Kalau kalian menganggap semua berakhir, belum. Karena mobil kami dikejar beberapa mobil.
Gija ahli dalam menyetir. Ia berkali-kali bermanuver memasuki gang sempit dan menabrak apapun yang dilewati. Tidak peduli penumpangnya bergoncang-goncang dalam duduknya dan membuatku pusing.
Semua orang bermuka tegang kecuali Tae Yong mengganduli lenganku seperti koala. Sepertinya dia tidur nyenyak di bahuku tanpa terusik goncangan.
Pada akhirnya para musuh tidak lagi mengejar karena kehilangan jejak. Mobil bisa berjalan santai di tengah jalan sempit dan aku tak tahu kamu di mana.
"Kau masih bisa sesantai ini di tengah ancaman pembunuhan?" Jae Hyun menyindir lantas melirik dari posisinya duduk di samping Gija.
"Hm," Tae Yong menggumam tak peduli. Justru memperbaiki posisinya lebih merapat memelukku manja. Aku cuma menghela napas.
"Tidak bisakah kau berhenti cerewet, aku baru saja lepas dari penyekapan selama seminggu."
"Jangan lupa setelah kau istirahat, kau harus mengatakan semuanya pada kami." Jae Hyun mengancam.
"Iya, ya."
Sebenarnya aku ingin memukulnya sekali lagi lantaran sudah membuatku malu dilihat satu mobil dengan tingkahnya yang kelewat manja, tapi melihatnya bisa memejamkan mata setelah penyiksaan yang ia dapat, mungkin kalau sudah sembuh baru aku akan menghajarnya.
"Terima kasih," bisiknya. Aku yakin ia sedang berbicara padaku.
"Kau berhutang penjelasan padaku dan harus menerima beberapa pukulan dariku," ucapku mengingatkan.
Ia tertawa pelan. "Pasti. Aku pasti akan membayarnya semua dengan kebahagian. Di Tya, maukah kau menikah denganku?"
Aku langsung menonjoknya dan Tae Yong pingsan. Jung Woo terkejut. Semua orang terkejut. "Dia baru saja melamarmu, tapi kenapa kau memukulnya?" Jung Woo bertanya kalem.
"Harusnya aku menghajarnya lagi karena dia seenaknya berbicara melantur." Aku mendengus marah sambil memoles tinju. Sementara Jung Woo bergidik ngeri.
Jae Hyun tertawa lepas. "Astaga, Di. Kau kejam banget."
"Memang kenapa?" sengakku.
"Kalian itu pasangan gila. Bahkan kalian bisa saling membunuh dan mencintai sekaligus." Jung Woo bergidik ngeri.
"Tapi aku bertaruh jika kalian menikah, Tae Yong bakalan yang pertama mati." Jae Hyun memberi estimasi sambil tertawa geli.
Aku mendengus. Tapi sesuatu di sudut hatiku mendorong penyesalan. Aku mengambil kepala Tae Yong yang terkulai ke belakang kembali ke posisi lagi di pundakku. Aku menyibak poni rambutnya untuk melihat ia terkapar tak berdaya.
"Aku tahu kau mencintai Tae Yong, Di. Bahkan sejak kali kita pertama bertemu, aku sudah menduganya ketika kau yang penasaran pada Tae Yong."
Aku tersenyum kecil atas pendapat Jae Hyun. Itu sudah cukup jawaban yang kuberikan.
______
Jae Hyun memiliki hunian privasi tersembunyi. Mewah dan nyaman. Tempat ini dua lantai, memiliki halaman luas dan kolam renang. Sementara kami tinggal di sini dan Tae Yong mendapatkan perawatan intensif dari dokter khusus yang dimiliki keluarga Jae Hyun.
Sengaja tidak membawa Tae Yong ke rumah sakit guna menghindari ancaman. Juga memberi perlindungan selama permasalahan belum tuntas dan menunggu Tae Yong siuman untuk mengungkapkan perihal siapa musuh yang mengincarnya.
Pagi-pagi aku masuk ke kamar Tae Yong membawa sebaskom air hangat dan handuk. Sudah tiga hari ia tidak sadarkan diri. Belakangan aku menyesal telah memukulnya dan berpikir kalau aku penyebab ia lama bangun. Tapi dokter bilang, Tae Yong mengalami dehidrasi dan masalah makanan yang buruk, juga kekerasan yang ia dapatkan selama penyekapan. Sehingga membuatnya kelelahan dan membutuhkan banyak tidur.
Aku menghela napas. Berdiri di samping ranjang, memeras handuk. Perlahan aku mengusap wajahnya. Sialan jantungku yang norak. Bahkan saat tidur, ia terlihat sangat tampan, meski memarnya mulai memudar.
Lalu turun ke leher, aku menelan ludah susah payah. Astaga, ini yang aku rasakan setiap harinya membasuh tubuh Tae Yong selama ia tertidur. Otak memang kurang ajar memanisfestasikan hal-hal senonoh.
Aku menggeleng untuk mengusir pikiran kotor. Berlanjut pada lengan. Aku makin menelan ludah saat membuka tiap kancing kemeja Tae Yong dan di sana terdapat otot beekotak-kotak.
Aku menampar pipiku sendiri untuk meraih kewarasan.
"Aku tidak menyangka kau mesum juga."
Aku menjerit begitu melihatnya membuka mata dan memberikan senyuman jail.
"Se ... sejak kapan kau ..."
"Sebelum kau masuk. Aku sudah sadar." Akunya kalem.
Nyaris saja aku memukulnya, andai tidak ingat ia baru sadar siuman. Ia meringis saat akan bangun. Aku membantunya menata bantal di belakang punggung supaya ia bisa duduk nyaman dan melupakan kemarahan.
"Syukurlah akhirnya kau bangun juga." Aku bersungguh-sungguh dengan kata-kataku.
"Kupikir kau senang setelah membuatku kehilangan kesadaran." Sepertinya dia sedang menyindir.
"Itu karena kau terlalu bodoh mengatakan hal yang tidak-tidak di saat situasi tidak kondusif. Lagipula ...." aku mencebik. "Aku sangat mencemaskaanmu, tauk! Jadi, jangan memancing peperangan di sini. Aku tidak mau menyakitimu lagi."
Tae Yong tersenyum hangat. Hilang sudah tatapan jail dari bola matanya. "Maaf, tapi aku serius mau menikahimu."
"Tae! Berhenti bersikap konyol. Kau harus sembuh dulu," peringatku. Padahal jantung sudah porak poranda. Aku tahu ia tidak bercanda. Hanya saja situasi sekarang yang masih krusial bikin aku menyangkal.
"Oke, setelah semuanya selesai, aku akan melamarmu."
"Tae!"
Ia tertawa. "Baiklah, aku berhenti. Tapi aku serius."
Aku menghela napas. "Sebenarnya ...." aku tidak yakin bakal bilang sekarang. Tapi aku sudah janji bakal mengaku begitu melihatnya selamat.
"Apa, cantik?"
"Tae!" Astaga pemuda ini menggombal terus. "Aku khawatir otakmu perlu diperiksa siapa tahu kau tambah goblok."
Sindiranku tak mempan rupanya. Buktinya ia masih bersikap kalem.
Aku mengatur repirasi supaya menahan diri untuk tidak mati konyol. "Sebenarnya aku juga mencintaimu."
Begitu pengakuan yang sudah kurencanakan itu berhasil terlontar, aku langsung berlari keluar kamar menutup muka saking malunya.
"Hei, bagaimana tubuhku ini? Kau belum selesai mengelap tubuhku yang seksi ini, Di Tya kembali!"
Sialan, kau Tae! Suara tertawanya terpingkal-pingkal di belakangku.
KAMU SEDANG MEMBACA
If I Never Loved You
FanfictionDi sepanjang rel kereta api, aku tiduran di atasnya. Bukan karena bosan hidup, melainkan menemani si Berandalan yang otak udangnya sedang bermasalah. "Selagi hidup, lakukan hal yang kau sukai dan wujudkanlah hal yang ingin kau gapai." Si Berandalan...