Sesuai janji ketiga teman Tae Yong, beberapa pria sibuk hilir mudik di sekitar kedai. Mereka memang berpakaian tidak mencolok. Sama seperti orang awam pada umumnya. Yang membedakan gelagat mereka sedikit mencurigakan. Hae Chan saja mengeluh padaku kalau akhir-akhir ini ada seorang pria aneh membuntutinya ke tempat les. Aku bilang pada Imo dan Hae Chan kalau mereka itu pesuruh teman Tae Yong. Mereka ditugaskan berjaga-jaga demi keselamatan kami semua kalau-kalau suruhan nenek sihir (a.k.a ibu Tae Yong) melakukan pengancaman melalui kekerasan.
Imo memahami situasi. Bagusnya ia tak panik walau situasi terbilang waspada. Ia pergi ke pasar seperti biasa. Bekerja di kedai seperti biasa. Bahkan yang bikin aku tepok jidat, Imo meminta salah satunya membantunya menggantikan posisi Tae Yong. Ajaibnya, dia mau-mau saja. Sungguh orang yang baik hati dan bodoh. Imo memang sangat pandai memanfaatkan situasi.
Hae Chan yang memang otaknya sengklek. Ia memposisikan diri sebagai seorang yang penting yang harus dilindungi mata-mata dan merasa ia terlibat dalam sebuah misi amat penting.
Sementara aku, kegiatanku masih seperti biasa bekerja membantu Imo di kedai. Jika senggang, aku menyempatkan memelototi secarik cek pemberian nenek sihir itu. Benda itu terus aku kantongi. Bahkan sebelum tidur aku pandangi cek itu lalu aku bawa tidur. Lama-lama aku laminating juga benda rapuh itu, lantaran setiap hari tidak pernah lupa aku bawa ke mana-mana.
Masalahnya mau aku isi nominal uang berapa kalau setelah bertemu Tae Yong, kami sama-sama sepakat untuk berpisah.
Hem .... 100 juta won atau 1 miliar won.
Gak perlu cari pacar kaya kalau begini.
Fokusku tiba-tiba terdistraksi oleh salah satu tv nasional yang menayangkan persaingan elektabilitas kedua calon presiden dari dua partai besar di negara ini. Aku mengeluh ketika stasiun tv itu tiba-tiba menayangkan pidato kampanye Lee Jae In di distrik Gangnam secara live.
"Bagaimana bisa memimpin Korea Selatan, kalau menjadi ayah untuk anak semata wayang saja tidak becus," keluhku.
Secara spontan, pintu kedai terbuka menelan Lou Di yang selalu saja bersikap berlebihan setiap kali datang kemari. Entah dia bawa kabar apa saja, aku tak peduli.
"Kau sudah menemukan Tae Yong?" tanyanya sebagai sambutan pertama kali. Lantas duduk begit saja di depanku.
"Harusnya aku yang bertanya seperti itu padamu." Aku sudah yakin ia tidak bisa diharapakan dalam beberapa hal, tapi tetap saja aku memintanya membantu mencarikan Tae Yong. Meski begitu, setidak bergunanya dia, aku masih menaruh harap pada kalimat ini semakin banyak orang yang mencari, semakin cepat ketemu. Nyatanya nihil. Entah personel yang mencari kurang, atau Tae Yong memang pandai bersembunyi.
Bangsat!
"Dia siapa? Pelayan baru? Apa Tae Yong dipecat?"
"Dia suruhan teman Tae Yong." Aku pun menceritakan kenekatanku pergi ke klub demi mencari teman Tae Yong. Mereka membantu dengan menaruh banyaknya pesuruh. Aku tunjukkan pada Lou Di di mana posisi mereka semua.
Lou Di berdecak kagum. "Wow, orang-orang kaya itu memang beda. Sudah seperti di dalam film saja." Dia sama Hae Chan sudah tidak perlu heran, otak mereka sefrekuensi, sama sengkleknya.
"Eh, apa tugas mereka juga membantu Imo di kedai."
"Tidak. Emang Imo saja yang memanfaatkan situasi. Dia pikir ada untungnya orang-orang ini jadi penglaris. Meski mereka kalah tampan dengan Tae Yong, mereka cukup lumayan. Tubuh mereka yang atletis bikin wanita-wanita tergila-gila." Aku bisik-bisik tak ingin pesuruh itu mendengar.
"Iya, sih. Imo emang terbaik."
"Eh, kenapa kau tak meminta bantuan Soo Bin. Ayahnya kan pengusaha IT. Dia juga jago dalam programmer."
Aku mengedip cepat. Otakku mendadak seret. Oke, Lou di memang jarang bisa diharapkan. Tapi dia kadang mengejutkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
If I Never Loved You
FanfictionDi sepanjang rel kereta api, aku tiduran di atasnya. Bukan karena bosan hidup, melainkan menemani si Berandalan yang otak udangnya sedang bermasalah. "Selagi hidup, lakukan hal yang kau sukai dan wujudkanlah hal yang ingin kau gapai." Si Berandalan...