11

519 100 4
                                    

"Di Tya!!!"

Otaknya pasti bergeser 20 derajat dari posisi semula sebelum ia datang kemari. Aku langsung menghampiri dan memberinya tanda cinta berupa tabok maut di tengkuknya.

"Yaa!" Lou Di menjerit. "Keji sekali dirimu berniat membuatku bodoh!"

"Kau memang bodoh. Kau pikir ini hutan?! Teriak-teriak seperti Tarzan!"

Kekehannya yang menyebalkan membuatku mendengus sebal.

"Dengar, aku membawa kabar gembira melebihi diskon daging sapi."

"Apa!"

"Daftar kontak pria kaya." Ia memamerkan ponselnya. Aku merebutnya. Kontaknya penuh nomor tak dikenal.

"Bagaimana aku menjamin ini asli?"

Ia berdecak. "Tentu saja asli! Aku mendapatkannya lewat aplikasi pencarian jodoh."

Kelopak mataku mengedip tak percaya. Lou Di dengan bangganya menunjukkan ekspresi, jangan-remehkan-aku.

"Wah, aku tak mengira kau segitunya frustrasi pada kejombloanmu sehingga kau melarikan diri pada aplikasi jodoh segala! Ck, ck aku prihatin," ocehku, menepuk bahunya sambil menunjukkan rasa simpati yang dalam.

"Enak saja kau menghinaku! Aku melakukannya demi dirimu, Nyonya. Hargai usahaku apa susahnya!"

"Kau ini mirip sekali wanita kalau sedang ngambek."

"Mau apa tidak!" Ia merebut ponselnya kembali.

"Iya, kirim saja kontaknya padaku!"

Ia menunjukan gestur mengelap dahi, padahal tidak ada keringat yang perlu disingkirkan. Dia memang berlebihan. "Huft, sedari tadi, kek. Jadi aku tidak bersusah payah mengeluarkan tenaga untuk mendebatmu!"

Aku mendengkus. Kembali pada pekerjaan menata piring bekas makan pada meja.

"Nanti aku bantu atur pertemuan."

Walau tak jarang kami adu mulut bahkan adu otot, Lou Di tetaplah sosok yang selalu aku harapkan bantuannya. Dia pria yang benar-benar baik, kalau sifat menyebalkannya tidak kumat.

"Terserah kau sajalah," balasku acuh tak acuh.

"Ngomong-ngomong, di mana namja rambut biru?"

"Mengantar pesanan ke kantor polisi. Tambahan rambutnya sekarang pink."

Mulut Lou Di membulat tak bersuara. Baru saja kami membahasnya, sosoknya sudah muncul saja.

"Hei, rambut pink!" sapa Lou Di. Memanjangkan tangan dan merangkulnya sok akrab.

Tae Yong hanya mengedik dagu, heran barangkali. Andai aku jadi Tae, juga bakal berpikir makhluk macam apa ini, memeluk sok kenal.

Aku membawa tumpukan piring ke dalam. Mencucinya selagi pelanggan yang datang masih sepi. Tae Yong muncul tepat ketika aku sedang membilas piring. Ia menyandarkan pinggul pada wastafel di sampingku, memperhatikan.

"Daripada kau tidak ada kerjaan, mending urus piring-piring di depan. Masih banyak yang harus dicuci segera sebelum pelanggan berdatangan," lugasku.

"Pria itu siapamu?"

Gerakan membilas terhenti, menatapnya heran. "Lou Di? Sahabat. Untuk apa tanya? Apa dia sudah pergi?" Aku melanjutkan membilas lagi.

"Ya," jawabnya pendek. Aku tak peduli. Lebih memilih meletakkan cucian pada rak. Tapi jalanku terhalangi oleh tubuhnya. 

"Ruangan ini sempit. Selagi tidak ada keperluan lebih baik menyingkir," sindirku.

Kupingnya mungkin tersumbat kotoran, atau ucapanku tidak lebih dari omong kosong gak bermutu di depan wajahnya.

"Kau akan menyesal jika menguji kesabaranku! Menyingkir!"

"Kau punya tempat favorit?

"Apa?" Aku menatap dua kelereng coklat matanya. Ekspresinya masih kondusif, berbanding terbalik denganku yang berambisi meninju hidungnya.

"Aku sedang tidak ingin main-main!" Sungguh kesabaranku sedang labil sekarang. Salah-salah tanganku punya nyawa sendiri. Bergerak semaunya.

"Tidak, aku serius. Kau punya tempat favorit untuk menyendiri?"

Ia kian menancapkan bola mata. Aku menelan ludah. Ia terlalu menggiurkan untuk diabaikan. Uh! Aku merutuki pengendalian diriku sekarang yang lemah.

If I Never Loved YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang