07: Sindrom Othello

361 54 11
                                    

Sindrom Othello

Edelia merasa makin menderita. Jarot mengatakan, malam itu dia harus pulang, karena ibu dan adiknya menginap di rumah. Pria itu, bahkan tak menghiraukan tangisannya. Jarot tetap melangkah pergi, dan dipastikan akan tidur seranjang dengan isterinya lagi.

Hatinya luka. Dia makin depresi. Kekecewaannya membuncah. Edelia mulai menyesal mengapa nekat bergulingan jatuh ditangga. Kaki dan tangannya keseleo, dan luka di kepalanya fatal. Niat untuk pura-pura bunuh diri agar Jarot bisa kembali, malah berakhir tragis. Terbukti, pria itu masih tetap mengeloni Ratu, dengan beragam alasan.

Inikah rasanya diselingkuhi? Apakah ini juga yang dirasakan Ratu, selama sembilan tahun ini? 
Tetapi tetap, Edelia merasa benar. Sebab dia adalah kekasih Jarot, sebelum Ratu datang, dan mereka terpaksa dijodohkan. Bagi Edelia, justru Ratu yang merusak hubungan mereka. Setiap saat, dia malah selalu mencemburui wanita itu. Khawatir dia berhasil merayu Jarot, meski hampir setiap malam, hanya Edelia yang menguasai pria itu di ranjang. 

"Kamu cemburuan, kamu mengidap Sindrom Othello!" gerutu Jarot, setiap kali diserang Edelia dengan kecurigaan.

"Apa?!" Edelia cemberut, dia tidak terima dianggap mengidap sindrom yang sering disebut juga dengan kecemburuan delusi atau kecemburuan yang tidak wajar terhadap pasangan. "Aku cemburu itu wajar, Jarot."

"Memang, rasa cemburu bisa jadi bumbu dalam sebuah hubungan percintaan. Itu benar. Tapi, apabila rasa cemburu muncul secara berlebihan hingga menuduh pasangan berselingkuh, hal itu  menjadi tidak wajar. Apalagi tuduhan aneh tersebut dilakukan secara berulang. Bahkan disertai dengan interogasi yang berlebihan. Kau tuntut aku melakukan tes kesetiaan, hingga menguntit aku bekerja, atau saat di rumah bersama Ratu. Emang kau polisi? Detektif?"

"Mengapa kau bicara begitu?"

"Dengar, ya. Sindrom cemburu buta yang kau lakukan itu, bisa terjadi pada siapa saja, baik pria maupun wanita. Meski sebenarnya cemburu itu adalah emosi yang wajar,  tapi kecemburuan yang terus-menerus akan berakibat buruk pada hubungan. Bisa merusak hubungan! Lebih parahnya lagi, cemburu butamu ini bisa berakibat terganggunya kesehatan mental. Kau gila gara-gara cemburu. Wajarkah itu?"

Dulu, Edelia menepis pendapat Jarot. Tapi selama sembilan tahun, dia memang selalu dihantui kecemasan. Dia bahkan terobsesi dengan kecemburuannya itu. Sampai kemarin, dia bisa membuktikan, dan akhirnya jiwanya guncang. Hal konyol bahkan berani dilakukannya, demi mempertahankan Jarot. Dia belum siap berpisah.

"Kamu mungkin tidak mengakui saat merasakan cemburu. Ini terjadi karena beberapa orang mengangap, jika cemburu adalah luapan emosi yang negatif. Bisa jadi malu, untuk mengakui hal itu. Tapi sebenarnya, saat kita merasakan cemburu, kita juga sedang merasakan emosi lain seperti seperti frustrasi, kesedihan, sakit hati, dan mungkin juga rasa ketakutan." kata Rose, sepupu Edelia. Sejak ibunya meninggal, Edelia hanya akrab dengan Rose, berani bercerita.

"Tapi, masa kutahan terus? Aku emosi, Rose. Mereka berada dalam satu ranjang dan berangkulan. Katanya baru sekali, tetapi kan aku tidak tahu?" ujar Edelia, kesal.

Rose tersenyum,"Kata orang, menahan emosi, secara umum, sebenarnya bukan hal yang baik untuk kesehatanmu. Tapi, menahan kecemburuan bukanlah hal yang baik juga untuk hubunganmu."

"Serba salah!"

"Sejak awal kau sudah salah, Edelia. Mestinya kau tidak menyia-nyiakan hidupmu, hanya jadi simpanan lelaki pengecut seperti Jarot."

"Rose…"

"Kau bahkan terlalu cantik untuk menderita. Andai dulu kau berani melepasnya, berani tangguh untuk menutup masa lalu. Pasti kau bisa hidup jauh lebih bahagia. Punya suami yang bangga membawamu ke mana-mana, punya anak yang lucu. Kau bisa berdiri tegak tanpa merasa terhina!"

Edelia menangis lagi, ucapan Rose benar. Andai dulu dirinya tidak mabuk dengan rayuan Jarot. Tidak bodoh dengan khayalan percintaan menggairahkan. Semestinya dia tahu, bahwa sampai kapanpun dia tak akan diterima keluarga Jarot. Atau Jarot, punya keberanian untuk memaksa orangtuanya, untuk menerima Edelia.

"Aku juga lambat menyadari bahwa wanita memiliki sifat kompetisi yang pasti tidak bakal mau kalah dengan wanita lain, apalagi untuk wanita yang telah merebut kekasihnya. Begitu pula aku dan Ratu, kami tak berpikir untuk meninggalkan Jarot, seakan pria itu memang layak untuk diperebutkan." ucap Edelia, terisak.

Rose mengangguk,"Sebenarnya, kalian berdua itu tak layak untuk mencintai Jarot. Baik dirimu dan Ratu, terlalu konyol jika menghabiskan waktu dengan kompetisi gila begini. Kau sangat cantik dan menarik, sementara Ratu adalah wanita elegan yang dikagumi banyak orang. Lalu Jarot, dia itu apa? Tanpa warisan dia cuma  mirip mamang-mamang jual mainan gerobakan!"

"Ah, kau!" Edelia jadi tertawa, meski dia merenung.

Edelia pernah membaca sebuah artikel, yang menyatakan, bahwa perselingkuhan tak bakal membuat wanita-wanita yang berkompetisi tersebut mampu meninggalkan si pria. Konyolnya, mereka akan tetap berkutat di samping pria itu, menunggu siapa yang akan dipilih.  Jadi banyak wanita yang berharap mendapatkan para bad boy,merasa pria itu jadi semacam tropi kemenangan.

Konon, pesona bad boy terasa lebih menantang ketimbang dengan pria baik-baik yang tulus. Sebab pria buaya model begini, dianggap lebih mampu membahagiakan wanita karena lebih berpengalaman dalam merayu dan memuaskan. Dipastikan mereka paham bagaimana membuat wanita merasa diinginkan, disayangi dan dipuja. Jadi meski pria tersebut brengsek, para wanita yang bersaing memperebutkan, tak semudah itu meninggalkan, meskipun sudah disakiti dan banyak dirugikan.

"Mestinya aku belajar dari kasus ibuku, ya?"

Rose tertawa,"Harusnya."

"Ya, mungkin ibuku dulu sama. Bercinta dengan pria tengik, lalu lahir aku. Bertahan menunggu, mencari, bersaing. Lalu gagal. Kebodohan yang menurun bukan? Akibat ulahnya juga aku begini. Tak ada orang berkelas yang menerima anak hasil zina, bukan?"

Rose menatap Edelia dengan sedih."Lia?"

"Ya?"

"Apa kau tidak tertarik untuk mencoba cinta yang lain?"

Edelia terdiam, dia mulai memikirkan pertanyaan itu. Jika memang cinta harus sesakit ini, apa guna menunggu sembilan atau seratus tahun? Bukankah mencoba jauh lebih baik, dari pada tidak sama sekali?

"Memang, kau punya calon?"

Rose tertawa,"Ada. Dia mungkin tak sekaya Jarot. Tetapi dia lelaki sejati. Bukan banci..."

Edelia mengulum senyumnya, dan mulai menghapus air matanya.

(Bersambung)

RATU (Sisi Lain Kehidupan Wanita)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang