15

498 94 4
                                    

Setidaknya pakaianku terlihat keren. Jeans dan blazer. Rambut dikucir tinggi dan sepatu sneakers.

"Apa-apaan kau ini?!" Lou Di langsung menyemprotku begitu aku keluar dari kamar.

"Memang kenapa dengan penampilanku?!"

"Hei, Di Tya bodoh! Kau ini mau kencan bukan mau ke pasar! Ganti bajumu dengan baju yang lebih beradab!"

"Yaa! Kau ini mau aku tinju! Suka-suka aku mau berpakaian apa!"

Lou Di berdecak sebal. Ia menepuk kening sebelum mendorongku paksa kembali ke kamar. Seenaknya ia membongkar lemari. Dan melempar asal baju-baju yang disentuhnya seraya memberi kritik. Bukan-bukan. Lebih tepatnya ia menghina isi lemariku.

"Pakaian apa ini?! Seleramu buruk sekali. Menyedihkan! Kaos! Celana! Kaos! Celana! Tidak ada rok apa?! Kau ini gadis, bukan makhluk jadi-jadian!"

"Yaa! Ampas toilet! Setidaknya kau tidak membuat kamarku berantakan!" Kakiku melayang, mendarat keren di tulang keringnya. Aku tersenyum puas, meniup poni, melihatnya menggelepar dengan erangan kesakitan. Segala kebun binatang ia absen satu-satu. Aku puas, sangat-sangat puas melihatnya menderita.

"Laknat, kau Di Tya. Aku sudah berbaik hati membuka jalan supaya cita-citamu tercapai, tapi kau malah membalas kebaikanku dengan menyiksaku!"

Aku berdecak. Membantunya berdiri. "Baiklah! Mian! (Maaf) aku tak akan protes. Asalkan setelah ini kau membersihkan kamarku!" Delikan mataku sebagai bentuk ancaman untuknya.

***

Namanya Soobin. Choi Soobin. Tinggi 185 cm. Aku harus mendongak jika ingin melihat jidatnya. Tampan. Punya lesung pipi. Manis. Kaya. Anak pengusaha IT. Dia termasuk kategori idaman yeoja (gadis). Semua kriteria fisik yang kuinginkan, ada padanya. Masalahnya hanya satu, dia lebih pantas jadi adikku ketimbang target incaranku karena ia setahun lebih muda dariku dan tingkahnya yang sangat pemalu, membuatku terpaksa menjadi orang pertama yang membangun konversasi.

Betapa menjengkelkan pilihan Lou Di. Kalau bertemu, aku pastikan rambutnya yang sangat ia banggakan itu berakhir di pembakaran. Astaga! Ini bukan kencan! Lebih tepat disebut mengasuh anak kecil.

Kalau tahu kencanku akan setragis ini, lebih baik aku menolak pakaian yang direkomendasi Lou DiㅡBERUPA rok, blazer dan tanktopㅡdan lebih memilih memakai pakaian pilihanku yang pertama. Atau lebih baik rebahan di depan teve sambil menonton musik bank.

Sial!

"Di Tya!"

"Panggil aku Noona! Harus berapa kali aku bilang biar kau paham!"

Ia meringis penuh sesal. "Mianhe, Noona. Kau mau pesan apa?"

Aku meniup poni. Merebut buku menu di tangannya. Kesalku bikin aku lapar. Meski rencana kencan tidak sesuai harapan, aku akan terima ini dan menjalaninya dengan lapang dada.

Setelah makan dan kenyang. Aku bilang padanya, "Maaf, Soobin. Sepertinya kita lebih cocok jadi teman saja. Kau tampan dan kau sangat baik, akan lebih baik jika kau menemukan gadis yang lebih baik dariku. Terima kasih untuk kencan hari ini."

Aku jahat telah mematahkan hatinya. Aku jahat telah membengkokkan harapnya. Aku jahat membuatnya sedih, padahal ia menyukaiku. Terlihat dari pancaran matanya. Tapi mau bagaimana lagi dia bukan tipeku sama sekali. Lebih baik menolaknya dengan senyum manis dan kata-kata klise daripada melempar tutup tong sampah ke mukanya dan bilang, "Yaa! Sadar diri kau! Kau bukan tipeku, bodoh. Lebih baik kau pergi dari mukaku sekarang juga."

"Baiklah, Noona. Gwenchana (gak apa-apa). Tapi aku berharap kau tidak menolak ketika aku menghubungi lain kali."

Aku menepuk lengan atasnya. Mengembangkan senyum keibuan. "Soobin-ah. Kau boleh menghubungiku. Tidak ada yang melarang."

Kali ini bibirnya membentuk kurva amat manis setelah dirundung murung. Aku lega ia bisa terlihat baik.

Awas saja kau Lou Di! Tunggulah liang lahat menantimu!

If I Never Loved YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang