12

516 104 7
                                    


Aku jadi mempertanyakan siapa aku akhir-akhir ini. Sepertinya aku tidak benar-benar mengenal diriku sendiri. Maksudku, selama hampir sembilan belas tahun di usiaku sekarang ini, seharusnya aku mengenal baik jiwa yang bersemayam di raga bergender perempuan ini. Namun aku merasa makin ke sini aku makin bego.

Sebelum mengenal Lee Tae Yong, aku yakin otakku masih berjalan sebagaimana semestinya fungsi otak. Setelah mengenalnya, jujur aku ingin menangis. Kenapa di dekatnya kelabilanku sering kumat?!

Yah, terimalah Di Tya! Aku sudah pasrah jika takdir burukku adalah dengan dipertemukannya ia padaku. Mungkin saja aku harus dipaksa bersusah dahulu, sebelum menerima hadiah besar dari Tuhan. Pria kaya! Benar, kan?! Aku sedang menghibur diri rupanya. Kedengarannya mustahil, tapi yah siapa tahu. Sebuah doa adalah permintaan pada Tuhan. Aku percaya jika sungguh-sungguh dan sering berbuat baik, Tuhan tidak akan membiarkan pengikutnya berlama-lama dalam harap.

Aku banyak bicara sendiri. Ngomong-ngomong aku dan dia sedang tiduran. Eh! Jangan langsung menuduhku perempuan murahan, apalagi menganggap kami sedang dalam transisi gencatan senjata. Aku jamin tidak dalam waktu dekat jika itu beneran terjadi. Maksudku, kami tiduran di atas rel kereta api sungguhan. Bukan karena aku bosan hidup, melainkan menemani si berandalan yang otak udangnya yang sedang bermasalah.

Well, jika aku pintar sedikit, seharusnya aku tidak perlu ikut-ikutan bodoh seperti dia. Mungkin otakku juga sama-sama sedang bermasalah, jadi aku mengikuti jejaknya.

Ah! Itu tidak penting sekarang. Aku ingin menikmati angin tanpa mata melihat. Lewat kulit dan perasa. Merasakan betapa ketenangan kuraih hanya dengan suara-suara alam yang bergerak selaras putaran bumi.

Kalian anggap aku gila, tuduhan kalian sebenarnya pas untukku. Rel kereta api tua, sudah lama tak beroperasi, jadi tidak perlu khawatir nyawa melayang sia-sia. Kujadikan sebagai tempat favorit selama ini. Di sinilah aku menaruh beban dan meninggalkannya.

Aku tahu kalian pasti tak percaya jika aku mengatakan bahwa aku sebenarnya introvert mengingat sifat bar-barku. Tapi percayalah, seorang introvert perlu mengisi energi dalam tubuh dengan menyendiri di tempat sepi. Begitulah aku memaknai hidup.

Hidup tidak hanya berisi senang dan susah. Lebih kompleks lagi.  Salah satunya lelah. Setiap manusia pasti lelah. Lelah bekerja keras, lelah berharap, lelah mengejar mimpi, lelah memaksa diri sama bagusnya dengan orang lain padahal kemampuannya hanya sebegitu saja.

Jika aku sendiri, lelah akan kemiskinan? Tidak, jika kalian menebaknya begitu. Aku lebih lelah lagi jika aku berdiam diri tanpa mimpi.

Lelah berdiam diri dari banyak cacian yang memojokkanku.

Lelah berdiam diri dari segala pandangan rendah yang menancap kepadaku.

Benar-benar lelah menghadapi itu semua dengan berdiam diri saja tanpa sedikitpun melawan. Untuk itulah aku terus memberontak, menangkis serangan-serangan supaya aku tidak lelah menahan sakitnya menanggung pahitnya kehidupan.

For your information, aku malah curhat.

"Selagi hidup, lakukanlah hal yang kausukai dan wujudkanlah hal yang ingin kaugapai."

Oi! Malaikat mana yang merasukiku sampai aku berbicara bijak begini pada orang yang jadi daftar terakhir yang akan aku pedulikan.

Si berandalan berdecih. "Memangnya kau punya mimpi? Sok menasehatiku segala."

Aku membuka mata lebar-lebar. Menelengkan kepala padanya. Ia masih memejam. Beberapa anak rambut pinknya dimainkan angin nakal. Aku sebenarnya tidak ingin mengakuinya, tapi dia memang benar-benar lukisan yang menakjubkan. Seperti bukan kenyataan saja. Apa mungkin memang dia makhluk fiksi yang keluar dari buku dongeng anak-anak lalu bersesat ke dunia nyata yang sebenarnya hanya untuk mengubah tatanan kehidupanku? Aku yakin benar jika ceritaku ini tidak se-bullshit cerita khayalan pengantar tidur saja. Mungkin saja lebih tragis daripada itu.

"Tentu saja! Aku ingin jadi orang kaya. Kalau tidak kesampaian, minimal memacari pria kaya."

Kali ini ia membuka mata. Menatapku balik. Bukan mengejek seperti tetangga sialanku,  ia tersenyum hangat. CATAT HANGAT! Yeah! Aku perlu caplocks biar kalian paham bahwa yang ia lakukan adalah langka. Perlu aku abadikan harusnya tadi dengan kamera, tapi yah aku tidak ingin semakin dicap sebagai perempuan penggila cowok ganteng. Apalagi pada dirinya. Iuhhhh!!!!

"Kalau begitu, ayo!"

"Ayo apa?" Aku tak mengerti ia mengajak untuk apa.

"Kita pacaran."

"MWO!!!!"

Dunia seakan-akan jadi jauh lebih gak realistis dari buku dongeng sekalipun setelah mendengarnya.

If I Never Loved YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang