20

603 96 20
                                    


"Ya, aku menyukainya. Sangat menyukainya."

Sial! Kenapa sakit sekali rasanya.

"Awalnya aku berpikir begitu, tapi setelah ....." Kata-kata Tae Yong tidak sampai di penghujung kalimat dan itu gara-gara pasangan dewasa saling bergandengan tangan mendekati kami.

Aku yakin wajahku sekarang sangat jelek saat mengekspresikan keterkejutan melihat siapa mereka. Sungguh image yang hina dan berani-beraninya kau Di Tya menunjukkannya di depan kandidat terkuat presiden tahun ini, Lee Jae In.

Berhenti bersikap bodoh, Di Tya! Tapi aku tidak bisa mengendalikan gugupku?! Bagaimana aku bisa bersikap elegan, ketika bakal calon presiden menghampiriku?! Jawab aku! Apa aku bisa tenang sekarang! Bahkan dalam mimpi saja, tidak pernah melintas bayangan seorang calon presiden menghampiriku! Ini pasti mimpi! Ya, mimpi! Dan ketika aku membuka mata, tembok kamarku setia menyambutku.

Nyatanya, tidak! Gawat!

"Kenapa tidak memberitahu ayah kau akan datang?"

"Aku yakin sekali pekerjaan Ayah jauh lebih penting sekadar mengurusi apa aku datang atau tidak."

Oke! Aku bisa mengendalikan ekspresiku supaya tidak tambah mengenaskan. MWO! Apa yang barusan Tae Yong sebut ke pria berkuasa ini, A-Ayah! Aku kembali melotot dan yakin sekali wajahku tidak terselamatkan. Berpikir kabur adalah jalan menuju keselamatan. Sialnya! Tangan Tae Yong sigap menggenggam tanganku sebelum aku melarikan diri.

Selanjutnya, aku tidak tahu apa ini sopan santun yang benar atau tidak, secara refleks membungkuk untuk memberi salam yang harusnya aku lakukan di awal dan bukannya lancang mendelik macam kena sawan.

"Anyeonghaseo, Tuan dan Nyonya Lee." Gugupku terselip getaran yang coba aku kendalikan.

Mataku kabur ke pentofel hitamnya yang mengilap. Tidak berani bertatap langsung. Sungguh lancang jika melakukan itu setelah bertingkah memalukan tadi. Meski begitu, aku yakin tatapannya terlalu mengintimidasi untuk menilai gadis antah-berantah ini.

"Siapa?"

Aku yakin pertanyaan itu ditunjukkan untukku. Genggaman Tae Yong mengerat, yang membuatku heran tangannya terlalu kaku dan dingin kurasakan. Seakan menahan ledakan emosi yang sepertinya coba ia tahan.

"Pacar." Singkat, tetapi mengejutkan. Kepalaku dengan kikuk menengadah ke arah Tae Yong sebagai bentuk refleksi serangan jantung atas ucapannya yang yang sama sekali tidak pernah aku kira akan dikatakannya berani di depan ayah sekaligus kandidat terkuat presiden Korea Selatan periode selanjutnya.

"Ma-aaf, Tuan apa yang dikatakan Tae Yong hanya candaan, ka-kami hanya teman," anulirku sambil menatap Lee Jae In panik.

Untuk sesaat satu keluarga tak merespons, seolah sedang mencoba mengurai anomali yang baru saja aku dengungkan. Lebih tepatnya menyelisik pakaianku, menyusup pelan menembus kulit dan menghunjam langsung ke jiwa untuk mengorek gerangan siapa gadis yang dekat dengan anak mereka. Tatapannya lebih kepada menilai pantas tidaknya aku bersanding dengan Tae Yong. Aku menyadari beberapa detik setelahnya, bahwa lebih baik aku diam karena aku merasa kecil sekarang.

"Kau menolak Jennie dan pergi dengan gadis ini." Kali ini Nyonya Lee yang berbicara. Setahuku dia istri kedua Kim Jae In setelah istri pertamanya meninggal ketika aku masih menduduki bangku SMA kelas satu.

"Namanya Lee Di Tya." Tae Yong terdengar mengoreksi, tapi buat apa? Toh, sama sekali tidak bernilai gadis ini di mata mereka.

"Dari keluarga mana? Ibu yakin belum pernah mendengar nama gadis ini di antara keluarga kenalan kita. Atau ibu yang melewatkannya?"

If I Never Loved YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang