28

308 52 6
                                    

Kami bergerak cepat. Hari itu juga Lou Di menghubungi Soobin dan meminta bertemu. Lou Di juga sudah menceritakan garis berasnya. Kami pun sepakat bertemu di daerah Myeongdong. Soobin membagikan lokasi bertemu. Bersama bodyguard yang bernama Gija, kami tak perlu menaiki transportasi umum. Ia memiliki sebuah sedan khusus yang difasilitasi majikan mereka (para teman Tae Yong). Sebab Gija menjelaskan bahwa kemungkinan besar nenek sihir itu menyewa beberapa mata-mata untuk mengawasi  kegiatanku. Jadi, akan lebih aman selalu berada di bawah pengawasan Gija. Selebihnya kami bisa tiba lebih cepat daripada transportasi umum.

Begitu sampai, tempat yang dibagikan Soobin adalah sebuah toko percetakan kecil. Tempatnya berantakan dan sedikit berdebu. Aku tak yakin tempat ini bisa disebut toko karena lebih mirip gudang. Seorang laki-laki culun menyambut kami di balik komputer. Soobin muncul tak lama setelahnya.

"Ikut aku!" Lou Di, aku, lalu Giza mengikuti Soobin lebih dalam.

Ruangan itu berujung tangga menuju ke bawah. Melewati tangga tersebut seperti  melewati portal menuju ke dunia baru. Aku sampai melongo takjub. Seperti dibawa menuju ke masa depan saking canggihnya peralatan yang dipunyai Soobin. Banyak komputer dan printilan entah apa.

Sebuah robot menghampiri, memberi salam dengan layar yang menampilkan dua garis mata yang melengkung ramah dan segaris mulut yang tersenyum sumringah. "Anyeonghaeyo!"

"A—anyeong!" Aku dan Lou Di melambaikan tangan ke arahnya dengan perasaan super kagum sekaligus gugup.

"Namanya Bora." Soobin memberitahu.

"Keren sekali tempat ini." Aku berkata jujur dan Soobin tertawa.

"Ayo duduk!" Soobin menunjuk meja yang kosong dengan empat kursi di sana. Ia duduk terlebih dahulu lalu disusul aku dan Lou Di.

"Jadi kau meminta bantuanku untuk mencari Tae Yong, begitu?"

Aku mengangguk dengan polosnya.

"Kau ingat Nuna, kau pernah menolakku dan sekarang kau meminta bantuanku. Kau tahu sebenarnya aku tidak punya keuntungan sama sekali dalam hal ini."

Keparat! Membawa-bawa masa lalu segala. Sebenarnya malu juga meminta bantuan padaa Soobin. Tapi mau bagaimana lagi si gak berguna Lou Di yang punya ide dan Soobin satu-satunya yang kukenal memiliki ekspert di bidangnya.

"Aku minta maaf soal itu. Jujur aku memang tidak menyukaimu." Lou Di mendelik dan aku abai. "Tapi karena kau bisa membantuku, maka dengan kerendahan hati aku meminta bantuanmu. Kau boleh minta apapun dariku kalau itu bisa membuatmu mau membantuku."

Ia sok berpikir dengan menggosokkan dagu dengan tangan serta menyender pada kepala kursi bak seorang yang mempunyai kekuasaan absolut. Kalau ia tidak berguna di situasi genting begini, sudah kucekik ia dari tadi.

"Baiklah, aku terpaksa membantumu asal kau mau jadi pacarku seminggu."

"Deal!" Aku sepakat tanpa berpikir panjang. Lou Di cuma menggelengkan kepala seolah aku orang gila yang amat tidak wajar.

Ia terbahak sebentar, sebelum ia menghadap komputer. Bekerja dalam suasana amat serius. Aku dan Lou Di mengelilinginya di kanan kiri. Cuma menatap ke layar dengan pandangan bloon dengan alogaritma yang tampil berwarna hijau di layar.

"Terakhir kali kau bertemu dengan Tae Yong di mana?"

"Sehabis pesta pertunangan Li Sa, Tae Yong langsung membawaku ke apartemennya di daerah Cheongdam-dong."

Entah bagaiman dengan seribu jemarinya yang cepat mengetik pada papan ketik, ia bisa mengakses cctv di waktu yang sama seminggu yang lalu. Sehingga aku bisa melihat diriku ditarik Tae Yong menuju ke apartemennya.

"Kau jenius Soobin-ah!" Lou Di memuji dengan girangnya.

Aku senang bisa mendapatkan titik terang. Masalahnya mereka berdua menertawakan rekaman selanjutnya di mana aku menjadi sandera dan Tae Yong berperan sebagai pelaku penculikan.

"Astaga kalian pasangan yang gila!" Soobin berkomentar setelah aku menceritakan situasi sebenarnya apa yang kulakukan dengan Tae Yong.

Setelah adegan pemaksaan tanda tangan, di rekaman cctv aku dan Tae Yong terlihat keluar dari apartemen. Aku menjelaskan bahwa Tae Yong mengantarku pulang . Soobin mempercepat rekaman sejam setelahnya dengan siluet Tae Yong memasuki apartemennya. Bedanya ada dua orang menunggunya di depan pintu berpakaian resmi hitam dan ada jeda saling berbicara. Sebelum akhirnya terjadi pemaksaan pada Tae Yong dan pria itu berhasil membawa Tae Yong pergi. Soobin memindahkan rekaman sepanjang dua pria membawa Tae Yong hingga basemen, tempat parkir mobil. Soobin pun memutar ulang sebelum Tae Yong dibawa pergi, yaitu kedua pria itu mengacak-acak apartemen Tae Yong seakan mencari sesuatu yang amat penting.

Soobin pun sigap mencatat plat nomor mobil. Lantas melacaknya. Ia termangu dan berdecak seakan tidak percaya apa yang dilihatnya.

"Ada apa?" Aku yang penasaran akan reaksinya, meminta penjelasan.

"Aku kira mereka suruhan ayah Tae Yong si calon presiden. Nyatanya bukan. Plat ini terhubung oleh salah satu pejabat tinggi partai Republik. Bisa dibilang saingannya Lee Jae In."

"Apa artinya itu?" Lou Di bertanya.

"Entah persepsiku yang salah atau benar, tapi instingku mengatakan kalau ini buruk." Soobin menjelaskan amat serius. "Entah Tae Yong sengaja diculik agar ayahnya mundur dari pencalonan atau Tae Yong punya sesuatu yang mengancam sehingga perlu disingkirkan."

Asumsi Soobin bikin aku cemas setengah mati. "Apa kau bisa lacak ke mana mobilnya pergi?" Desakku.

"Aku butuh waktu untuk meretas cctv di setiap lampu merah dan jalan."

"Lalu apa yang harus aku lakukan?" Aku mulai panik. Mulai memikirkan keselamatan Tae Yong. Di film drama action, soal politik itu kejam. Orang-orang yang berkepentingan selalu punya cara bengis untuk membungkam orang yang bisa menjegal langkah politiknya dan aku mencemaskan Tae Yong kalau dia memiliki sesuatu yang berbahaya untuk lawan politik ayahnya sehingga Tae Yong perlu disingkirkan.

"Kita harus ke apartemen Tae Yong!" Soobin menyarankan.




If I Never Loved YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang