2.

808 136 18
                                    

"Heh! Aku melihatnya keluyuran tengah malam. Pakaiannya sangat seksi. Bisa kalian tebak sendiri dengan memakai rok super mini dan sepatu hak tinggi, ia habiskan semalaman di mana."

"Sudah kuduga Di Tya bukan gadis baik-baik. Moralnya sudah rusak. Beruntung aku melarang Jin Hee berteman dengannya. Kalau tidak, aku sudah memiliki penyakit jantung karena tidak sanggup menghadapi kelakuan buruknya."

"Kecil-kecil sudah jadi pelacur. Aduh! Memalukan sekali. Tidak pantas ia tinggal di sini."

Dengan kasar, aku melepas standar sepeda. Suaranya menyentak ketiga ibu-ibu yang kerjaannya menggosipi penghuni flat lain. Mataku menajam, berharap bisa melubangi bola mata mereka.

"Yaa, Bibi! Memangnya kalian manusia suci yang seenak jidat mengomentari kehidupan orang lain? Asal kau tahu Bibi Park, kau belum membayar hutang 5000 won pada Imo! Aku bisa saja mengatakan kalau uang yang kau pinjam digunakan untuk berjudi, tapi karena aku menyayangimu aku tidak mengumbarnya selama ini. Ups! Apa barusan aku mengatakannya!" kataku pura-pura terkejut seraya membekap bibir, "Mian, bibirku memang kurang ajar sekali!"

"Kalau begitu, aku pergi dulu." Badanku membungkuk, bukan untuk menghormati mereka yang lebih tua. Tapi kusebut sebagai penghinaan yang terhormat. "Bye, Bibi." Tanganku melambai. Sebelum melakukan sepeda, sempat kulihat tetangga bermulut ular itu memerah wajahnya. Dalam hati aku tertawa terbahak.

Begitulah, pembalasan paling menyakitkan versiku tentu saja balik membongkar aib di depan tetangga-tetangga lainnya. Kejam? Memang. Hidup itu keras. Jika kau hanya diam, hidupmu hanya akan jadi hinaan mulut-mulut kotor mereka. Melawan sesekali itu tak apa, jika mereka sudah kelewat batas. Namun, ingat menyimpan dendam itu tak baik. Jauh lebih baik jika kau menganggapnya kotoran yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Tentu saja kotoran bisa digunakan untuk pupuk. Lebih bermanfaat bagi tanaman, bukan untuk manusia karena manusia tidak memakan kotoran.

Aku mikir apa sih!

Lebih baik bekerja, dapat uang. Daripada memikirkan mulut busuk mereka yang bisa menimbulkan penyakit.

Melewati jalanan yang menanjak dan menurun dengan sepeda sudah jadi rutinitas semenjak SMP. Kerap aku menyanyi untuk selinganㅡsetidaknya cara itu mampu membuatku tidak mati bosan. Sering juga menyapa orang lalu lalang yang kebetulan kukenal. Di antara mereka adalah pelanggan tetap restoran Imo. Salah satunya Paman Choi, seorang polisi lalu lintas.

"Hai, Paman Choi!" Aku melambai dan dia mengangkat topi sementara mulut tersumpal peluit. Kurasa dia sibuk dengan mangsanya.

Aku kembali mengayuh sepeda dengan kecepatan normal. Tidak ingin terburu-buru karena menikmati pagi adalah ritual wajib untuk mengusir hawa buruk dan pikiran negatif. Apalagi barusan sudah digosipi pagi-pagi. Kalau tidak punya kesabaran ekstra sudah kuajak berkelahi mereka sejak tadi.

Setibanya di kedai kecil, aku menstandarkan sepeda di tempat parkir sederhana di depan kedai.

Kedai masih terkunci. Menghembuskan napas kecewa. Tandanya Imo berbelanja ke pasar tanpa seizinku. Kapan wanita itu bisa paham, biar aku saja yang berbelanja, tapi dia selalu menolak dengan alasan ingin jalan kaki demi kesehatan. Dia pikir membawa barang-barang berat, tidak membuat ramtiknya kambuh apa?!

"Aish! Lama-lama kepalaku dipenuhi uban!" gerutuku. Lantas mengeluarkan kunci dari tas selempang. Membuka kedai.

Kaki dengan lincah bergerak ke dapur. Mengambil peralatan kebersihan, memakai celemek dan kembali ke depan, membersihkan lantai, menurunkan kursi dan merapikan barang yang tak enak dilihat dan tidak sesuai tempat. Kemarin sebelum kedai tutup, aku terlalu lelah untuk sekadar membersihkan tempat.

"Di Tya!" Suara Imo disusul suara bel, ketika ia masuk ke dalam kedai.

"Imo, sudah kubilang ribuan kali, biar aku saja yang berbelanja!" Aku menghampirinya, memberengut kesal.

"Kau itu bodoh atau apa, aku masih muda untuk bisa mengangkat belanjaan!"

"Lalu ini kenapa?" tunjukku pada siku Imo yang berdarah lalu aku panik dengan memperhatikan lututnya yang juga ikut lecet!

"Siapa yang sudah membuat Imo babak belur seperti ini! Beritahu aku cepat!"

Untuk seseorang yang tidak memiliki ikatan darah, tidak berarti khawatirku berlebihan. Imo adalah pengganti orang tua yang bahkan kebaikannya tidak sebanding dengan berlian termewah sedunia. Sewajarnya aku mencemaskannya, ketika dialah satu-satunya orang yang menarik aku dan Hae Chan dari kejamnya kehidupan ke dalam rumah sederhananya yang memiliki mesin pemanas.

"Aish! Imo cuma terjatuh, bukan dipukuli orang!"

"Bibi, barang-barangnya mau ditaruh di mana?"

Suara pria menginterupsi. Dahiku berkerut tajam, aku menelengkan kepala dan melihat seorang namja masuk dengan banyak belanjaan di tangan. Dia mendongak dan sejurus kami saling tatap.

Kakiku limbung ke belakang. Untunglah refleksku cukup bagus sehingga tidak mempermalukan diri dengan jatuh tak elit ke lantai. Aku mencengkeram pinggiran meja dengan kencang. Pria itu sama terkejutnya, tapi sebentar saja. Tidak sepertiku yang syok hingga segala kosa-kata di kepala hilang diembuskan udara dingin. Mimiknya berubah drastis dan senyum miringnya terbit. Terkesan licik.

Namja itu! Namja yang sudah mencuri ciuman pertamaku!

If I Never Loved YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang