Dia tidak datang hari ini. Bagus bukan, aku tidak perlu melihatnya, kalau perlu selamanya. Mungkin ia sadar akan presensinya beberapa hari ini di restoran hanyalah sebagai pengacau.
Hari ini sama sibuknya dengan hari-hari sebelumnya, namun pertanyaan 'Ke mana Tae Yong?' membuat hari ini bagai neraka. Semua pengunjung menanyakan pertanyaan yang sama berkali-kali hingga nyaris membuatku gila. Ada apa dengan semua orang? Termasuk pula dengan Imo. Memang kehilangan Tae Yong dalam satu hari bisa berdampak bagi ekosistem dunia ini sehingga mereka merasa harus kecewa?
Lalu kenapa pula aku ikut terjerumus oleh pemikiran itu juga?! Atau mungkin karena insiden sore kemarin—pertengkaran kami yang sesungguhnya—lah yang membuat ia ngambek tidak ingin datang lagi. Kalau itu benar aku perlu mengadakan persiapan pesta untuk malam ini.
"Lihat! Semua pengunjung kecewa karena Tae Yong tidak bekerja hari ini. Apa kau yang melakukannya, Di Tya."
Mataku melotot tak terima. "Imo menuduh yang bukan-bukan itu tindakan kejam?!"
"Iya! Hanya kau satu-satunya yang tidak menyukai dia. Bisa saja kau melakukan sesuatu supaya dia tidak datang kembali lagi."
"Aku memang tidak menyukainya, tapi bukan berarti aku sejahat itu untuk menyingkirkannya. Sebaiknya Imo kurangi nonton drama sampah."
"Kau ini pintar sekali membalas perkataan orang!" Lalu Imo pergi ke dapur.
Aku mendengus dan kembali ke balik mesin kasir untuk menyelesaikan transaksi pelanggan. Baru setelahnya aku harus mengantarkan pesanan ke meja-meja pengunjung yang semakin ramai.
Kuakui ketidak hadiran Tae Yong membuatku senang sekaligus sangat nelangsa dalam sekali waktu karena harus bekerja ektra dua kali lipat dan sukses membuatku sangat kewalahan. Lelah pasti, tapi mau bagaimana lagi, aku tidak mungkin mengabaikan pekerjaan ini begitu saja. Rasanya aku ingin menangis.
"Hei!"
"Namaku bukan Hei!" sentakku pada laki-laki yang baru saja muncul di depanku. Tunggu! Aku membekap mulut. Kau dalam masalah besar Di Tya!
"Kenapa kau begitu sangat terkejut?" Pria tampan yang datang tempo laluㅡtepatnya kenalan Tae Yongㅡmembungkuk lebih dekat dan aku refleks memundurkan langkah.
Aku berdeham, berkacak pinggang. "Kau mengagetkanku, orang asing!"
Jantungku makin berdentaman hanya karena tawanya yang terdengar sangat renyah.
"Jung Jae Hyun, panggil saja Jae Hyun. Kau pasti Di Tya."
"Pasti Tae Yong yang memberitahu namaku, kan? Apa lagi yang dia ceritakan? sifat burukku? Tentu saja," sinisku.
"Tidak juga."
Wow! Aku sungguh terkesan mengetahui bahwa si berandalan itu bukan sebangsa tetangga flatku yang memiliki mulut bocor.
"Ada apa ke sini? Cari Tae Yong? Tidak ada! Pergilah!"
Matanya yang semula menyipit habis tertawa, tampak melebar karena terlalu takjub. Mungkin karena kecepatan ucapanku, tanpa jeda napas.
"Kalau boleh tahu di mana dia?"
"Mana kutahu!" ketusku.
Ia mengambil satu langkah ke belakang. Gerak matanya naik turun diikuti kepala, cukup lambat sampai aku tahu bahwa dia sedang menelisik penampilanku. Lalu tatapannya berakhir dengan tatapanku yang saling bertubrukan. Dia menggeleng, berdecak dan tertawa. Apa dia sudah tak waras?
"Apa yang kaulakukan!? Kau ingin aku beri tinju!"
Meski dia sangat tampan dan mempesona, bukan berarti aku membiarkan saja dia menilaiku terang-terangan seperti itu. Itu sungguh tidak sopan!
"Ya Tuhan, pantas saja Tae Yong bertindak melampaui batas," katanya diiringi dengan tepukan jidat.
"Apa yang kau bicarakan!"
"Aniya," sambil menggeleng dan sekarang tinggal senyumnya yang berhasil membuatku jantungan lagi.
"Tolong, selama Tae Yong bekerja di sini, jagalah dia."
"Kau pikir aku ibunya?! Tidak sudi. Suruh saja Ibunya untuk ke sini dan seretlah ia keluar dari restoran ini. Dia telah membuat kehidupanku berantakan."
"Ibunya meninggal sejak ia umur 10 tahun," potong Jae Hyun cepat.
"Mwo! A ... aku ... Maaf." Tanganku menggaruk belakang telinga, merasa tidak enak hati.
"Tidak apa-apa, aku mengerti."
"Semenjak ibu Tae Yong meninggal," Jae Hyun melanjutkan, "dia sulit dikendalikan. Untuk itu aku memintamu, Di Tya. Karena kurasa kau adalah satu-satunya gadis yang memiliki keberanian untuk mengendalikannya."
"Ah!" Jae Hyun menyugar surai rambutnya yang kali ini dicat blonde, "Aku banyak beromong kosong, jangan terlalu dipikirkan ucapan ngawurku tadi. Aku harus pergi sekarang," tukasnya setelah melihat Rolex di pergelangan tangannya.
"Tunggu!" Aku menarik lengan kemejanya yang digulung ke siku. Ia berbalik dan menatapku heran.
"Ada apa?"
"Siapa Tae Yong? Dan kau juga siapa?"
Ada jeda sebelum Jae Hyun menjawab, lengkap dengan senyum manisnya. "Tae Yong adalah berandalan mesum dan aku kebetulan saja menjadi temannya."
Jawaban macam apa itu!
***
KAMU SEDANG MEMBACA
If I Never Loved You
FanfictionDi sepanjang rel kereta api, aku tiduran di atasnya. Bukan karena bosan hidup, melainkan menemani si Berandalan yang otak udangnya sedang bermasalah. "Selagi hidup, lakukan hal yang kau sukai dan wujudkanlah hal yang ingin kau gapai." Si Berandalan...