3

776 128 15
                                    

Memijit bahu sudah menjadi konsumsi harian. Lelah bukan lagi hal baru untuk dikeluhkan, tetapi tergantikan oleh rasa senang karena isi panci telah tandas tak tersisa, begitu juga dengan persediaan sayur dan daging hari ini di freezer. Aku benci mengakui bahwa namja tampan yang sedang melempar senyum irit kepada pelanggan membawa keberuntungan besar bagi restoran kami. Tampan? Yang benar saja! Mataku pasti sedang rabun sekarang.

"Berkat pemuda tampan itu, kita laris manis." Imo menyodok tulang rusukku dengan sikunya. Keras. Sampai aku mengaduh sakit dan Imo tak peduli sama sekali.

"Kau siapkan nasi dan masaklah menu masakan yang enak untuknya."

"Kenapa harus aku!? Imo saja. Aku sedang mencuci piring."

"Karena Imo terlalu lelah untuk memasak. Cepat sana. Kasihan Tae Yong, dia sudah membantu kita sepagian ini."

Sepeninggal Imo, aku meniup poni kesal seraya melempar sarung tangan karet ke wastafel yang dipenuhi mangkuk kotor.

Kalau tidak ingat jasanya, sudah kutendang dia sejak tadi mengingat si mesum itu sebelumnya sudah menodai bibir suciku.

______

"Hei! Makanlah!" kataku setelah meletakkan mangkuk-mangkuk yang isinya mengepul panas—baru saja diangkat dari panci—di salah satu meja.

"Tae Yong, bukan hei." Ia mendekat, menaruh lap kotor di sisi lain meja.

"Aku bahkan tidak peduli siapa namamu," sahutku sinis.

Satu alisnya terangkat, menampilkan kesan cuek yang kental. Ia menarik kursi, mengambil sumpit, tapi urung memasukkan segumpal nasi ke mulut. Ia malah menurunkan mangkuk. Matanya yang hitam segelap ruang hampa di angkasa, menatapku lekat yang duduk di seberangnya. Entah kenapa tatapannya mengingatkanku dengan seorang detektif yang sedang menginterogasi tersangka pembunuhan.

"Apa!" tantangku.

"Melihat sikapmu yang tidak menyukaiku, aku tidak yakin makanan ini aman untuk manusia."

"Yaa! Aku memang tidak menyukaimu, tapi bukan berarti aku sejahat itu meracunimu?!"

"Bagaimana aku bisa mempercayai kata-katamu kalau tidak ada bukti?"

Dengan kasar, aku merebut mangkuk nasinya. Menyendok dalam ukuran besar dan memasukkannya ke mulut sampai pipi menggembung. Bahkan saking geramnya, aku mencoba semua makanan yang kusediakan untuknya. Tak peduli betapa kepayahannya diriku mengunyah, yang terpenting aku bisa membuktikan bahwa pikirannya yang picik itu tidak beralasan sama sekali.

Masakanku enak, tapi makan di sela-sela menatapnya, tenggorokan rasanya seperti sedang menelan batu. "Puas!"

Dia mengangguk. Setengah geli saat menyeringai. "Kau tidak perlu mencoba semuanya. Bahkan nyaris menghabiskan jatahku."

Aku mendelik tak terima. "Kau yang meminta bukti tadi!"

Ia mengedikkan bahu, kembali melanjutkan makan tanpa perlu repot untuk mengganti sumpit dan mangkuk nasi bekasku tadi. Apa ia tidak merasa jijik? Apa peduliku!

Melihatnya selahap itu memakan masakanku, aku merasa sedikit lega. Dia sudah bekerja keras tadi. Melayani pelanggan, membawa pesanan dan sedikit beberes. Tidak menyangka saja kalau pemuda berandalan, arogan dan mesum ini disiplin melakukan hal yang bahkan bukan pekerjaannya.

"Terpesona, heh?"

"Terpesona denganmu? Haha ... mimpi!" tawaku sarkas.

"Terima kasih untuk makanannya," ucapnya datar setelah meletakkan sumpit di samping mangkuk.

"Sama-sama."

"Kau masih saja ketus padahal aku sudah membantu."

Mataku melotot. "Kau kira bantuanmu ini bagian dari rasa bersalah karena kau sudah menciumku seenaknya?! Haha! Maaf, aku bukan gadis rendahan yang dengan mudah luluh hanya karena kau sok baik padaku!"

Tawanya menyembur keras. Cukup lama sampai gendang telingaku nyaris tuli. Sayang, aku tidak melihat lakban untuk membungkam mulutnya. Tapi mangkuk sepertinya sangat efektif sebagai penyumpal. Niat kejiku hampir terlaksana, kalau saja Tae Yong tidak menutup mulut secara mendadak.

Lengannya ia lipat di atas meja, mendekatkan diri. Aku bahkan bisa melihat pantulan diriku seluruhnya di permukaan matanya. Tawanya musnah seketika, tak berbekas. Seakan hal lucu yang tadi ia tertawakan tidak pernah ada. Aku bertanya-tanya, bagaimana bisa ia secepat itu mengubah ekspresi?

"Lee Di Tya," desahnya memanggilku, "Kau ini terlalu percaya diri sekali, nyaris terlihat bodoh. Aku melakukan ini semua bukan sebagai permintaan maafku padamu, tapi untuk Bibi."

Kalimat terakhirnya, jika digambarkan nyata seperti tamparan keras dan pipiku sudah memerah parah. Duduk bukan lagi hal paling nyaman. Rasanya ingin kembali ke dalam dan menenggelamkan kepala ke bak cucian.

Di Tya! Kau benar-benar bodoh!

"Untuk ciuman semalam," bisiknya parau, "Aku tidak pernah menyesal. Jadi, aku tidak perlu meminta maaf, bukan?"

Ia berdiri, mendorong kursi. Sedang aku masih tetap di posisi kaku bercampur jengah. Kudengar Imo berbicara lalu disusul suara dalam Tae Yong menyahut. Pergolakan batinku yang melarang untuk sok ingin tahu, namun kalimat Tae Yong yang terakhir membuat telinga tegak berdiri.

"Terima kasih, Bibi. Aku pasti akan datang kembali."

Kepalaku yang semula menunduk seketika mendongak. Ia sudah pergi dan jejak yang baru saja ia tinggalkan hanyalah pintu setengah terbuka. Lantas buru-buru aku mengambil langkah cepat menuju ambang pintu. Kulihat surainya yang biru bergerak seirama tiupan angin. Langkahnya konstan dengan kedua tangan menyusup di saku celana.

"Hei! Kau!" Aku menggeram. Langkahnya tidak berubah.

"Tae Yong-ssi!"

Sial! Dia berbalik.

Senja telah turun, menyepuh seluruh kota. Tak terkecuali dengan namja itu. Tubuhnya terbalut warna oranye yang memukau. Sampai membuatku silau dan lupa akan kebencian sementara. Kali ini aku bisa melihatnya secara utuh tanpa celah. Rasanya tidak rela mengakui dirinya sebagai pahatan paling sempurna yang pernah kulihat selama eksistensiku ini. Tapi mau bagaimana lagi? Secara fisik, dia memang diciptakan sempurna.

Apa kabar jantung? Ia dengan seenaknya berdentaman layaknya gempa skala kecil. Aku harus menyentuh dada untuk meredakannya tetapi tidak kunjung berhasil. Bahkan bernapas tidak membantu sama sekali. Aku kenapa?

"Apa?!" Teriakannya menyadarkanku dan aku bersyukur untuk itu. Ia masih berdiri menanti ucapanku.

"Jangan coba datang lagi ke sini atau ...."

"Atau apa?" selanya dengan ekspresi mencemooh.

"Atau ... atau ...." Aku mendadak jadi linglung dan tidak menemukan pilihan kata yang tepat untuk mengancamnya. Lidahku kelu dan bagai diikat dengan benang gaib, aku tidak bisa bicara.

Senyumnya yang sialnya terlalu silau di mataku menjadi hal paling kubenci. Ia lalu berkata, "Kaulihat saja besok." Dengan entengnya, ia berbalik. Sempurna pergi dan menghilang di tikungan.

"Omo!" Aku mengelus dada yang naik turun tak beraturan. "Padahal aku tidak lari tadi, tapi kenapa jantung dan napasku berlarian sangat cepat! Aigoo!"

If I Never Loved YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang