"MWO!!!!"Dunia seakan-akan jadi jauh lebih gak realistis dari buku dongeng sekalipun setelah mendengarnya.
Aku bangkit menatapnya tak percaya. "Haha ... telingaku pasti tersumbat kotoran! Kau jadi pacarku?! ...." Telunjukku mengacung padanya. Mengibas tepat di depan wajahnya. "Yang benar saja! Kau pasti sedang bermimpi. Hei, sadarlah Tuan, kau tidak tidur sekarang!"
"Aku serius." Struktur wajahnya berubah mengeras, tak ada jejak humor di wajahnya. Membuat tawaku menyisakan kekehan sumbang. Ia mendatangkan kengerian secara tiba-tiba, menggelitik romaku berdiri kaku. Dia memang serius.
"Hei, kau tahu benar, aku hanya tertarik pada pria kaya bukan namja tidak jelas sepertimu! Berhentilah bercanda! Itu sama sekali tidak lucu!" Aku bangkit. Menepuk pantat dari debu-debu lalu lebih dulu ambil langkah pertama menjauh darinya.
Ia mengikutiku. Berhasil menjajariku dengan menenggelamkan kedua tangan miliknya ke kantong hoddie. Tidak ada suara dari mulut kami. Sesekali ujung mataku mencuri pandang ke arahnya. Aku bersyukur, tindakan ilegalku tidak dipergoki olehnya.
Aku mengeluh, rongga dadaku didobrak paksa oleh denyutan jantung sialan yang memaksaku mati-matian berdoa supaya aku tidak dilabeli gadis aneh oleh pria di sampingku ini. Tapi aku tidak perlu cemas, ia berperilaku cuek, berjalan dengan mata lurus. Tanpa melirik ke mana-mana. Apalagi ke arahku.
Sama sekali tidak adil! Kenapa ia tetap bersikap biasa saja setelah mengungkapkan hal sakral ituㅡmenurutkuㅡyang membuatku nyaris mati kaget.
Kalau sikapnya memang cuek begitu, sudah dipastikan ia hanya mengerjaiku saja. Sialan! Harusnya aku gak perlu bersusah payah melambungkan perasaan tinggi-tinggi.
"Kau tidak mau, ya sudah," katanya yang bikin aku tambah senewen.
Aku menghentikan langkah. Bercekak pinggang. "Apa kau tidak sadar, kau nyaris membuatku mati muda?! Dan tadi kau terkesan seperti abis menawariku kuaci!"
Ia menancapkan matanya, melubangi mataku dengan pandangannya. "Apa yang kau permasalahkan? Aku menembakmu, tapi kau tak mau. Ya, sudah tidak perlu dipermasalahkan lagi."
Ia berjalan lagi. Apa-apaan tadi!
"Hei, kau ini tidak diajari orang tuamu, ya! Tidak sopan sekali!" Aku menarik sikunya. Ia memicing.
"Benar. Bagaimana mereka mau mengajariku sopan santun, peduli saja tidak. Kau beruntung masih punya bibi dan Hae Chan yang selalu berbicara padamu setiap hari. Kau dikelilingi sebuah keluarga yang hangat. Memang keluargamu tidak utuh, tapi kau punya sesuatu yang berharga. Bersyukurlah ada orang sepertiku yang iri dengan hidupmu."
Setelah itu ia pergi, melangkah marah. Aku tidak mengejarnya, terlalu larut oleh perasaan ganjal. Apa aku sudah keterlaluan? Apa aku melakukan kesalahan? Kenapa aku tidak nyaman dengan perasaan ini?
Setiap langkah yang kuambil, aku terus mencari letak di mana salahnya. Aku tak menemukannya selain kebingungan sendiri. Pada akhirnya aku mendesah dan melanjutkan melangkah ringan, walau itu tidak mudah.
Mataku tersentak oleh sebuah pemandangan ganjil. Pemandangan yang amat mencemari kedua mata.
Di depan kedai, Tae Yong memeluk seorang gadis setinggi dagunya. Sebuah adegan normal jika mereka saling dekat secara personal.
Namun, yang bikin mataku nyaris menggelinding. Yeoja yang dipeluk Tae Yong sangat aku kenali.
Seorang gadis yang pernah hujan-hujanan di depan kedai dan aku berbaik hati memaksanya berteduh di dalam kedai lalu menyuguhinya teh panas. Gadis yang pernah patah hati dan meratapi hidupnya yang tak semulus garis keberuntungannya. Kim Li Sa
Mereka saling kenal, kah? Bagaimana bisa? Apa mereka bersaudara? Semoga saja, Ya Tuhan! Kenapa aku berdoa seperti itu?!
KAMU SEDANG MEMBACA
If I Never Loved You
FanfictionDi sepanjang rel kereta api, aku tiduran di atasnya. Bukan karena bosan hidup, melainkan menemani si Berandalan yang otak udangnya sedang bermasalah. "Selagi hidup, lakukan hal yang kau sukai dan wujudkanlah hal yang ingin kau gapai." Si Berandalan...