16: Lukisan Pedih

310 40 1
                                    

Kei nyaris tak bergerak, ketika kembali melihat wanita itu. Bukan karena dia lama tak bisa ditemui, tetapi karena perut wanita itu yang kini buncit besar. Tangannya gemetar, saat mulai melukisnya. Apalagi, ketika sikap wanita itu terlihat sangat gugup, saat suaminya meninggalkan mereka berdua.

"Ada urusan penting di pabrik!" Kata Jarot, usai mencium pipi isterinya. "Aku tinggal dulu, ya. Kei adalah pelukis hebat yang jadi favoritmu, tetapi melukis dirimu sebagai sebuah objek, pastinya akan menjadi masterpiece!"

Benarkah? Bisik hati Kei, yang mulai pasrah. Dia berusaha bekerja dengan profesional seperti biasa, meski perasaannya jadi campur aduk. Wanita itu hamil? Anak dari benihnyakah?

Tetapi Ratu, tampak sulit diajak bicara. Dia seakan ingin semuanya selesai secepatnya."Aku sedang tidak sehat, jadi sudahi secepatnya!" Kata wanita itu, membuat kuas di tangan Kei nyaris jatuh.

Kei tak menyahut, dia berusaha untuk benar-benar segera mengakhiri kegiatan melukis itu. Sama seperti Ratu, dia merasa sangat tidak nyaman.

Wanita itu telah berusaha untuk terus dihubunginya selama ini. Tetapi dia seakan sengaja membangun tembok yang sangat tinggi. Seperti memang tidak ingin bertemu kembali. Awalnya, Kei berusaha untuk menerima kenyataan itu. Tetapi, setelah melihat perut Ratu yang buncit besar seperti itu, tiba-tiba dia malah jadi berpikir negatif.

Bagaimana, jika wanita itu justru menjebaknya agar mampu mempunyai anak dari suaminya? Bagaimana, jika ternyata, mereka bukan tidak pernah berhubungan seks? Tetapi pria itu hanya mandul?

Kei memandangi Ratu yang tampak makin gelisah, gaun merah khusus wanita hamil yang dikenakannya, seperti membuatnya kerap meliuk seperti bara api. Kei, menelan ludah serasa berdarah. Dia tidak mencintai wanita itu. Tetapi jika benar, benih di rahimnya adalah dari hubungan terlarang di hotel itu, urusannya jadi berbeda. Di sisi ini dia ingin bertanggung jawab, tapi di sisi lain dia memahami pernikahan sah Ratu dengan suaminya.

"Apakah itu anakku?" Tanya Kei, seraya tetap menyapukan kuas di atas canvas besar di depannya. Bibirnya bergetar, dan tangannya juga seakan bergerak tak beraturan.

Ratu, kini menatapnya. Tajam. Seakan dia sudah siap dengan lontaran kalimat itu. "Andai aku tahu," sahutnya, dingin.

Kei tertawa, pedih. "Seorang wanita, tak mungkin tidak tahu siapa ayah dari anak yang dikandungnya. Kecuali, jika pria itu lebih dari satu. Bukankah kau bilang, suamimu tak pernah menidurimu? Lalu, apa yang kau ragukan? Apakah ucapanmu dulu ternyata dusta? Jangan bilang, kau coba menjebakku!"

"Tutup mulutmu!" Bentak Ratu, yang tiba-tiba bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah Kei. "Kau yang memperkosaku. Aku tidak menginginkan itu!"

"Tetapi kau butuh benih kan?"

"Suamiku memang tidak pernah meniduriku. Tetapi, setelah pertemuan kita, kami berhubungan. Lalu aku hamil. Aku hanya bingung, sebab hanya berjarak hari dan..."

Kei menggeleng,"Tidak kusangka. Wanita kaya sepertimu, terkadang rela berpura-pura menjadi korban agar dapat mempertahankan perkawinan. Apa susahnya sih ambil program bayi tabung? Apa kau tidak berpikir, jika tidak semua pria itu bajingan? Aku ini hidup sendirian. Terlantar! Jadi jika aku punya anak, aku tak mau nasib anakku nanti sepertiku!"

"Dia tidak akan sepertimu!"

"Karena kau punya uang? Jadi benar kan, itu anakku?"

Ratu membuang muka, dia berusaha menahan tangis. Sudah berbulan-bulan dia menutupi kegelisahannya, dan itu terasa sangat sakit. Entah pada siapa dia harus bercerita, tentang aib yang bisa menghancurkan segenap nama baik.

"Anak ini, baru bisa diketahui ayah biologisnya setelah lahir nanti. Sungguh aku berharap, jika ayahnya adalah suamiku. Bukan kamu!"

Kei mengangguk-angguk, air matanya mulai jatuh. "Bagaimana jika itu adalah anakku? Kau takut mengungkapkannya pada dunia? Bagaimana, jika suatu hari kelak suamimu tahu? Aku, mungkin tak akan memberi tahu. Tetapi jika anak itu suatu hari sakit  dan..., dan pihak medis akan mengungkap ketidaksamaan antara anak itu dan suamimu? Aku tak peduli bagaimana nasib wanita egois sepertimu. Tetapi aku, peduli dengan masa depan anakku!"

"Kau yang memperkosaku!" Teriak Ratu. "Bagaimana bisa kau kini yang malah bertingkah sebagai korban? Bisa kau bayangkan perasaanku hamil oleh orang lain? Beruntung saat itu suamiku tiba-tiba meniduriku! Jika tidak? Pasti aku sudah gantung diri!"

"Apa kau pikir aku juga tidak gelisah?!"

"Pergilah dari sini, dan selamanya! Aku dan anakku, tidak membutuhkan dirimu. Kau bukan siapa-siapa!"

Kei terdiam. Dia mendadak bingung. Apalagi ketika Ratu meninggalkan ruangan itu, saat lukisannya belum jadi. Sesaat, dia hanya berdiri mematung. Sebelum kembali melukis, dengan pikiran yang campur aduk.

(Bersambung)

RATU (Sisi Lain Kehidupan Wanita)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang