28: Lega

160 18 2
                                    

Kei Zorach, merasa perlu mengantarkan sendiri pesanan lukisan pada seorang nyonya tua yang memiliki usaha kos-kosan. Menur, namanya. Tetapi di depan pintu, dia malah bertemu seseorang dari masa lalu; RATU.

Nyonya Menur sedang pergi berjalan-jalan dengan Putri, yang diyakini Kei adalah anak biologisnya. Ratu tak punya pilihan untuk mengusir, hari itu mereka duduk berdua. Berhadapan, dan mulai bicara kaku.

"Bagaimana keadaannya... Putri?" Tanya Kei, berusaha tenang.

"Baik," sahut Ratu, meski dia sibuk menggengam tangan menahan gelisah.

Kei tersenyum,"Syukurlah. Apa aku boleh bertemu?"

Ratu terdiam. Sedikit banyak dia lega karena wajah Putri telah berubah. Dia tidak mirip Kei, ataupun dengan anaknya Gun dan Angel.

"Boleh kan?"

"Urusannya apa?

"Aku bapaknya kan?"

Ratu tersenyum kecut,"Jangan bermimpi. Dia tumbuh besar dengan raut wajah persis Jarot. Lagi pula tes DNA membuktikan demikian, apa kau tak bertanya tentang itu pada Jarot? Jadi berhentilah berhalusinasi."

Kei tak percaya, tetapi ketika dia tiba-tiba mendengar suara anak perempuan, dia melihat anak itu berlarian masuk ke dalam ruang tamu  untuk memeluk Ratu.

"Benar, dia sekarang malah mirip si Jarot." Kei langsung membathin.

"Oh, Kei! Kapan datang?" Nyonya Menur menyalaminya, dan menyuruhnya duduk. Lalu menoleh pada Ratu yang kini duduk dengan gelisah, sambil memeluk anaknya. "Gara-gara lukisanmu waktu hamil Putri, Tante jadi pesan lukisan terus sama Kei."

Ratu mengangguk kikuk, lalu makin erat memeluk anaknya. Dia ingin berlari, tetapi tak bisa. Jiwanya seakan terganggu saat kembali melihat Kei lagi.

"Ratu itu sangat cantik saat kau lukis kan, Kei?" Tanya Menur.

Kei mengangguk,"Betul, Nyonya."

"Bisakah suatu saat nanti kamu lukis saya?"

"Bisa, dengan senang hati."

"Nanti juga lukis si Putri, ya. Anaknya si Jarot. Dulu pas kecil dia bule banget, lho. Tapi pas balik dari Amerika kok dia malah kek bocah kampung. Persis kayak Jarot."

Kei menghela nafas, lalu menatap si Putri. Terkenang juga dengan pertemuan mereka di Amerika yang...., Kei menahan emosinya.

"Saya mau pesan lukisan juga untuk cafe saya nanti. Saya berencana untuk memberi kerjaan untuk Ratu. Kamu tahu kan dia dulu istrinya siapa? Dan sekarang, ya begitu. Malah tinggal di sini. Hidup memang berubah."

Ratu tiba-tiba bangkit, dia pamit untuk mengambilkan teh hangat untuk Kei si tamu. Meski Kei tahu, Ratu sedang coba menghindarinya.

"Dia jadi berantakan, sejak suaminya jatuh melarat." Bisik Menur, saat Ratu sudah ke dapur, sementara Putri bermain boneka di ruang tamu. "Mereka akan bercerai..."

"Oh," Kei sedikit kaget."Semoga mereka bersatu lagi."

"Ah, buat apa? Suaminya sudah kere."

"Tapi kasihan anaknya, Nyonya."

Menur menggeleng,"Ratu tidak akan hidup susah, Kei. Dia ada saya, dan warisannya masih saya urus. Ada masih hak dia, tanah milik orangtuanya dulu masih banyak. Cuma Ratu tidak tahu."

"Syukurlah."

Percakapan hari itu dengan Nyonya Menur berjalan lancar, meski Kei berusaha untuk cepat-cepat menuntaskan. Dia juga merasa gelisah.

"Saya akan pesan lagi," kata Nyonya Menur, saat melambaikan tangan pada Kei yang berada dalam mobil. Kei balas melambai, dia melihat anak "itu", tetapi entah di mana si Ratu. Senyum Kei mendadak pudar, tapi dia akhirnya bisa bernafas lega. Lega, ternyata anak itu bukan anak kandungnya. Jadi, dia mulai berpikir melupakan Ratu.

****

Jarot memandangi ibunya, Ratih Sitoresmi yang sibuk menggaruk tubuhnya. Wanita itu merasa gatal-gatal saat terpaksa tinggal di rumah itu. Bahkan air sumur dari pompa air yang ke luar terasa bau dan tak jernih.

"Rumah lama yang tak dihuni ini, Bu. Maklumi saja, kita tak punya tempat lain." Keluh Jarot, putus asa membujuk ibunya.

"Setidaknya berusaha toh? Kamu itu banyak relasi, Jarot. Masa iya tak bisa bangkit?" Protes ibunya, kesal.

"Lha, istriku saja meninggalkan aku. Apa lagi relasiku?"

"Ah, istrimu itu saja yang tak punya akal. Maunya pas enak aja, durhaka dia! Padahal kamu kan dulu suami yang baik, setia..."

Jarot melengos, dia jadi teringat Edelia. Juga merasa bersalah pada Ratu. "Ibu, aku mau cari usaha nanti. Ibu di rumah ya?"

"Sendiri?"

"Iya, Bu?"

"Ah, tidak! Kecuali, kamu sudah carikan pembantu untuk membereskan kekacauan rumah ini!"

"Ibu, aku tak punya uang..."

"Berusahalah Jarot, kau itu laki-laki."

Jarot menelan ludah, lalu bangkit dan tiba-tiba menelepon Gunarsa. "Gun, Mas mau pinjam uang lagi..."

***

Jamin, menatap Edelia yang sibuk merokok. Sampai asap putih tebal menutupi wajahnya yang kini sudah banyak kerutan. Meski terlihat tetap cantik.

Entah berapa lama, dia kerap menjilati wajah menawan itu. Juga menikmati tubuhnya yang mulus, meski sedikit kurus. Hubungan mereka begitu mendalam, meski tanpa status.

Jamin merasa menemukan muara hidupnya, saat bersama Edelia. Mereka sama-sama orang terbuang, yang hanya dibutuhkan jika ada yang butuh jasa. Edelia menjual tubuh, Jamin menjual hati nurani.

Tetapi, mereka menyatu di ranjang. Bergulat dalam gairah pekat penuh rangsangan memikat. Menembus dinding rasa sungkan dan malu. Berpagut ganas, dalam balutan kebutuhan. Lalu terengah-engah dalam kekhawatiran untuk terpisahkan.

Pelukan hangat di atas ranjang, dalam selimut tebal, adalah komunikasi mereka untuk mengakui kasih sayang. Usia tua membuat mereka malas untuk merayu dalam ucapan. Selama mereka masih bisa menyatu di ranjang, artinya semua aman. Bahkan Jamin sudah berpikir untuk menikahi wanita itu, andai mulut si Edelia dapat terus dijaga dan "dikondisikan".

"Kau mestinya tidak mengatakan tentang aku pada Ratu," kata Jamin, dengan tatapan yang semakin tajam.

Edelia lalu mematikan rokoknya, dia mulai sedikit gusar. "Maafkan aku, tetapi kau juga kan tak kerja lagi sama dia?"

Jamin melengos,"Kau sudah menghancurkan reputasiku."

"Eh, kau sendiri yang bercerita!"

"Saat aku mabuk! Juga saat aku terlalu bodoh mengira, bahwa kau wanita yang dapat dipercaya."

Edelia mengangguk lemah,"Oke, aku minta maaf. Aku cuma ingin memberi pelajaran pada wanita munafik itu."

Jamin kembali menatap Edelia,"Lalu kau sendiri apa? Kelakuannya yang menggila itu semua juga karena kau! Kau yang merusak rumah tangganya, mengikat suaminya dalam perselingkuhan!"

"Kalau begitu, aku juga bisa salahkan ibunya Jarot yang membuat si Ratu berada dalam hubungan cinta suciku dulu dengan si Jarot!"

"Lalu, ibunya si Jarot menyalahkan siapa? Tuhan? Yang membuat takdir hidup jadi kacau balau begini?"

"Ah!" Edelia memukul meja, lalu cepat menyalahkan rokoknya lagi. Ruangan kembali berasap, dengan musik hingar bingar dari para pencari kenikmatan yang bergoyang liar. "Jangan lupakan juga dosa-dosamu yang telah menghancurkan hidup Jarot, Jamin. Ingat, kita semua pendosa!"

Jamin tak menjawab, dia segera bangkit dan pergi tanpa menoleh lagi. Meninggalkan Edelia yang tiba-tiba menangis.

(Bersambung)

RATU (Sisi Lain Kehidupan Wanita)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang