Mengorbankan mata, waktu tidur hingga kantung hitam melekat horor di bawah mata sama sekali bukan pemandangan bagus akhir-akhir ini. Pun ditatap aneh pelanggan. Seolah aku adalah zombie yang baru bangkit dari kematian. Benar-benar tidak tertolong lagi.
Mau protes ke siapa kalau bukan Tae Yong, tersangka utama penyebab aku semenderita ini. Sialnya si pelaku belakangan menyembunyikan hidungnya dari hadapanku selama tiga hari.
Apa sakit pada asetnya parah? Sampai ia tak menghubungiku. Sialan! Aku tak punya nomor ponselnya lagi. Betapa bodohnya aku. Secara teknis, kami sudah resmi pacaran, bahkan sudah saling terbuka mengenai sisi kehidupan. Nyatanya nomor ponsel saja tidak saling memiliki.
Begitu aku melihatnya, aku bersumpah tidak memakan sedetik untukku memberinya tanda cinta berupa tendangan maut di selangkangannya lagi.
Kau kejam, Di Tya!
Yang benar saja! Selangkangannya tidak ada apa-apanya dibandingkan aku yang tersiksa menahan keinginan untuk bertemu dengannya dan menceritakan semua keluh kesahku.
Mencoba untuk berpikir keras semalaman suntuk, bukannya mendapatkan pencerahan, justru yang ada rambut semakin berantakan kujambaki terus. Buntu. Sialan kau Tae Yong!
"Mau sampai kapan kau gosok terus meja itu? Lihatlah bahkan saking lamanya kau gosok, kau bisa mengaca di sana?!"
Ouch! Baru sadar, sejak tadi meja ini kujamah lewat lap kering berulang kali. Mengabaikan Imo yang berkacak pinggang, aku berpindah meja. Menggosok meja satunya pakai perasaan kosong. Gerakan mengambang, tak ada niat sebenarnya. Cuma untuk pelarian. Imo sepertinya sadar betul otak keponakannya mengalami korsleting, sehingga ia bertanya dibumbui nada sengak.
"Sebenarnya apa yang terjadi di sini? Kau bertengkar dengan Tae Yong sampai dia tak masuk tiga hari ini?"
"Oh, bukan salahku. Dia yang cari gara-gara duluan," balasku tak kalah sengak.
"Di Tya, ada masalah apa? Semenjak pesta tempo hari, mukamu menyedihkan, kau tahu itu?"
Kini Imo berkata lembut dan hati-hati, sengaja tak menyinggung perasaanku mungkin. Tak ingin menghakimi sepihak.
Sebenarnya hanya dia satu-satunya orang tua yang kumiliki. Tempat mencari nasihat bijak dan sandaran hangat ketika dunia sedang tak bersahabat. Namun, gadis galak sepertiku terlalu mandiri untuk bergantung pada orang lain. Kebiasaan apa-apa sendiri sudah jadi patokan, pun menyimpan masalah sendiri. Seakan aku memiliki satu perisai dan pedang di tangan lain, sebagai penangkal. Sehingga bantuan orang lain sama sekali tidak kubutuhkan.
"Kau tahu, Di Tya. Kau bisa datang padaku untuk mengatakan apa pun karena kita keluarga."
Imo benar. Lebih banyak getir tertelan tenggorokan. Susah payah tegar, yang ada sisi anak-anak yang rapuh muncul menendang gadis dewasa yang bersemayam nyaman lama di dalam diriku. Pada akhirnya sekuat apa pun wanita menantang dunia, sendirian bukan hal yang bagus. Dia butuh seseorang yang tepat untuk diajak bersahabat dengan luka.
"Imo ...." Aku putuskan untuk menceritakan tentang siapa Tae Yong. Namun belum sempat cerita, denting lonceng menyerobot perhatian. Aku dan Imo sama-sama menatap wanita dewasa yang berpenampilan luar biasa elegan dan cantik dii usianya. mengingatkanku akan ratu yang berkuasa. Lebih daripada itu kenyataan getir mengonversi menjadi satu pertanyaan.
Untuk apa ibu tiri Tae Yong datang kemari?
"Aku sangat yakin kau masih mengingatku, kan Di Tya?"
Seseorang yang pernah menghinaku lewat sudut bibirnya dan matanya yang tajam. Mana mungkin aku melupakan kenangan menyakitkan itu.
"Untuk apa Anda datang kemari?" tanyaku begitu mengais sisa-sisa keberanian di sudut jiwa.
Lipstik merah terlalu berani untuk seorang yang pasti memiliki kepercayaan diri tinggi. Meski aku orang yang berani, untuk menghadapinya aku butuh pikir-pikir dulu. Bodoh menentangnya jika tak memiliki kekuasaan. Seperti kutu yang mudah dibasmi, aku tak lebih dari itu sekarang.
"Kau tampak takut, Di Tya. Tenang saja, aku datang hanya untuk berbicara santai."
Wajahnya sama sekali tidak menyakinkan. Aku mempersilahkannya duduk. Aku pergi ke dapur dan Imo mengikuti.
"Siapa dia?" tanyanya.
"Ibu tiri Tae Yong," singkatku.
"Imo ...." Aku memandang wajah tuanya yang menyiratkan permintaan penjelasan lebih. "Aku akan menceritakan semuanya kalau ibu Tae Yong sudah pergi. Imo tinggal dengarkan saja obrolan kami." Imo pun mengangguk dan ia mengontrol bibirnya yang gatal bicara tetap diam.
Secangkir teh hijau aku hidangkan di hadapannya. "Saya tahu kedatangan Anda kemari hanya untuk menyuruh saya menjauhi Tae Yong."
Wanita itu terperangah, lalu ditutupi dengan tawa santai. "Aku tidak mengira kau secerdas ini. Peka terhadap situasi."
"Karena orang penting seperti Anda untuk apa datang ke kedai kumuh ini kalau bukan untuk menawarkan transaksi. Jadi, berapa Anda berani menawar. " Jujur di dalam hati aku bangga atas kendali diri untuk tidak mengusir wanita ular ini dengan kasar. Ternyata berguna juga menonton drama. Jadi, aku bisa latihan bagaiman cara menghadapi ibu tiri yang tidak suka anaknya pacaran dengan gadis miskin sepertiku.
Ibu Tae Yong tertawa dibuat-buat. Aku yakin sekali di balik tawa sopan santunnya itu menyimpan keinginan untuk menyingkirkanku dari muka bumi ini. "Kau jauh di luar prediksiku." Ia pun mengeluarkan sebuah kertas. Meletakkannya di depanku.
"Tulis berapa yang kau mau. Pergilah ke bank dan kau akan mendapatkan uang banyak. Setelah itu pergi dari kehidupan Tae Yong karena elektabilitas suamiku di pemilu tahun ini bakal hancur jika publik tahu bahwa anaknya menjalin hubungan dengan gadis miskin."
Ia menyeruput teh hijaunya. Sementara aku memandang cek itu dengan banyaknya angka di kepala. Tulis berapa, ya baiknya?
"Melihat sikapmu. Aku yakin kau tidak perlu pertimbangan karena kau terlihat butuh uang sekali. Baiklah, aku permisi." Ia bangkit. Memperbaiki letak tasnya, sebelum melewati pintu kedai ini. Seorang bodyguard membukakan pintu dan aku menghela napas panjang setelah keberadaannya sudah pergi.
Imo mendekat. "Jelaskan padaku mengapa istri dari calon presiden Lee Jae In bisa mengenalmu, Di Tya?"
"Imo, Tae Yong itu anak Lee Jae In." Dan aku menceritakan semua fakta mengenai Tae Yong. Semuanya tanpa ada yang aku sembunyikan.
Imo terlihat sangat syok.
KAMU SEDANG MEMBACA
If I Never Loved You
FanfictionDi sepanjang rel kereta api, aku tiduran di atasnya. Bukan karena bosan hidup, melainkan menemani si Berandalan yang otak udangnya sedang bermasalah. "Selagi hidup, lakukan hal yang kau sukai dan wujudkanlah hal yang ingin kau gapai." Si Berandalan...