32

210 38 2
                                    

Tidak ada yang lebih mengerikan dari salam penyambutan lewat puluhan tembakan yang diarahkan pada mobil kami yang baru saja memarkir.

Aku menjerit spontan. Membungkuk refleks melindungi kepala. Jae Hyun mengintruksikan sesuatu yang samar aku tangkap indera pendengaran apabila rasa takut lebih dulu menutupi akal sehat.

"Lindungi Di Tya tetap berada di mobil. Aku dan separuh penjaga lainnya berusaha untuk masuk ke dalam."

Desingan peluru membuatku lebih banyak menjerit ketimbang berguna. Tubrukan besi kecil itu dengan kaca mobil cuma menimbulkan bunyi ngeri di dekat tempat dudukku. Akibatnya retakan kecil tercetak. Mungkin itu alasan Jaehyun membawa mobil anti peluru.

Jung Woo yang duduk di sampingku selama perjalanan, melindungi kepalaku dengan lengannya. Aku bisa mendengar pintu mobil dibuka. Lewat intipan kecil, aku melihat Gija, Johnny dan Jae Hyun turun membawa pistol yang dikokang.

Selama di mobil bersama Jung Woo yang melindungi, aku tidak bisa memastikan berapa lama proses pertempuran berlangsung. Yang aku pikirkan di tengah teriakan dan tembakan, cuma seberapa lama lagi nyawa menempel dalam tubuh.

Malaikat maut bermuka dingin dan kejam pasti sedang mengawasi di ketinggian gedung.

"Kau punya kata-kata terakhir, Jung Woo?" Obrolan yang sama sekali tidak seharusnya aku lontarkan di tengah peperangan ini. Nyatanya aku sedang berusaha keluar dari ketakutan dan membuktikan kalau aku gadis yang kuat, yang berani ambil resiko, dan berusaha untuk tidak menyusahkan.

"Tidak, karena aku percaya penjaga yang Jae Hyun miliki memiliki lisensi penembak jitu karena mereka semua mantan tentara."

"Kau tidak perlu khawatir, Di. Tae Yong pasti selamat," lanjutnya masih dengan senyum manis yang menawan.

Kata-kata penenang yang bagus, di tengah teriakan Lou Di di mobil lain. Pasti pemuda itu ketakutan setengah mati. Kalau ini selesai, aku akan menertawakannya nanti dan menjulukinya 'banci'.

Tak berselang lama, Jae Hyun datang membuka pintu mobil. "Kalian keluar," suruhnya.

Jung Woo bergegas keluar. Sementara aku masih was-was, mencemaskan peluru nyasar. Jung Woo menarikku lembut. Tampilan wajahnya yang menenangkan membuatku sedikit percaya padanya, bahwa bersamanya akan aman.

"Bagaimana?" Jung Woo bertanya.

Kulihat Jae Hyun mengeluarkan banyak keringat. "Tidak banyak penjaga. Segera kalian ikut aku."

Aku mengangguk dan mengikuti mereka. Kulihat baik Lou Di maupun Soobin masih di dalam mobil. Mungkin mereka enggan keluar atau penjaga tak ingin mereka keluar guna meminimalisir hal yang tak diinginkan.

Kami datang di gedung usang ini nyaris malam. Kira-kira empat lantai tingginya. Kami masuk ke dalam gedung melalui tangga berkarat. Aku menemukan dua mayat bersimbah darah di dekat tangga. Aku merapat ke arah Jae Hyun. Baru kali ini aku melihat korban penembakan langsung. Rasanya ngeri sekali.

Jae Hyun Jung Woo memimpin. Sementara di belakangku ada Gija mengawasi. Mereka semua membawa pistol. Sudah mirip dengan mafia-mafia keren haus darah.

Satu per satu pintu kamar ditendang. Aku yang mencoba menendang, tidak berhasil, mencoba untuk tampil kalem di antara tatapan tiga laki-laki maskulin ini nyaris menahan tawa.

Aku balik menatap mereka dengan wajah galak, meskipun rasanya mau berlari saja ke mobil. "Apa!"

Mereka menggeleng dan kembali melanjutkan aksi tendang pintu guna menemukan Tae Yong, yang akhirnya kami temukan juga. Dalam keadaan terikat pada kursi dan mulut dilakban.

Ketika melihat kedatangan kami, matanya menyiratkan rasa syukur. Pun ketika melihatku, matanya berubah keheranan.

Jaehyun melepas lakban di bibir Tae Yong. Begitu dibuka, pemuda itu langsung berbicara. "Lama sekali kalian datang."

"Salahkan dirimu sendiri yang tidak pernah membagi permasalahanmu pada kami. Wajar jika kami tidak peduli. Beruntunglah Di Tya peka. Dia berusaha keras menyakinkan kami semua untuk mencarimu." Jung Woo memberikan alasan.

Begitu namaku disebut, Tae Yong yang terlihat berantakan dengan bekas memar di wajah tapi masih tampan, menaruh semua tatapan lembut padaku. Aku yang tak tahan langsung menonjokknya. Tubuhnya yang masih terikat pada kursi, terjungkal dengan kepala membentur lantai.

Ia mendesis dengan umpatan keras. "Sialan kau, Di Tya!"

Teman-temannya pada terkejut juga tertawa.

"Itu karena kau menghilang begitu saja!" Aku berteriak saking kesalnya.

"Kau harusnya menciumku dan memelukku sambil menangis." Tae Yong dengan tampilan wajah mengejek.

"Tidak sudi!" Tapi pada akhirnya gengsiku kalah total. Aku berlari jatuh memeluknya yang masih terguling akibat ulahku.

"Kau harus membayar tangisku ini, bodoh!" Aku memang menangis di pelukan Tae Yong dengan seluruh cemasku juga rasa syukur akhirnya dia selamat.

Mulut Tae Yong yang dekat di kupingku, berbisik. "Aku mencintaimu."

"Bertengkarnya nanti saja. Kau harus dievakuasi sebelum musuh memanggil bantuan." Jae Hyun menginterupsi sambil menarik tubuhku untuk berdiri, kemudian membuka tali yang melilit tubuh Tae Yong.

Sebenarnya bukan waktu yang tepat untuk menyatakan perasaan, apalagi menunjukkan pipi merah muda. Situasi yang mencekam membuat kami harus buru-buru keluar dari sini.

Kami berlima pun keluar dari flat ini. Sebelum kami nyaris mencapai mobil. Suara tembakan lain mengarah pada kami. Untungnya kami menang cepat dan berhasil keluar dari pertumpahan darah.





If I Never Loved YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang