Satu malam telah berhasil menjungkir balikkan entah itu persepsiku mengenai Tae Yong, atau juga menamparku sangat keras bahwa aku seharusnya tidak datang ke pertunangan Li Sa jika yang kudapatkan hanya rasa malu dan insecure.
Embusan napas putus asa kesekian, menatap gadis menyedihkan di cermin. Kabar baiknya, aku masih sanggup memakai topeng pura-pura biasa. Kupikir ini bakat yang ditempa kehidupan kerasku.
"Oke, Di Tya. Pertama-tama, kau harus keluar dari toilet ini dengan elegan seolah kau putri raja. Jangan sampai terlihat Tae Yong lalu menyelinap seperti hantu. Keluar dari pesta dengan selamat, kalau perlu berlari setelahnya. Ini terdengar mudah, aku pasti bisa."
Aku mulai tidak waras, berdialog sendiri dengan cermin. Siapa yang tidak begitu, semua orang bakal sepertiku jika sudah ditempatkan di situasi yang sangat mustahil ini.
Setelah merapikan riasan yang sama sekali tidak ada bedanya, aku membereskan clutch, lantas keluar toilet dan kembali ke pesta untuk memulai eksekusi.
"Mengapa kau mengendap-endap, Noona?"
Kenapa setiap rencana yang kususun tak pernah berjalan sesuai harapan. Aku berbalik untuk menemukan cengiran khas Soobin.
"Kau?!" Aku setengah berbisik. Pun terkejut dengan entitasnya. "Bagaimana kau bisa ada di sini?"
"Kebetulan, ayahku salah satu orang penting di perusahaan ayahnya Li Sa. Jadi, tidak ada alasan kami tidak diundang."
"Baiklah terserah apa katamu, aku pergi."
Baru saja ambil setengah langkah, lenganku sudah dicekal Soobin.
"Kau ingin kabur, ya?" Tuduhannya memang tepat akurat, tapi tetap saja mengejutkan sebab ia terlalu peka.
"Bukan urusanmu? Lepaskan!"
"Sejak kau datang bersama Tae Yong, aku sudah mengamatimu, lho dari jauh. Kau tahu 'wow' saja belum cukup." Tidak bohong ekspresi kaget mematri apik di wajahnya.
"Ya, ya, ya. Kau benar, aku bahkan nyaris mau mati. Sudah, ya."
Tarikannya, menggagalkan kaburku. Kesalku jadi tumbuh, tapi kucoba untuk tetap sabar. "Apa, sih maumu?!"
"Dengar, kau harus sadar diri siapa yang kau kencani sekarang."
"Lalu apa urusanmu?!"
"Lihat dirimu, kau tampak menyedihkan dipermalukan di depan umum. Tinggalkan Tae Yong dan mulailah melihatku. Karena mungkin aku satu-satunya orang kaya yang mau menerimamu apa adanya."
Aku tersenyum maklum. "Soobin-ah, terima kasih sudah menghiburku. Tapi aku harus pulang."
"Biar aku antar kau pulang."
"Tidak, terima kasih. Aku bisa pulang sendiri."
"Aku sama sekali tidak keberatan."
"Apa kau tuli?!" sentakku berusaha lepas dari cekalan tangannya yang mulai menyakiti, tapi ia tak mau menyerah. "Kubilang lepas!"
"Kau tidak dengar yang dia bilang?" Suara berat lain datang dan itu buatku lebih baik menerima ajakan Soobin.
"Ayo, cepat Soobin katanya kau mau ajak aku pulang." Aku langsung menyeretnya tanpa peduli kebingungan menyetak wajahnya.
Namun, tanganku secara kilat berpindah tangan dalam genggaman Tae Yong. Aku pun diseretnya menyingkir dari pesta.
Ini memang ide yang sangat masuk akal, meski begitu terasa menyakitkan. Tapi bagiku ini sudah sangat tepat sekali.
"Tae, kita putus saja, ya?"
Ia menarik lenganku makin kasar keluar dari hunian elit milik keluarga Li Sa di daerah Gangnam. Lantas tanpa peringatan, meluncurlah permintaanku itu yang membuat Tae Yong menghentikan tarikan. Menatapku dengan kerut yang luar biasa marah.
"Kau bilang kau menginginkan pria kaya?!"
"Ya!" Menghempas tangan, aku membebaskan pergelanganku dari rasa sakit yang timbul akibat dirinya. "Aku memang menginginkan pria kaya, tapi bukan dari keluarga yang sangat berkuasa. Kau tahu membayangkannya saja membuatku ... takut. Jae Hyun benar kau sangat mengerikan. " Ujung lidah mendadak kelu di penutup kalimat. Seraya mengusap canggung merah bekas tarikannya, aku tak lebih kucing jalanan yang takut diterkam garis takdir yang kejam.
Kekehannya bukan harapan yang kuinginkan. Lebih baik ia mengeluarkan semua temperamennya ketimbang memandangku putus asa seolah harapannya telah lama mati dan apa yang tertinggal berupa ironi saja.
"Tae ...."
Ia tak mau mendengar panggilanku. Membuang muka, mendinginkan aku lewat sikapnya. Kendati demikian unek-unek di pikiran lebih mendesak untuk diumbar.
"Aku tidak mengerti dengan caramu menjalani hidup selama ini. Menjadi pemuda tidak jelas di mataku adalah sekian hal yang mungkin itu urusanmu, bukan urusanku. Tapi mengapa kaulakukan itu? Oke, kau bilang kau ingin bahagia. Tapi mengapa bahagiamu harus dengan bersusah payah di saat kau memiliki segalanya dan mampu mendapatkan apa yang kau inginkan dengan mudah? Kau tahu betul banyak orang, termasuk aku ini harus banting tulang demi bisa membeli barang dambaan dan kau hanya tinggal tunjuk, kau bisa dapatkan apapun yang kau inginkan dengan mudah. Tapi kau membuangnya begitu saja seperti sampah. Kau tahu, kau terlihat sangat tidak bersyukur."
Satu tarikan napas, jadi jeda untuk atur tempo perasaan yang ternyata lebih rumit dari yang kukira. Masalah hati. Tidak pernah dalam usia sembilan belas tahunku akan secepat ini melalui fase asmara dan sekali merasakan ternyata sama sekali tidak menyenangkan sekali. Sejujurnya, aku tidak tahu menyikapinya dengan cara apa.
"Tae, kau tahu benar kita sama-sama tidak saling mengenal. Lalu kau tiba-tiba mengajak aku pacaran. Apa karena kau kaya dan aku menginginkan pria kaya sehingga kau berpikiran seperti itu? Apa untungnya buatmu? Atau kau sedang melarikan diri? Aku butuh kejelasan di sini."
Dia masih mempertahankan gemingnya dan aku tidak suka. "Aku yakin sekali semakin cepat kau mengatakan semuanya, semakin cepat masalah ini selesai!" desakku makin kalut. Berhasil, ia mau menatapku kembali meski yang kudapatkan marahnya.
"Aku akan mengatakan satu hal dan itu akan jadi jawabanku untuk semua pertanyaanmu. Setelah tahu siapa aku, kau masih mau bersamaku?"
Aku tersentak. Mengapa ia mempertanyakan hal menjurus begitu ketimbang satu-satu mengurai akar masalahnya.
"A-aku...." Bingung. Lubang hitam mendadak muncul, menyedot seluruh kosa kata dan menjadikanku idiot dadakan.
"Kau dan aku." Aku meringis, menelan ludah kering kepayahan. "Kau tahu sangat berbeda, bisikku tak ada niat untuk menekan pernyataanku, justru aku sendiri tak yakin ketika mengatakannya.
"Kau salah, Di Tya. Memiliki segalanya bukan berarti mudah mendapatkan apapun. Nyatanya ketika aku menginginkanmu, kau tidak memiliki keinginan yang sama terhadapku."
A-apa yang barusan ia katakan?! Tatapan nanar menembus dinding pupilnya yang meski redup cahaya, aku masih mampu memperkirakan dinding itu bakal gampang runtuh.
Ia menarik napas lebih dalam. "Kau salah bila aku membuang segalanya seolah aku tak bersyukur, justru aku meninggalkannya untuk bisa merasakan apa itu syukur. Hingga akhirnya aku menemukanmu, dan di titik ini aku sangat yakin kaulah bentuk rasa syukur yang aku cari selama ini."
Menurut versiku, tidaklah keren terharu hanya karena kata-katanya yang tak biasa. Bahkan aku mengira, sosok hantulah yang merasukinya yang berbicara. Ya, memang konyol berpikiran irasional sejauh itu. Kendati kendali diri sudah dipertaruhkan mati-matian, aku tak sanggup menahan titik kecil embun merembesi pelupuk. Air mata sialan memang.
"Kenapa kau tertawa, sialan?!" kecamku seraya memukulkan clutch di tangan ke punggungnya dan ia tak bergerak selain tawa mengejek.
KAMU SEDANG MEMBACA
If I Never Loved You
FanfictionDi sepanjang rel kereta api, aku tiduran di atasnya. Bukan karena bosan hidup, melainkan menemani si Berandalan yang otak udangnya sedang bermasalah. "Selagi hidup, lakukan hal yang kau sukai dan wujudkanlah hal yang ingin kau gapai." Si Berandalan...