5.

632 118 6
                                    

Lou Di pergi setelah puas mencercaku habis-habisan. Berkat mulutku ini, aku mendapatkan hari yang mengenaskan. Aku terpaksa menceritakan A sampai Z kisahku dengan Tae Yong di klub. Lou Di marah luar biasa. Bisa kuhitang berapa kali ia mengataiku gila dan yang kulakukan mendelik tak terima. Sebelum pergi, ia memperingatiku keras untuk segera melupakan obsesi anehku memancari pria kaya. Aku pastikan tidak ada yang dapat menggoyahkan tekadku sekalipun itu sahabatku, bahkan Imo yang galak.

Tae Yong sedang mengepel lantai saat restoran sudah mau tutup. Ia mencelupkan lap ke ember, memeras dan mendorongnya maju mundur. Begitu terus. Anehnya aku tidak bosan melihat kegiatannya yang biasa itu. Dia terlalu menarik untuk diabaikan. Sial! Hari ini benar sepertinya kewarasanku perlu dipertanyakan.

"Tae Yong-ssi, kita harus bicara," tekanku pada setiap kata.

Dia menghentikan kegiatannya, memandangku sejenak, "Bicaralah," ucapnya lalu kembali mengepel.

Apa dia sengaja menguji kesabaranku? Aku meniup poni kesal. Merebut gagang pel darinya, menyingkirkannya jauh.

Aku benci saat dia mengangkat alisnya sebelah tinggi-tinggi lengkap dengan ekspresi sinis. Karena pesonanya akan berkali-kali lebih berbahaya jika sudah berekspresi seperti itu.

"Dengarkan baik-baik," tukasku sesaat kembali ke hadapannya lagi.

Kedua tangannya merogoh ke dalam saku. Menunduk, mencoba mensejajarkan wajah yang terpaut hanya beberapa senti dari wajahku.

"Yaa! Apa yang kau lakukan!? Jangan dekat-dekat!"

"Kau bilang ingin bicara?"

Aku mengambil langkah mundur. Memandangnya tak percaya apa yang barusan ia lontarkan. Dia mencoba bersikap naif, tapi sayang sekali aku tidak akan mudah tenggelam ke dalam kelicikan yang coba ia sembunyikan.

"Tapi tidak sedekat ini! Apa kau ingin aku meninju hidungmu?"

"Kau takut aku menciummu lagi."

Rasa panas mendadak merambat lalu parkir di pipiku dengan tak tahu malu. "Ka ... kau ini berbakat memancing emosiku, ya. Sekali lagi kau mengatakan hal tidak sopan, tanganku akan melayang dengan sendirinya."

Ia tertawa renyah. Bersedakap dan mulai serius. "Baiklah, apa yang ingin kau katakan."

"Ada beberapa poin yang harus aku luruskan. Pertama ...." Ternyata ini tidak mudah. Perut tiba-tiba bereaksi berlebihan saat ciumanku dengan Tae Yong berkelebat dengan kurang ajarnya dan aku sedang menahan diri untuk tidak ke kamar mandi.

"Masalah ciuman?"

Ternyata dia cukup peka dan sangat tahu situasi sekarang, sehingga aku tak perlu menjelaskan panjang lebar tanpa harus merasa darah tinggi. Aku mensyukuri itu.

"Iya, kau sudah mencuri ciuman pertamaku yang harusnya aku berikan pada pacarku kelak. Kau tahu apa yang kau lakukan padaku sangat kurang ajar dan melecehkan harga diriku!"

"Boleh aku membela diri?" satu untai senyum geli menghiasi sudut bibirnya. Dia pikir masalah seserius ini sangat lucu apa?!

"Coba bayangkan sendiri, kalau para bodyguard itu berhasil menyeretmu ke ranjang. Ada banyak pria mesum yang mengincar gadis ransum dan perawan sepertimu. Mereka bisa melakukan hal senonoh dan menjijikan. Beruntung aku menyelamatkanmu, harusnya kau syukuri itu. Soal ciuman, aku butuh imbalan yang berharga, karena telah menyelamatkan harga dirimu yang kau banggakan itu. Pilih mana, aku yang menciummu atau kau ingin mendarat ke pelukan pria mesum?"

Sial! Tubuhku langsung meremang mengingat kejadian kemarin. Pintar juga dia berdebat, menyinggung harga diri adalah sensitif dan ia berhasil menang satu poin dariku.

"Okey, poin pertama selesai." Pipiku sudah panas membara. Pembicaraan ini harus dituntaskan segera supaya hal vulgar yang tabu bagiku segera enyah dari pikiran.

"Poin kedua!" Jariku teracung. "Apa motifmu bekerja di sini?"

"Aku pengangguran. Aku butuh makan dan hidup. Kau pikir selain itu apa? Aku yang ternyata seorang perampok, pura-pura menyelamatkan bibi agar aku bisa mendapatkan pekerjaan. Lalu setelah menjadi pelayan, aku akan merampok dan memperkosamu? Sebaiknya jangan pernah lagi kau nonton drama. Semua itu omong kosong."

"Lagipula," lanjutnya, "Kalau aku memang perampok, sudah dari kemarin aku bereaksi, tidak dengan bersusah payah menjadi pelayan seperti ini. Kalau kau cerdas, kau pasti memahaminya."

Ya Tuhan manusia macam apa yang kutemui saat ini?! Sial dia menang dua poin.

"Baiklah, aku percaya. Poin ketiga." Ketiga jariku teracung lagi.

"Bertingkah lakulah yang sopan. Tidak ada yang namanya kontak fisik dan berbicaralah kalau itu menyangkut pekerjaan. Kau dan aku harus profesional."

"Ini sangat menggelikan."

Mataku mendelik. Sebisa mungkin memberikannya intimidasi, tapi itu tidak cukup membuatnya terpengaruh. "Yaa! Aku serius! Kau harus mematuhinya!"

Langkah yang ia ambil semakin dekat. Setiap langkah mengirimkan kegugupan untukku. Menghindar bukan hal yang mudah jika pinggulku terlanjur mentok di sisi meja. Tanpa peringatan, Tae Yong sudah memerangkapku. Napasnya yang hangat menampar mukaku. Ingin menyangkal, namun jantung berkhianat. Berusaha menegakkan kepala, yang ada malah mataku jelalatan ke mana-mana. Tidak ingin menatap langsung manik besar hitam yang menampilkan seluruh seluet wajahku.

"Di Tya-ah." Suaranya yang dalam mentransferkan keringat dingin sebiji jagung. Berlebihan? Apa peduliku?! Bukan pertama kalinya aku berdekatan dengan laki-laki. Bergaul dengan Lou Di contohnya. Selama tiga tahun menjalin persahabatan, tidak pernah kurasakan perasaan gugup yang asing seperti saat ini.

Namja ini sangat berbahaya!

"Aku bisa bersikap sangat sopan pada pembeli, tapi padamu, aku tidak bisa menjamin tanganku atau bibirku tetap patuh. Mereka seolah mempunyai nyawa sendiri. Seperti ini."

Se ... Sejak kapan tangannya nangkring di pinggulku!? Kedua-duanya pula!

"Lihatlah ekspresimu itu, kau ini seperti mau dieksekusi mati." Tawanya yang renyah dan dalam membuatku kesal.

Aku berusaha mendorongnya. Tidak berefek apapun. Tanganku malah menempel di dadanya dan satu sudut bibirnya tertarik. "Kau bilang tidak boleh ada kontak fisik, tapi kau menyentuh dadaku. Kukira kau ini polos, ternyata kau ini agresif, ya."

"Yaa!!! Lepaskan aku, Brengsek! Kau yang mulai duluan!"

"Noona! Apa yang kau lakukan?"

Oh tidak! Mataku mengerjap ketika melihat sosok Hae Chan berdiri dengan cone di tangannya dan secara dramatis segumpal es krim jatuh ke lantai. Mukanya yang terkejut membuatku sukses terlepas dari kekuasaan Tae Yong—lebih tepatnya ia yang melepaskan.

Kalau saja sekali menjentikan jari dapat memutar ulang waktu, aku sudah sejak tadi melakukannya!

If I Never Loved YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang