6.

589 103 9
                                    

Seminggu sudah ia berkeliaran di sini. Mata, meski sudah kucecar dengan berbagai peringatan untuk tidak mencuri lihat ke arah Tae Yong, nyatanya dia tetap saja melirik dengan sendirinya. Aku sudah kehilangan kontrol atas diriku. Padahal aku sudah berusaha untuk mencegah terulangnya kembali kejadian Hae Chan yang tanpa sengaja melihatku dalam posisi yang bisa saja menimbulkan fitnah.

Untung itu Hae Chan, kalau Imo yang melihat, mungkin sekarang dia sudah berada di rumah sakit dan mengeluh jantungnya sakit.

Walau begitu, menghadapi Hae Chan sedikit merepotkan. Banyak pertanyaan yang meluncur dari benaknya dan aku tidak punya kemampuan untuk mengelak. Bagai memiliki atena deteksi di kepala, ia tahu kapan aku berbohong, kapan aku menyembunyikan sesuatu dan kapan aku punya masalah.

Dia tahu, tapi memilih untuk tidak menghakimiku lebih jauh. Aku cukup bersyukur dia tidak bilang pada Imo. Dia sudah semakin dewasa dengan memberikanku ruang privasi dan yang terpenting, meski ia bersikap masa bodoh, aku tahu dia mencemaskan orang yang sudah hidup untuknya lebih dari enam belas tahun ini.

Pink. Sial sekali! Warna rambutnya yang baru. Bukannya terlihat norak, justru wajah terberkati itu memancar ganas. Aku benci mengakuinya, kalau aku iri dengannya.

"Jeogiyo(Permisi)!"

Helaan napas lolos dari lubang hidung. Aku bersyukur dengan pria tampan di depanku yang sudah memutuskan pikiran tak warasku mengenai si Berandalan itu.

Aku menatap pria ini dari balik meja kasir. Kerutan heran muncul melihat pria berkelas di depanku ini. Kemeja putih dan celana hitam licin lengkap dengan kacamata hitam. Ia membuka kacamata dan aku langsung dihadapkan pada ceruk cacat di masing-masing pipi ketika ia tersenyum ramah. Jantungku berdetak tak keruan, dia punya aura yang memukau.

"Ada yang bisa kubantu?"

"Apa kau melihat namja dengan rambut warna pink?"

"Maksudmu Tae Yong? Dia pelayan di sini."

"Boleh aku bertemu dengannya?"

"Apa yang kau lakukan di sini, Jae Hyun-ah."

Bukan hanya pria di depanku saja yang memutar kepala, aku pun juga ketika suara dalam Tae Yong mengusik konversasi aku dan si pria.

"Seharusnya aku bertanya itu kepadamu, Tae."

Kulihat rahang Tae Yong mengeras. Kemarahannya yang tiba-tiba sulit terabaikan. Membuat tengkukku diam-diam merinding. Sedangkan pria di depanku, masih mengumbar senyum yang sama. Bagaimana bisa pria ini masih tetap tersenyum tanpa terganggu oleh wajah tidak ramah Tae Yong yang bagiku lumayan menakutkan? Bila pria ini tidak mempan dengan emosi Tae Yong bisa dibilang dia sudah terbiasa menghadapi kemarahan pria itu. Terlebih ia memanggil dengan akrab Tae Yong. Mungkinkah mereka sudah saling kenal? Cih! Mana mungkin seorang berandalan mengaku pengangguran sebelumnya dan menjadi seorang pelayan rendahan bisa memiliki teman kaya macam pria ini? Kemungkinan yang masuk akal adalah Tae Yong berhutang pada pria ini dan pria ini sedang menagihnya.

"Ikut aku." Tae Yong memerintah dengan sangat arogan. Pria ini menurut tanpa secuilpun mengubah mimik wajah. Aku pikir lain kali aku perlu meminta tips darinya untuk menghadapi Tae Yong tanpa harus terbakar emosi. Ketenangannya memang harus kuacungi jempol.

Mata ini terus mengawasi mereka sampai mereka berakhir di dalam mobil mewah yang terparkir di depan restoran. Penghalang kaca di depan ternyata sangat ampuh untuk seseorang sepertiku dengan keingintahuan yang tinggi untuk mengintip. Sayangnya mereka di dalam mobil. Entah apa yang mereka lakukan.

Tunggu! Kenapa aku begitu ingin tahu urusan orang? Aku menggelengkan kepala, melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda. Toh, buat apa mengurusi hal yang bukan urusanku, membuang waktu saja.

Tae Yong kembali tanpa pria itu setelah beberapa menit yang bagiku sama dengan berjam-jam. Meski sudah mengingatkan diri untuk mengabaikan, nyatanya rasa penasaranku jauh lebih besar ketimbang kesan cuek yang kumiliki.

"Kau punya hutang berapa pada pria itu sampai didatangi segala." Mulutku kembali seenaknya, berbicara duluan sebelum otakku berproses. Sudah kubilang rasa penasaranku lebih besar dan harus dipuaskan.

"Bukan urusanmu," ucapnya dingin lalu melenggang kembali bekerja.

Ini kali pertama aku melihat mimik wajahnya yang menakutkan. Semacam ada tanda peringatan di wajahnya 'jangan dekat-dekat, bodoh'. Jika aku sayang dengan perasaanku, sebaiknya menjauhinya adalah pilihan tepat.

Seperti biasa restoran ramai. Tae Yong, meski bermuka masam saat melayani, tidak mengurangi pembeli untuk datang ke restoran. Kalau aku jadi yeoja-yeoja itu, aku butuh berpikir dua kali untuk menginjakkan kaki lagi ke sini. Oh! Aku lupa kalau remaja labil yang masih duduk di bangku SMA itu terlalu buta akan sikap tak bersahabat Tae Yong dan tergila-gila setengah mampus oleh ketampanan Tae Yong. Pesonanya memang terlalu silau untuk diabaikan begitu saja.

Restoran tutup. Dia bersiap untuk pulang, tapi aku dengan beraninya mencekal tangannya. Alisnya—bagian wajah yang sangat kubenci—terangkat ke atas.

"Aku ingin bicara."

"Apa! Aku sedang ada keperluan penting sekarang," balasnya galak.

Apa dia bilang? Memangnya dia siapa? Sok sibuk seperti orang penting saja, padahal jelas dia hanya seorang pelayan.

"Siapa pria yang kau temui itu?"

Dengan kasar ia melepas cekalanku, menatapku lekat seolah aku ini sampah. Ingin aku menghajarnya sungguh, namun otak melarang, mengingat dia menguntungkan bagiku.

"Untuk apa kau tahu, heh?"

"Bisa kau kenalkan aku padanya? Kumohon."

Oh, apa barusan aku sudah berterus terang dan memohon padanya? Oh, bagus Di Tya, kau memang sudah gila!

Wajahnya mengguratkan ekspresi tak percaya sebelum hilang dan digantikan dengan decakan sinis.

"Semua perempuan ternyata sama, mata duitan! Mereka termasuk kau berusaha menghalalkan segala cara untuk hidup mewah dengan cara instan, menjual harga diri demi harta. Kau memang murahan, ya?"

Tidak! Aku tidak menangis! Hanya saja marah! Marah luar biasa. Satu tamparan aku berikan sebagai hadiah untuk ucapannya yang begitu menyentuh hatiku.

"Ya, kau benar! Aku murahan! Memacari pria kaya agar aku bisa kuliah! Kalau kau pikir aku menjual harga diriku, kau salah besar, Tuan!"

Aku pergi begitu saja dari hadapannya. Bukan, bukan untuk pulang. Hae Chan atau Imo—yang sudah pulang duluan—pasti bertanya, kenapa aku menangis? Aku tidak ingin mencemaskan mereka. Aku hanya perlu menenangkan pikiran sebelum pulang. Di tempat lain tentu saja.

Sial! Kenapa aku harus menangis karena namja itu!?

If I Never Loved YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang