"Lapar."
Aku yang sedang mencuci mangkok di dapur super mini ini, memutar kepala, menemukan adikkuㅡSi Keras Kepala yang Nyaris Bikin Darah Tinggiㅡmenguap, berjalan terseok sembari menggaruk pantat lantas mengambil tempat di depan meja makan sambil lesehan.
Aku meraih mangkuk, menyendok isi panci dan memindahkannya cepat. "Nih," sodorku ke meja.
Kepalanya yang disangga malas, menegak langsung. Matanya horor melirik isi mangkuk. "Ramen lagi!?"
"Sini kalau gak mau. Biar aku kasih ke Do Bong."
"Haizzzz!" Ia menggeplak tanganku yang ingin menyentuh mangkuknya. Setidaknya dengan mengancamnya dengan membawa-bawa Do Bongㅡanjing tetangga yang jadi musuh bebuyutan adikku sejak anjing itu merusak sepatunya yang berharga 50 Wonㅡsangat efektif untuk menyumpal mulutnya agar tidak lagi protes.
Dengan mulut mendumal, ia merebut sumpit dari tanganku, siap menyantap.
"Berdoa dulu."
Berdecak, tapi ia lakukan juga perintahku. Menangkupkan kedua tangan di dada, ia mulai memejamkan mata. Beberapa saat kemudian membuka mata. "Selamat makan," ucapnya tanpa bergairah.
Selagi ia makan, aku melanjutkan kegiatan mencuci mangkuk.
"Semalam dari mana?" tanyanya yang kedengarannya sumbang karena sedang mengunyah. Tubuhku mendadak menegang.
"Selesaikan makanmu dulu." Semoga yang kukatakan berhasil mengalihkannya.
"Aku tahu kau mencoba untuk menghindar."
Sial! Kepekaannya pada sekitar kerap jadi bumerang bagiku. Harusnya semalam aku masukan saja makan malamnya dengan obat tidur. Sehingga pagi ini dia tidak akan menginterogasiku dan justru tertidur pulas seperti orang mati.
"Aku bisa memberitahu Imo kalau kau menyelinap keluar rumah dan pulang larut malam."
"Aku tidak akan memberimu uang saku jika kau berani bilang pada Imo!" ancamku lengkap spatula mengacung ke arahnya.
"Kalau begitu, aku akan meminta pada Imo."
Gigiku bergelemutuk dan menyipit. Berharap mampu mengeluarkan leser yang dapat membelahnya menjadi jutaan partikel. Sedang ia menikmati mi-nya dengan gaya sok berkuasa. Aku merasa kalah pada adikku itu yang terpaut jauh empat tahun dariku.
"Kauㅡ" aku menarik napas. Menetralkan emosi yang nyaris meledak. "Jadi, Lee Hae Chan sayang, kau minta apa?" Aku membuat negoisasi selembut mungkin, meski sedikit menggeram melihatnya pamer senyum timpang seolah kena kau! Nyaris membuatku ingin menjangkau gagang sapu guna memecahkan kepalanya.
"Ceritakan padaku, kau pergi ke mana?"
"Tidak!" sahutku setengah berteriak.
"Geurae, aku akan memberitahu Imo."
"Aku pergi ke klub!" Ucapanku meluncur kelewat cepat. Aku tak yakin tadi sempat bernapas. Yang jelas aku meraup sebanyak-banyaknya oksigen setelahnya untuk kepentingan paru-paruku yang menyempit.
Mulutnya ternganga cukup lebar. Bahkan mi-nya yang panjang menjuntai sampai ke dasar meja. Matanya mendelik kaget. Beberapa detik kemudian mi di mulutnya jatuh secara dramatis ke lantai.
"Jadi, kau serius dengan ucapanmu tempo hari?" Tak peduli dengan nasib ramennya, dia menilaiku seolah aku ini orang sinting yang baru saja kabur dari rumah sakit jiwa.
"Kau tahu sendiri setiap yang keluar dari mulutku tak pernah main-main!"
"Apakah kau sudah mendapatkan pria kaya?"
"Tidak. Maksudku belum." Sial! Kenapa aku menjadi gugup.
Hae Chan kian menyipitkan mata dan entah kenapa jantungku berdegup sangat cepat.
"Apa yang kau lakukan untuk merayu mereka? Kurasa kau perayu payah sampai tak satupun laki-laki yang bisa kau manipulasi. Pria zaman sekarang sangat ahli dalam mencari wanita yang benar-benar berpengalaman dan seksi. Kauㅡ" Dia memindai dari ujung kepala sampai kaki lalu berhenti di tengah-tengah dan aku mengikuti arah pandangnya. Menunduk pada dadaku. "Datar," lanjutnya dengan tampang menghina.
Aku memutari meja agar dapat memberikan satu jambakan dan dia merintih. "Aya!"
"Kau menghabiskan uangku demi sekolahmu hanya untuk mendapatkan otak mesum! Tarik kata-katamu, atau rambutmu yang kau banggakan ini berakhir ke pembuangan sampah!"
"Aya! Andwe!!! Lepas dulu. Kumohon!"
Aku melepas rambutnya dalam keadaan dada mengembang. Paru-paruku menampung banyak emosi. Alih-alih menyesal, dia justru memandangku sengit sambil merapikan rambutnya yang berantakan.
"Kalau aku banyak uang, aku bisa menuntutmu ke pengadilan dengan tuduhan penganiayaan!"
"Yaa! Nyatanya kau tidak punya uang!" Kataku setengah tertawa puas.
Dia mendengus. "Jadi, apa yang kau lakukan di klub?" tanyanya kali ini dengan tatapan super ingin tahu.
Napasku tertahan beberapa detik. Ingatan semalam jadi slide yang lambat dan tampak jelas. Saking sulitnya melupakan, sampai-sampai membuatku tak bisa tidur nyenyak. Yang bisa kulakukan pada akhirnya pergi ke kamar mandi menggosok sekuat tenaga bekas ciuman di bibir. Sial! Bukannya dilupakan, malah bikin bibir perih.
Kalau ada kesempatan bertemu namja itu lagi, aku bersumpah akan menonjoknya sampai hidungnya patah. Ciuman pertamaku sudah ia rebut seenak jidat, yang seharusnya akan aku berikan pada pria yang kucintai sekaligus kaya tentu saja suatu hari nanti.
Aku menyesal kenapa semalam tidak kuhajar saja mukanya. Malah mematung macam orang syok dan setelah sadar, sosoknya sudah hilang. Dasar pengecut!
"Noona! Malah melamun." Sejak kapan Hae Chan mengguncang bahuku sampai puyeng kepala.
"Stop!"
"Pipimu merah! Aku asumsikan kau... Apa ada pria menyakitimu? Atau berbuat tidak sopan padamu?!"
"Yaa! Katamu dadaku datar dan pria lebih suka wanita yang berpengalaman dan seksi. Kau tenang saja mereka tidak tertarik dan mengacuhkanku jadi aku pulang saja."
Dia menghembuskan napas lega. Aku tersenyum nakal. "Kau mengkhawatirkanku, ya?"
"Aㅡniya! Jangan percaya diri dulu." Dia melepasku dan kembali duduk. Menyantap ramennya dengan lahap.
"Aku bahkan masih ingat ekspresi panikmu beberapa detik lalu," kataku terus menggodanya.
Menempelkan bibir pada tepi mangkok, ia menyeruput kuahnya sampai berbunyi keras. Ia letakkan pula mangkok dengan bunyi kelewat ketus pada meja, dibanting sepenuh hati. "Aku selesai!"
Ia bangkit. Aku berteriak. "Bantu Imo di restorannya!"
"Aku mau belajar!"
Aku menggerutu. Setidaknya ia memanfaatkan hari liburnya untuk menyumbang tenaganya bagi restoran. Tapi aku juga tidak memaksa. Dia sudah kelas tiga dan harus fokus belajar agar bisa diterima di SMA. Setidaknya ia harus mampu mempertahankan beasiswanya dan semoga bisa sampai ke perguruan tinggi. Tahulah biaya sekolah sekarang lumayan tinggi kalau sudah masuk ke SMA dan perguruan tinggi.
Seandainya saja aku bisa memacari pria kaya? Kupikir uang bukan lagi jadi masalah perekonomian kami ke depannya.
"Oh uang! Turunlah dari langit." Aku menyanyi dengan suara sumbang sambil mencuci bekas makan Hae Chan.
"Berhentilah menyanyi! Suaramu bahkan bisa merobohkan rumah!" Hae Chan berteriak.
"Memangnya kau tidak dengan teriakan megahertz-mu itu, bahkan mungkin bisa menghancurkan seluruh kota!"
Dan tak ada lagi balasannya. Mungkin dia sedang belajar. Belajar membuatnya sangat berkonsentrasi, bahkan nyaris membuatnya lupa segalanya, terutama makan. Kerap kali aku mengingatkan dan membawakan makanan ke kamarnya. Meski kami tak pernah akurㅡaku tahu kami hanya punya satu sama lain dan Imo. Kami tidak akan membiarkan satu dari kami kesusahan. Aku menyayanginya dengan caraku, begitu juga dengan caranya padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
If I Never Loved You
FanfictionDi sepanjang rel kereta api, aku tiduran di atasnya. Bukan karena bosan hidup, melainkan menemani si Berandalan yang otak udangnya sedang bermasalah. "Selagi hidup, lakukan hal yang kau sukai dan wujudkanlah hal yang ingin kau gapai." Si Berandalan...