24

807 97 27
                                    

"Kau sadar tidak? Sudah menatapku bodoh setengah jam lamanya."

Teguranku hanya membuat Lou Di berkedip sedetik saja setelah itu kembali memasang wajah idiotnya lagi.

Aku berdecak. Tidak juga menaruh harapan pada Haechan karena adikku itu malah lebih parah ekspresi kagetnya.

"Berhentilah berekspresi seperti itu!" Kecamku keras.

"Rambut biru ... Rambut biru." Tiba-tiba saja Lou Di meracau. "Aku pernah memanggilnya tidak sopan!" Lantas mencengkeram lengan atasku, menggoyangnya kasar dan ekspresinya berubah kalut luar biasa. "Apakah separuh hidupku akan dihabiskan di balik penjara karena sudah menghina anak calon presiden?"

"Tidak." Aku membalasnya datar. "Paling kau ditembak mati."

"Aku tidak mau mati, Di Tya!" Mulai deh, dramatisnya. "Kau kan pacarnya, tolong sampaikan permintaan maafku pada Tae Yong!"

"Yaa, kau ini benar-benar bodoh!" Aku menarik lepas cengkeramannya yang membuat bahu bajuku melorot sampai lengan. "Negara kita bukan negara ditaktor. Jadi, bersikaplah sewajarnya dan enyahlah cepat dari depan hidungku."

"Nuna, kenapa cewek preman sepertimu beruntung sekali. Sungguh dunia tidak adil."

"Lanjutkan belajarmu, Hae chan-ah. Karena dunia tidak adil, maka isi otakmu itu dengan hal berguna banyak-banyak!"

Haechan mengerutkan bibir, mendumal sepanjang ia kembali ke bangkunya dan kembali membuka buku. "Aku yakin sekali nuna pergi ke dukun dan meminta jimat."

Aku menggebrak meja. Tak terima tuduhan kejinya. "Percuma kau sekolah tinggi kalau otakmu masih percaya hal mistis seperti itu!"

Lidahnya menjulur berikut ludah menyiprat. Sepertinya ia memang lebih suka kekerasan ketimbang cara halus. Hampir saja aku ajak adikku itu duel sebelum Lou Di menarikku duduk dan memaksaku menaruh semua perhatian padanya.

"Apa kau tidak berpikir ke depannya?"

"Kau tidak kasihan melihatku kacau seperti ini. Tinggalkan aku, atau kepalamu itu akan botak!"

"Tidak! Tidak! Kau harus berpikir kau dan Tae Yong mustahil bersama."

Kemarahan di ujung lidah seakan ditiup kipas besar, padam seketika. Aku tak berkutik memandang Lou Di yang tampil campur aduk—antara khawatir dan serius.

"Aku tahu," jawabku sangat rendah. "Makanya aku sedang menunggu kerabat Tae Yong atau bahkan ayahnya datang langsung menemuiku untuk menjauhi anaknya. Aku tahu persiapan itu penting. Jadi, kau tak perlu mengingatkan, aku sudah paham betul riwayatku akan tamat."

Oh, jangan lagi! Aku tidak suka siapapun memandangku iba. Terakhir kali aku melihat ekspresi Lou Di itu pada ibu asuh di panti asuhan ketika menyerahkan hak asuhku dan Hae Chan pada Imo. Sejak saat itu, aku belajar keras untuk menganggap biasa pandangan iba orang lain padaku. Namun, prinsip yang lama kupegang itu sekarang sedikit goyah. Terlebih Haechan yang mengolokku tadi, berhenti mengoceh. Pandangannya ... Ya ampun! Dia melihatku seperti melihat anjing yang sekarat seolah minta pertolongan.

Berdiri, tak tahan lagi. "Aku mau keluar! Jangan coba-coba halangi aku!"

"Di, kau mau ke mana?! Kau harus curhat padaku dan aku bisa kasih solusi."

"Solusi?! Memilihkanku baju saja kau tak becus, apalagi kau mereparasi hidupku! Urusi saja gigimu itu yang kuning!"

Ia melotot, panik mengeluarkan uap mulut pada tangan, "hah!" Untuk mengecek bau mulut atau tidak dan ia mengernyit. "Aku sudah sikat gigi, Di."

Aku tak peduli lagi pada argumen apapun. Langkah gegas mengambil tas di balik mesin kasir. Sebelum keluar, aku berpesan pada Hae Chan untuk mengurus toko selagi Imo liburan dan aku yang pergi mendinginkan pikiran.

*****





If I Never Loved YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang