Seminggu berlalu. Semenjak Imo tahu semuanya, ia tidak banyak berkomentar, cuma satu hal pertanyaan yang dilemparnya padaku.
"Apa kau mencintai Tae Yong, Di?"
"Kenapa Imo, bertanya seperti itu?" Pertama kali mendengarnya bilang begitu, aku langsung bereaksi berlebihan juga gugup dengan nada tinggi.
"Kalau kau bisa jawab, kau akan tahu keputusan mana yang terbaik. Kalau kau tidak cinta Tae Yong, kau pasti mudah meninggalkannya. Tapi kalau sebaliknya, kau akan mengalami banyak kesulitan. Apapun keputusanmu Imo akan selalu jadi garda terdepan untuk melindungimu." Jarang sekali Imo menunjukkan sikap sebagai seorang ibu kepada anaknya yang sedang terlilit masalah sangat besar.
Bagaimanapun menyebalkannya Imo si tukang perintah dan pemarah, aku sangat bersyukur memiliki sosoknya yang peduli kesulitan anak asuhnya dan berusaha sebisa mungkin membantu menyelesaikan kesulitanku dan Hae Chan.
Seminggu ini aku terus memikirkan pertanyaan Imo. Selama itu juga aku menunggu presensi Tae Yong. Berharap ia datang dan memberi penjelasan. Sayangnya, ia seakan ditelan bumi.
Aku tidak memiliki cukup kesabaran untuk tidak menendang selangkangannya lagi. Berhubung aku tak memiliki nomor ponselnya, aku inisiatif datang ke klub waktu itu. Di mana aku dan Tae Yong dipaksa teman Tae Yong berkumpul bersama para chaebol.
Sebenarnya agak trauma datang ke klub sendirian. Selain pengalaman pertama yang buruk dengan bodyguard sialan, juga takut laki-laki mesum tiba-tiba menculikku. Tapi demi bisa bertemu Tae Yong, aku harus menekan ketakutanku sebisa mungkin.
"Sialan kau, Tae! Aku bakal membunuhmu!" umpatku sebelum akhirnya masuk klub itu.
Pakaianku yang memakai Hoodie dan jeans hitam, tidak terlalu mencolok di tengah lautan ingar-bingar manusia. Aku menyelinap di antara mereka. Mengandalkan ingatan yang samar, aku berhasil menemukan tangga menuju tempat para chaebol berkumpul.
Baru beberapa anak tangga terlewati, aku sudah dihadang seorang bodyguard.
"Orang luar tidak boleh lewat sini!"
"Aku ingin bertemu dengan teman Tae Yong. Ada hal penting yang harus aku tanyakan."
"Tidak. Tetap tidak. Itu sudah peraturannya."
Di Tya adalah orang yang sangat keras kepala. Apapun halangannya, bahkan orang tinggi besar ini sekalipun bakalan aku terjang. Aku memaksa melangkah. Ia mencengkeram lenganku. Aku terus memberontak, juga berteriak kencang.
Si bodyguard sepertinya bosan, jadi ia mengangkat tubuhku dengan mudah dan menurunkanku. Aku berteriak makin kencang seperti orang gila.
Lalu tiba-tiba datang suara. "Hei! Lepaskan dia!" Seseorang itu menyusul mencegah si bodyguard sebelum lebih jauh membuangku.
Ia juga membantuku terlepas dari pria besar itu. Si bodyguard membungkuk meminta maaf sehabis diomeli salah satu teman Tae Yong yang seingatku kalau tidak salah bernama Jung Woo. Ia menarikku ke atas. Ke ruangan yang sama saat pertama kali aku datang ke sini.
"Silakan duduk. Maaf atas insiden tadi, di Tya."
Syukurlah kalau dia masih ingat wajahku, dan masih menganggapku manusia. Dia tak sendirian, ia bersama Johnny juga Jae Hyun. Mereka hanya bertiga di sini.
Jung Woo menawariku minuman. Aku memilih orange juice saja, aku tidak terlalu suka minuman beralkohol.
"Jadi, apa yang membawamu kemari?" tanya Johnny bertepatan dengan seorang pelayan meletakkan pesananku.
"Aku mencari Tae Yong. Semenjak pesta pertunangan Li Sa dan Jung Kook, Tae Yong menghilang. Ia tidak pernah lagi datang ke kedai. Aku ke sini karena kalian temannya, apakah kalian tahu di mana dia?"
Ketiganya menggeleng nyaris bersamaan.
"Kalau begitu minta nomor ponselnya saja."
Lagi ketiganya menggeleng. Bikin aku kesal.
"Bagaimana, sih kalian kan teman dekatnya, masa nggak punya nomor ponselnya?"
"Tae Yong jarang memakai ponsel. Kalaupun pakai, ia sering bergonta-ganti nomor karena tak mau saat pergi dari rumah ia ditemukan oleh pesuruh ayahnya. Kami memang teman dekatnya, tapi Tae Yong tak pernah mengganggap sedekat itu. Jadi, kami semua tidak tahu di mana keberadaannya sekarang." Jae Hyun menjelaskan.
Aku menghembuskan napas lelah. Bagaimana lagi? Satu-satunya harapan cara menemukan Tae Yong saja musnah seketika.
"Kau terlihat memiliki banyak masalah. Coba ceritakan pada kami."
Aku mulai menceritakan semua persoalan aku dengan Tae Yong juga kedatangan ibunya. Ketiganya anggut-anggut.
"Saranku lebih baik kau menjauhi Tae Yong dan terima tawaran dari ibunya. Percayalah itu jalan terbaik daripada mempertahankan Tae Yong yang berakibat sangat fatal." Johnny menyarankan.
"Johnny benar. " Jung Woo menyela. "Politik itu kejam. Kau berurusan dengan calon pemimpin tertinggi di negara ini. Siapapun yang menghalangi, cepat atau lambat dia akan disingkirkan. Bahkan kami yang berstatus sosial tinggi saja tidak mampu menangani, apalagi kau Di Tya. Maaf bukan aku menghinamu tapi kau dari kalangan bawah, tentu akan sangat mudah menyingkirkanmu."
Aku sama sekali tidak tersinggung. Ucapan mereka benar adanya. Situasiku memang sangat sulit. Ketimbang memikirkan aku sendiri, aku lebih mencemaskan Imo dan Hae Chan. Ini memang masalahku, tapi orang terdekatku pasti kena imbasnya juga.
"Aku sudah putuskan. Aku akan menemukan Tae Yong dulu dan meminta penjelasan. Setelah itu baru aku akan menjauhinya."
"Hei, nona keras kepala, apa saran kami tidak berguna?" Johnny sungguh kelewat khawatir. "Bagaimana kalau mereka (suruhan ayah Tae Yong) lebih dulu menyingkirkanmu ketimbang kau duluan menemukan Tae Yong?"
Aku menggigit bibir. Tahu kalau keputusanku kelewat berani dan peringatan Johnny menjadi bayangan monster yang amat menakutkan. Tapi aku sudah yakin bakal menemukan Tae Yong.
"Maaf, tapi aku sudah memutuskan."
Ketiganya menatapku dengan amat cemas.
"Apa yang membuatmu seyakin ini, Di. Apa kau mencintai Tae Yong?"
Kulit bibirku yang kering, terkelupas saat aku menggigitnya. "Aku tidak tahu. Tapi aku masih pacarnya. Aku bertahan karena aku dan Tae Yong sudah melakukan perjanjian di atas kertas. Jika hubungan kami berakhir, maka kami harus bertemu."
"Baiklah, kami akan bantu mencarinya." Ketiganya memberikan janjinya yang sedikit melegakanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
If I Never Loved You
FanfictionDi sepanjang rel kereta api, aku tiduran di atasnya. Bukan karena bosan hidup, melainkan menemani si Berandalan yang otak udangnya sedang bermasalah. "Selagi hidup, lakukan hal yang kau sukai dan wujudkanlah hal yang ingin kau gapai." Si Berandalan...