16

493 95 7
                                    

Su Ho. Kaya. Tapi playboy. Coret!
Baek Hyun. Kaya. Tapi kecantikannya mengalahkanku. Coret!
Hyung Won. Tampan. Tapi miskin. Coret!
Han Bin. Kaya. Tapi kekanak-kanakan. Coret!
Kang Daniel. Sempurna. Sayang, mesum!

Semua yang disodorkan Lou Di berakhir tercampakan. Tidak ada yang sreg. Seleranya jauh lebih payah dariku. Aku kira menyandang status sahabat, dapat memudahkan ia menemukan pria yang cocok untukku. Nyatanya persahabatan kami tidak cukup baginya untuk memahami kriteriaku sesungguhnya. 

Menyesal berharap lebih padanya, jika hanya gagal yang kuperoleh.

Setidaknya aku puas sudah memberi empat jitakan, kalau tidak salah hitung. Sebagai ungkapan terima kasihku padanya. Kuharap ia kapok. Menyerah kalau perlu. Minimal waras dan bisa menemukan pria yang tepat.

Ya Ampun! Kestabilan emosiku sedang diuji. Berkat Lou Di, aku menjelma menjadi wanita pemarah, bahkan hanya melihat barang bergeser sedikit saja, rasanya ingin mengamuk.

"Kencanmu gagal? Aku turut berduka cita."

Tae Yong menyeringai. Andai pel di tangannya ada di tanganku, kepalanya pasti sudah bocor.

"Aku sedang tidak ingin ribut. Kalau kau punya otak, menjauhiku adalah pilihan bijak," balasku sarkastis.

Ia malah mendekat. Menekan sisi meja yang kutempati. Mencondongkan tubuh hingga seluruh wajahnya menguasai netraku. Tae Yong, pria macam apa dia? Tidak tahu bahasa manusia. Selalu bertingkah semaunya tanpa pertimbangan.

"Ma ... mau apa kau?!"

"Tawaranku masih berlaku," gumamnya santai.

"Tawaran apa?"

"Aku yakin kau tahu, Di Tya."

Ada getaran aneh menyusup manakala mata saling bertaut. Jujur aku tidak kuat. Ingin memaling, sayangnya terikat oleh tali transparan yang ia ulurkan. Membuatku tak kuasa terjerat. Aku benci mengakui telah jatuh lemas di bawah pesona kakinya.

"Kau ... kau minggirlah! Aku tidak bisa bernapas." Intonasi suaraku goyang, terlalu gugup, tak yakin ia mau menurut. Hari biasa pun ketika marah menggelegak menyelip di antara beroktaf-oktaf saja ia tak mau dengar. Apalagi keadaanku yang menyedihkan ini. Ia justru nekat menjatuhkanku dalam kubang kendalinya.

"Mengapa kita tak mencoba menjalin hubungan?"

Kelopak mataku menganga. Jujur seperti mendengar kabar dunia mau kiamat. "Kau jangan bercanda, Tae!"

"Dengar, aku serius! Beri kesempatan seminggu untuk saling mengenal masing-masing."

"Setelah seminggu, lalu apa?" tanyaku tak yakin apa aku mulai tertarik dengan tawarannya.

"Salah satu dari kita bisa berhenti jika merasa tak nyaman, jika sama-sama nyaman apa salahnya bila dilanjutkan."

"Hanya karena nyaman?" Pertanyaanku gamang. Tak sepenuhnya yakin alasannya.

"Memang ada alasan lain, selain itu?"

"Aku tidak tahu apa modusmu, Tae?!" Setiap tekanan suaraku membawa ancaman padanya.

Ia menghela napas. "Aku hanya ingin menyakinkan diriku, Di Tya lewat hubungan kita. Tidak ada maksud lain. Memang kau punya apa sehingga kau bisa dengan mudah menuduhku punya maksud buruk?"

Aku geming. "Kau asing. Wajar jika aku sangsi padamu."

"Maka beri kesempatan untuk kita saling mengenal."

Dia tidak bercanda! Meski aku berharap setiap kalimat yang ia lontarkan sebatas kelakar saja. Seharusnya mudah bagiku untuk menolak. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Kuharap Tuhan tidak mengutukku setelah apa yang kulakukan, berubah menjadi manusia munafik.

If I Never Loved YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang