4.

691 115 8
                                    

Dia kembali lagi! Ya Tuhan, dosa apa yang sudah kulakukan di kehidupanku sebelumnya sampai harus berurusan dengan si Berandal itu lagi. Pasti sebuah dosa besar dan baru sekaranglah saatnya aku dipaksa untuk menebusnya. Pagi-pagi sudah mengumpat. Aku pasti sudah tidak waras.

"Melihat tampangmu, sepertinya kau ingin memakanku hidup-hidup." Tae Yong meletakkan bungkusan belanjaan di meja. Memandangku sejenak.

Iya, lalu sisanya aku buang ke laut biar dimakan hiu!

Namun mulutku mencegah untuk tidak mengatakannya secara eksplisit apa yang batinku katakan. Ada yang lebih menyakitkan. Menghinanya.

"Kau pengangguran, ya sampai merecoki di sini."

Bukannya tersinggung seperti yang kuharapkan, ekspresinya tetap saja datar. Hanya alisnya yang lebat melengkung indah ke atas. Ini tidak adil! Bagaimana bisa sebuah alis begitu elok di pandang? Diletakkan begitu presisi, menambah nilai tinggi. Aku yang jelas wanita saja merasa gagal menjadi wanita seutuhnya. Apalagi hidung dan bibir ....

Tunggu bibir! Wah! Aku benar-benar sudah gila mengagumi bibir yang sudah merusak keperawanan bibirku. Semoga dengan memukul kepalaku, kewarasanku kembali sedia kala.

"Awalnya iya, tapi setelah Bibi Han menerimaku menjadi pelayan, tidak lagi."

"Mwo!?"

"Imo!" Aku berlari ke arah Imo yang baru saja dari belakang.

"Aish! Kau ini ingin membuat Imo mati jantungan ya!?"

"Imo! Kenapa seenaknya menerima si Berandalan itu jadi pelayan di sini? Kenapa tidak bilang padaku dan lagi tidak mewawancarainya dulu?!" tunjukku sengit padanya.

"Jaga bicaramu, Di Tya! Jangan memanggilnya sekasar itu! Dia sudah membantu banyak di restoran kita. Apa salahnya Imo menerimanya langsung. Lagipula untuk apa wawancara, tempat ini bukan perusahaan besar."

Imo mendorongku. "Sudah sana kembali ke dapur. Akan banyak pelanggan yang harus kita layani hari ini."

Oh! Bagus! Aku benar-benar punya dosa besar di kehidupanku sebelum ini. Kesabaran harus kupasok sebanyak mungkin dari sekarang, berjaga-jaga jika tanganku bertindak sendiri di luar kendali, misal menampar wajahnya.

Lou Di datang siang ini. Sahabatku sejak di bangku SMA itu sudah mengenal baik tempat ini. Bisa dibilang rumah kedua untuknya. Kerap ia menyumbangkan tenaga cuma-cuma jika sedang senggang hanya sekadar membantuku mencuci bekas makan. Akhir-akhir ini ia disibukan dengan ujian masuk universitas, jadi dia tidak punya banyak waktu untuk datang. Kuharap wajahnya yang secerah matahari pagi ini, membawa kabar gembira.

"Di Tya, kau tidak mau memelukku setelah sekian lama kita tidak bertemu?" Tangannya merentang, siap memeluk. Kesigapanku menampar tangannya cukup membanggakan karena biasanya aku kesulitan menghindari spontanitasnya dan aku akan kehabisan napas.

"Kau mau mati ya?! Peluk tembok sana! Dasar berlebihan!"

Bibir plum milik Lou Di mencebik. "Jahat sekali! Bagaimana kau bisa punya pacar kalau sikapmu selalu kasar begini. Aku jadi kasihan dengan pasanganmu kelak, bisa-bisa dia menderita penyakit jantung karena harus berhadapan dengan wanita galak sepertimu setiap hari."

"Kau memang ingin mati!"

Aku mengejarnya, masih memakai celemek dan spatula teracung di tangan. Lou Di menghindar sambil tertawa. Kami bermain kejar-kejaran mengelilingi meja kosong.

"Hei! Kalian berhenti! Selalu saja begitu tiap kali bertemu." Peringatan Imo menghentikan kami.

"Annyeong, Imo!" Lou Di membungkuk sembilan puluh derajat.

If I Never Loved YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang