerikan lagi, jika tahu Tae Yong siapa?" Jaehyun yang berbicara langsung mendapat bantingan dari seloki Tae Yong ke meja. Hanya Jae Hyun yang tak kaget. Justru menancapkan sorot tajam.
"Kalian sudah kelewat batas." Amat dingin merambat pada apa saja, sampai pada diriku yang pertama merasai betapa Tae Yong sangat marah hanya karena Jaehyun hendak memberitahu. Aneh sekali. Kalaupun dia kaya, aku pun tak bakal kaget karena sudah terbiasa kaget sejak melihatnya berteman dengan orang-orang wangi uang ini.
"Oke, oke." Yuta mencairkan suasana. "Sepertinya kisah Di Tya lebih menarik ketimbang asal usul kita yang membosankan dan sering berseliweran. Bagaimana kehidupanmu Di Tya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
If I Never Loved You
FanfictionDi sepanjang rel kereta api, aku tiduran di atasnya. Bukan karena bosan hidup, melainkan menemani si Berandalan yang otak udangnya sedang bermasalah. "Selagi hidup, lakukan hal yang kau sukai dan wujudkanlah hal yang ingin kau gapai." Si Berandalan...