19

539 97 6
                                    

Sejujurnya, aku belum pernah menginjakkan kaki di pesta pertunangan kaum Borjuis sebelumnya. Melihat di teve pernah. Perut mendadak melilit tak tahu diri. Kampungan kedengarannya, tapi memang sensasinya jauh lebih menyeramkan mendatanginya langsung ketimbang menonton di layar kaca, terlebih pemberitaan pesta pertunangan atau pernikahan para publik figur yang sering bergentayangan besar-besaran di media mana pun.

Semacam itulah yang terjadi di depan mataku. Tidak main-main cara para konglomerat menggelontorkan uang demi sebuah prestise. Menurut pendapat pribadi, sangat disayangkan uang sebanyak itu dibuang hanya untuk pesta semalam. Kenapa tidak yang sederhana saja, hanya tukar cincin saja bukan? Cukup mengundang teman terdekat atau saudara dekat saja. Tidak perlulah semeriah ini.

Yang benar saja, Di Tya! Pemikiranmu terlalu picik, cara pandangmu sebatas besok apa bisa menabung atau tidak? Berbeda dengan mereka-mereka yang bahkan sudah merencanakan di perusahaan mana saham yang akan mereka tanam. Sungguh pemikiran kaum proletar tidak akan mengerti tabiat otak kelas atas. Cukup sampai di situ saja memikirkannya, takutnya bukan perut saja yang melilit tapi badanmu akan meriang.

Andai ada pilihan, kerja paksa seharian mencuci piring jadi pilihan utama, kalau tahu bakalan bersikap canggung seperti ini. Namun dibandingkan berpikiran seperti itu, tentu aku tidak ingin menyakiti hati Li Sa dengan mangkir di hari kebahagiaannya. Bukankah dia mengundangku dan berharap lebih padaku, maka aku datang dan berdiri menyaksikan prosesi penyematan cincin.

Kalian akan paham rasanya jika pernah datang ke suatu tempat yang asing dan dihadapkan pada orang-orang yang tak satu pun kalian kenali. Lebih-lebih strata sosial yang diagungkan isi kepala mereka, percayalah kalian akan merasa kecil.

Seperti aku yang berdiri saja terasa tidak pantas, apalagi mengayunkan mata menginvasi brand pakaian mereka, perhiasan yang mereka pakai, perawatan kulit yang mahal, serta memikirkan berapa uang yang sudah dihabiskan untuk penampilan mereka.

Sungguh pakaianku sebatas gaun sederhana yang berhasil Lou Di dapatkan. Lengan tulip berpotongan selutut warna merah maroon dan heels hitam yang menyiksa kaki terpaksa aku pakai demi terlihat pantas. Beruntung aku memiliki Lou Di yang memaksaku pergi ke salon untuk memperbaiki wajah dengan riasan dan aku bersyukur dia tidak keras kepala dengan mempertahankan pendapatnya untuk membuatku menjadi wanita dewasa dengan riasan menor. Lantas membiarkanku menang dengan riasan minimalis.

Dibandingkan wanita-wanita-di kebun belakang maha luas milik keluarga Li Sa- yang tampil cantik memukau, aku terlalu sederhana untuk dilihat. Setidaknya aku tidak terlalu buruk.

"Apa yang sedang kaupikirkan?"

Tersentak kecil, pikiran yang tadi berseliweran ruwet membeku dan menghilang hanya karena Tae Yong yang berdiri di sampingku bertanya.

Bahkan aku sempat melupakan presensinya yang datang bersamaku hanya untuk menenangkan diri dari gugup.

"Aku hanya berpikir pria mana yang akan aku tandai untuk aku rayu," bohongku. Sama sekali tidak memandangnya dan berpura-pura mencari-cari target buruan.

"Kau masih bisa mengatakan hal itu setelah memacari pria paling berpengaruh bagi Korea Selatan?"

Aku tidak yakin ia berkata ketus, tapi aku tertawa jika memang aku sukses membuatnya kesal.

"Sombong! Kau memang kaya, tapi berkat orang tuamu," cibirku, mengingatkannya pada perkataannya di malam pergulatan tolol.

"Ya, benar. Dan aku tidak pernah meminta terlahir seperti ini." Suaranya merendah. Aku berkerut mendengarnya sedikit berbeda. Seolah nasib hidupnya bukan keinginannya.

Fakta yang diungkapkan Tae Yong, sampai sekarang masih belum aku percayai sepenuhnya. Selayaknya mimpi, aku masih merasa dalam keadaan tidur. Rasanya baru kemarin aku melihatnya dengan pandangan buruk sebagai berandalan tak jelas dan bekerja menjadi pelayan di kedai Imo. Lalu insiden di klub yang membuka mataku lebar-lebar bahwa Tae Yong bukan berasal dari kalangan biasa. Tahu-tahu sekarang aku berdiri di sampingnya yang memaki taxedo resmi dan berpotongan rambut ala CEO muda. Minus cat warna-warni. 180 derajat berbanding terbalik dari penampilannya yang biasanya urakan. Aku akui bahwa penilaianku salah tentangnya selama ini. Ia tampan dan aku tidak akan mendebat tentang hal itu untuk selanjutnya.

Namun yang membuatku penasaran, mengapa Tae Yong harus bersusah payah menjadi pelayan jika ia memiliki segalanya dengan mudah? Oke, dia bilang dia bahagia bekerja di tempat Imo. Tapi aku masih sangsi, permainan macam apa yang coba Tae Yong mainkan terhadap nasibnya?

"Kenapa kita tidak menemui mereka dan memberi selamat? Kenapa kita hanya berdiri saja di sini sejak kedatangan kita?" tanyaku sambil menatap lurus dari kejauhan pada kebahagiaan Li Sa yang tak berhenti melebarkan senyum. Kapan aku bisa seperti dia, ya?

Aku berhasil menemukan pertanyaan untuk mengalihkan suasana tidak menyenangkan ini. Mataku yang lurus berubah haluan ke arahnya. Meski berdiri di tempat yang minim cahaya dan berada di pojokan, aku masih mampu menilai seberapa ia keras berpikir dan detik berikutnya mata legamnya meredup. Pertanyaanku tidak ia jawab. Aku mengerti perubahan ekspresi itu.

"Tae, kau meminta padaku untuk memberikanmu kesempatan untuk kita saling mengenal, bukan? Jika kau serius dengan kata-katamu, kau harusnya mengatakan apa pun tentangmu. Termasuk masa lalumu dengan Li Sa. Kau berdiri di sini saja sejak tadi dan tidak melakukan apa pun, hanya melihatnya bahagia. Kau terlihat tersiksa, kau tahu itu?"

Untuk beberapa saat, Tae Yong tak mengatakan apa pun. Aku mendesah. Entah antara kecewa atau sebenarnya aku takut mendengar jawaban masa lalu Tae Yong dengan Li Sa. Rasanya sangat mengganjal dan aku tidak menyukainya, tapi aku penasaran.

"Aku lancang sudah berkata seperti itu. Kau punya hak untuk tidak mengatakan apa pun, Tae. Itu privasimu."

"Li Sa bagiku adalah sosok yang membuatku berkewajiban untuk menjaganya di saat Jung Kook menyakitinya dan orang-orang terdekatnya yang tidak menginginkannya." Namja ini akhirnya membuka mulut dan aku sedang memasang telinga baik-baik atau hatiku lebih tepatnya.

"Li Sa bagiku adalah gadis pertama yang membuatku peduli kepada orang lain. Dia gadis rapuh yang butuh perlindungan dan aku akan selalu berusaha untuk ada di sampingnya. Menjadikan aku satu-satunya tempat bergantungnya."

"Ya, aku menyukainya. Sangat menyukainya."

Sial! Kenapa sakit sekali rasanya.

____

If I Never Loved YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang