15. Tujuh Bulan

326 43 2
                                    

"Seperti inikah rasanya hamil?" Bisik hati Ratu, seraya mengelus perutnya yang kini telah semakin besar karena telah tujuh bulan.

Begitu indahnya hidup, ketika dianggap sedang mengandung anak pertama, sekaligus cucu pertama juga. Mertua dan orangtuanya, tiada henti menelepon, menanyakan keadaannya dan janin yang dikandungnya dengan penuh perhatian.

Suaminya, Jarot, bahkan lebih banyak di rumah sekarang. Mengurusinya dengan tulus, termasuk mengajaknya berjalan-jalan dengan mobil ke tempat-tempat yang disukai Ratu.

"Aku, bahagia." Kata Jarot, seraya ikut mengelus perut isterinya dengan lembut. "Papi harap, kau juga makin bahagia di sana sayang. Makin besar dan gemuk. Serta bakal setampan Papimu!"

"Me-memang dia bakal mirip kamu?" Tanya Ratu gugup.

"Hasil USG menyatakan si dedek bayi perempuan, bukan? Pasti mirip bapaknyalah!"

"Pasti?"

"Ya, minimal mirip wajah kita berdua."

Ratu menelan ludah, terasa sakit seperti menelan beling. Bagaimana jika anak itu bukan dari benih Jarot? Tapi dari benih pemuda pelukis yang tampan itu?

Berulang kali dia harus merasa tercekik, jika mengkhawatirkan hal tersebut. Jiwanya seakan terguncang. Sampai harus beberapa kali dilarikan ke rumah sakit. Jarot dan keluarganya, pasti hanya mengira dia kelelahan. Tak bakal mereka mengira, jika dirinya dirasuki beban pikiran yang mengerikan.

Tujuh bulan. Dan mertuanya telah menggelar acara selamatan besar-besar. Sampai sejumlah menteri dan kepala daerah turut hadir. Betapa bersyukurnya mereka menyambut cucu pertama ini. Alangkah ngerinya, jika mereka tahu jika menantunya bahkan turut meragukan janin dalam kandungannya.

"Edelia mendadak harus melahirkan, meski kurang bulan. Dia terjatuh di kamar mandi." Kata Jarot, usai membaca pesan pendek di ponselnya.

Ratu menoleh sedih,"Kau tidak menjenguknya?"

"Untuk apa? Itu bukan anakku."

"Tetapi, kau yakin itu?"

Jarot terdiam sesaat, lalu menghela nafas. "Aku tidak berhubungan selama sebulan dengannya..."

"Bagaimana jika perhitungan bulannya benar?"

"Maksudmu?"

"Nanti, lakukan saja tes DNA."

"Buat apa!"

"Siapa tahu, itu memang anak biologismu?"

Jarot menggeleng dan cemberut,"Ratu, apa yang kau pikirkan?  Aku punya anak darimu, sudah jelas kau mengandung anakku. Nah, Edelia? Dia meniduri pria lain. Wanita seperti itu, tak pantas untuk diberi kesempatan. Wanita jalang!
Sundal!"

Ratu tertunduk. Jalang? Sundal? Lalu bagaimana dengan diriku, bathinnya. Apa bedanya, dirinya dengan Edelia?

"Hari ini, aku akan memberimu kejutan istimewa." Bisik Jarot, seraya mencium pipi Ratu dengan mesra. "Aku mengundang pelukis favoritmu besok, untuk melukismu yang sedang mengandung anak kita..."

"Apa?!" Bagai tersengat listrik rasanya Ratu, tubuhnya terlonjak dalam keadaan pucat biru. "Apa yang kau lakukan?"

"Hei, mengapa kau jadi takut?"

Ratu terdiam sejenak, sebelum menatap Jarot dengan gugup,"A-aku hanya malu dilukis dalam keadaan gendut."

"Ah, bagiku kau malah menggemaskan sayang." Jarot dengan lembut mendorong Ratu agar berbaring di kasur. Menciuminya dengan penuh nafsu, seraya melepaskan celana dalam isterinya itu. Hingga Ratu tak mampu menolak.

Jarot, semakin beringas dalam urusan seksual, sejak Ratu hamil. Kebutuhan bathin Ratu, akhirnya kenyang terpenuhi. Meski dia terus digelayuti rasa gelisah. Apalagi besok, bagaimana ceritanya jika benar Jarot mengundang Kei Zorach untuk melukisnya?

Apa yang harus dilakukannya, ketika bertemu pemuda yang telah menidurinya itu? Dan bagaimana pula, jika pemuda itu yakin jika janin di dalam perutnya ini adalah hasil benihnya? Bagaimana jika pemuda itu bicara, dan... ah!

Ratu mulai meneteskan air mata, saat Jarot makin melenguh buas di atas tubuhnya. Dia khawatir, itu hari terakhir Jarot menidurinya.

(Bersambung)


RATU (Sisi Lain Kehidupan Wanita)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang