10: Sepatu

352 47 7
                                    

Tak ada yang bisa mengubah takdir. Tuhan punya kuasa. Hampir dua hari Jarot mencari Edelia di Bandung, tetapi wanita itu baru ditemuinya pada hari ketiga. Pulang pagi, di antar taksi, dalam keadaan kusut.

Jarot berdiri menyambutnya, di rumah lain miliknya yang selalu dihuni Edelia jika pergi ke Bandung. Kekasihnya itu, bahkan sedikitpun tidak menegurnya. Dia nyelonong masuk kamar, dan terbaring. Seakan masih sangat mengantuk.

"Kau dari mana?" Tanya Jarot, dengan emosi yang coba ditahannya. Dia khawatir, mereka akan bertengkar, dan Edelia akan kembali menghilang.

"Aku ingin tidur." Sahut Edelia, seraya memeluk guling.

Jarot mengalah. Dia lalu ke luar kamar. Sepeninggal Jarot, Edelia hanya bisa menghela nafas. Dia lega, pria itu tidak terus bertanya. Sebab dia khawatir, mulutnya tak mampu berdusta.

Dua hari, dia menghilang. Tidak sendiri. Tetapi menghabiskan waktu di Lembang dengan pria baru, kenalan sepupunya, Rose. Emir, nama pria itu. Bujangan berusia 38 tahun. Dia seorang manajer di sebuah perusahaan sepatu. Jelas bukan pria yang sekaya Jarot, tetapi Emir, seakan mampu melobati luka hati.

"Kaki yang jenjang dan indah. Mulus, bagaikan padi bunting..." rayu pria itu, saat melepas sepatu Edelia, dan menjilat betis halus itu.

"Apa kau melakukan hal ini pada semua pembeli sepatu di pabrik tempatmu bekerja?" Tanya Edelia, penuh selidik.

Emir tertawa,"Kami juga menjual sepatu pria, lho."

Edelia tersenyum. Dia mulai menyukai gaya bercanda pria itu. Selanjutnya, dia juga menikmati cara pria itu memanjakan kebutuhan seksualnya.

Luar biasa. Pria itu ternyata punya kemampuan diatas rata-rata. Bahkan jauh lebih menggairah dari Jarot, kekasihnya.

"Mengapa kau tak menikah, apa kau juga jadi selingkuhan?" Selidik Edelia lagi, saat mereka bergumul untuk kali ketiga, dengan tenaga yang masih kuat untuk diadu.

"Aku, tak mempercayai cinta. Aku hanya butuh seksual. Jadi, aku tidak ingin menyakiti siapapun, dengan pernikahan yang palsu." Jawab Emir, dengan tenang.

Edelia melenguh, dia justru makin terbakar mendengar itu. Pria tampan, mapan, matang. Bersikap jujur dengan cara berpikirnya yang ala orang luar. Setidaknya, dia tidak semunafik Jarot.

Perlahan, dia mulai mengagumi Emir. Entah mengapa, pria itu juga terlihat lebih tampan, dan juga lebih perkasa di ranjang, ketimbang si Jarot. Cuma yang tampak sedikit "mengecilkan" pandangannya pada Emir, tentu saja soal harta. Memang, Emir cukup mapan. Tetapi tidak cukup kaya dibandingkan Jarot. Dengan Jarot, Edelia bisa memiliki segalanya, semaunya, kecuali...selembar surat nikah!

"Tetapi, apakah pernikahan itu perlu?" Tanya Emir, sambil terus menjilat betis Edelia dengan rakus. "Bukankah banyak orang menikah, tetapi masih juga berselingkuh? Lalu, apa gunanya repot menikah, jika berujung seperti itu?"

Edelia tak menjawab. Dia sibuk menikmati gairah kewanitaan yang coba dibangkitkan oleh si manajer sepatu. Pria memesona yang sangat paham urusan kaki, termasuk kelemahan sensual di kaki seorang wanita.

Pada kenyataannya, sepatu-sepatu binal tinggi lancip yang masih dikenakan saat akan menuju ranjang, biasanya bukanlah ranjang-ranjang kusam berbau pesing ompol bayi, minyak telon, atau balsem. Tetapi ranjang-ranjang empuk wangi, yang dipersiapkan untuk sebuah hubungan yang justru tanpa persiapan.

Sepatu itu, sengaja dipakai untuk menggoda, agar kaki terlihat halus jenjang. Lalu pria yang memahami tentang seluk beluk wanita, pasti akan memikirkan hal yang nista. Dalam pemikiran mereka, wanita yang pandai mengurus kakinya, pasti pandai pula mengurus tubuh bagian lainnya.

Bagian terbawah tubuh saja dijaga, apalagi kelaminnya? Begitulah kira-kira para pria meninggikan fantasi seksual mereka.

Lalu, kaki yang jenjang mulus itu, akan mereka jilati setelah sepatu si wanita dilepas. Pelepasan sepatu, sama halnya dengan pernyataan dari si wanita, bahwa dia sudah siap untuk memberikan tubuhnya sesuai dengan apa yang si pria mau.

Gara-gara urusan sepatu lancip yang menjenjangkan kaki telanjang itu, banyak pria yang rela berbelok menikung sepulang bekerja, dari pada bergegas lurus pulang ke rumah menemui isterinya yang tidak mungkin sedang bersepatu. Mereka dengan ganas melepas sepatu itu, untuk memuaskan nafsu. Meski dompet mereka menjadi kempis, dan pulang ke rumah sambil meringis.

Pada masa kini, wanita-wanita bersepatu lancip yang memamerkan kaki jenjang, tidak mesti wanita jalang yang menjebak pria-pria bodoh di tikungan jalan demi selembar uang. Banyak wanita yang kini hidupnya tidak susah, tetapi butuh fantasi seksual yang berbeda. Mereka bisa memamerkan sepatu lancip saat kencan buta, ketika bergoyang di kelab malam, atau sekedar berlenggang di pusat perbelanjaan. Di tempat manapun, yang terkadang bahkan tidak terpikirkan mampu berakhir di atas ranjang.

Seperti Edelia, yang dibuat mabuk kepayang selama dua hari dua malam. Bahkan saat perpisahan di pagi buta, mereka masih saja mampu memuaskan hasrat.

"Kita akan bertemu lagi, bukan?" Bisik Emir, dengan nafas memburu.

Edelia, tak sanggup menjawab, tetapi hatinya yang membuat janji untuk kembali. Dia merasa kurang, untuk gairah cinta dua hari dua malam tanpa pengaman. Ternyata, Emir senang bercinta tanpa menggunakan kondom. Pria itu penganut gairah "polosan", tanpa takut bakal membuat kehamilan.

"Aku tak suka hubungan yang dihalangi. Meski itu berupa selembar karet tipis bernama kondom. Apa enaknya menutupi kenikmatan dengan sarung karet? Sama seperti minum dengan botol air yang tertutup. Konyol," gerutu Emir, ketika Edelia sempat memintanya menggunakan alat kontrasepsi. "Cukup berdiri, usai berhubungan. Loncat-loncat dikit kamu, biar tidak hamil."

Emir, tetap bertahan dengan prinsip anti kondom. Membuat Edelia mengalah, dan akhirnya pasrah. Meski, dia sangat takut jika hamil. Apalagi, dia baru seminggu lepas dari menstruasi. Cuma, saran Emir dia turuti. Meski dia tetap cemas. Khawatir jika tak mampu bunting dengan Jarot, tapi malah bisa hamil dengan Emir. Sementara dirinya, tidak mau kehilangan Jarot, terutama tentang kemewahan yang diberikannya.

Edelia, segera berbalik, saat dia mendengar Jarot masuk ke kamar. Pria itu, nampak sangat kusut dan kesal. Pikiran Edelia mendadak bercabang.

"Kita tidak bercinta selama berhari-hari. Jika kau tidak melayaniku hari ini, maka aku akan kembali ke Jakarta menemui Ratu. Atau siapapun wanita, yang bisa melayani hasratku!" Kata Jarot dengan marah.

Edelia menghela nafas, dia seakan tak punya pilihan. Tetapi, dia ragu untuk melayani pria itu. Ini bukan soal tenaga yang terkuras. Tetapi tentang bagian tubuhnya yang penuh dengan cupangan bibir Emir. Noda merah kebiruan penuh di leher dan dada, bagaimana jika Jarot melihatnya?

"Aku sedang menstruasi," Sahut Edelia, sebelum membalikkan tubuh dan tidur tengkurap. "Terserah kau bakal tidur dengan siapa!"

Jarot, terdiam. Dia hanya bisa memandangi Edelia dengan putus asa, sebelum menutup pintu kamar dengan perlahan. Lama dia berdiri dibalik pintu, menyesali masa hampir tiga hari dengan kekacauan pikiran. Jarot baru menyadari, jika sesungguhnya dia bukan butuh penyaluran nafsu, melainkan justru butuh ketenangan yang kontinyu. Tiba-tiba, dia jadi teringat Ratu.

(Bersambung)






RATU (Sisi Lain Kehidupan Wanita)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang