Rumah itu, dulu pernah sering dia singgahi. Saat Kei masih melukis, dan menggunakan tempat itu sebagai galeri. Mana Ratu tahu, jika kelak dia akan menempati rumah itu?
"Ini jauh lebih buruk!" Kata Ratu, seraya melemparkan tasnya ke atas sofa berdebu. Sofa yang dulu dia sering duduki, saat ngobrol dengan Kei. Ini bukan soal masa lalu, tetapi dia tak menyangka nasibnya akan seburuk itu.
"Sudahlah, nanti juga kehidupan kita akan pulih." Kata Jarot, sambil membelai rambut Putri.
Ratu menggeleng, dia tak terima. Tinggal dibekas rumah bapak biologis anaknya, yang sudah dibeli Gun suami Angel. Artinya, rumah ini cuma dipinjam sementara. Separah itukah kondisi finansial Jarot?
"Sampai kapan kita harus begini?" Tanya Ratu, seraya menatap suaminya dengan marah. "Belum satu dasawarsa lho aku pergi. Masa hidupmu sampai semelarat ini, Mas? Dan aku dengar, kau juga berselisih paham dengan adikmu Saras?"
"Sayang, aku tak ingin membahas itu. Tetapi..."
Sebuah taksi tiba-tiba berhenti di depan rumah itu, Ratu dan Jarot bergegas ke luar rumah. Betapa terkejutnya Ratu, saat melihat ibu mertuanya ke luar dari taksi bersama seorang pembantunya yang membawa 2 koper besar.
"Ibu...," Ratu langsung memeluk mertuanya, dia merasakan sinyal yang tak beres. Apalagi terlihat wajah sang mertua tampak sembab dan terus menerus menangis. "Ibu, ada apa?"
Ratih Sitoresmi mengusap air matanya,"Saras mengusir Ibu karena selalu membela Masmu. Mereka memang ribut soal tanah, usaha, serta rumah Ibu dan Rumah Pawon yang dijual Jarot. Maksud Ibu, yang udah yo wis berakhir. Lupakan. Tapi adikmu malah mau laporkan Jarot ke pengadilan. Wajar sebenarnya Saras marah, karena dia jadi kehilangan hak waris juga. Jarot ini saat usahanya bangkrut malah gila berjudi...."
"Mas?!" Ratu mendelik pada Jarot yang cuma bisa garuk-garuk kepala. "Otakmu ke mana?"
"Sudahlah, Ratu. Ibu numpang tinggal di sini, ya. Simpanan Ibu ludes karena harus bantu Jarot bayar hutang." Bisik Ratih, sebelum melangķah masuk.
Ratu cepat mendekati Jarot, dia hampir mencekik suaminya itu. "Kau habisi semua termasuk milik Ibu?"
Jarot menggeleng,"Tidak semua. Jauh sebelum itu, Ibu sudah hanya punya rumah itu. Uangnya habis untuk bersenang-senang dengan berondong. Terpengaruh perilaku grup arisan sosialitanya!"
"Hah?!"
"Saat kau pergi, banyak yang terjadi. Saras bercerai dengan suaminya, lalu sibuk gonta-ganti pacar. Habis juga harta bendanya, makanya dia nuntut hak waris. Lagian, Ibu kan juga masih hidup? Tapi nggak ada juga sih, sudah pada kujual."
Ratu terperangah, dia mendadak pusing dan memegangi kepala. "Ya Allah, keluarga macam apa kalian ini? Kok malah berantakan?!"
"Aku juga tak tahu, sejak pabrik kita
meledak semuanya kacau."Ratu tertegun. Dia tiba-tiba dia kembali merasa bersalah. Bagaimanapun, itu juga akibat perbuatannya. Hanya dia tak menyangka jika separah itu. Mungkin, jika Jarot tidak depresi, dan malah lari ke judi, semuanya akan baik-baik saja. Tetapi Jarot berjudi di lingkup kelas atas, yang dipertaruhkan bukan hanya uang, tapi juga aset keluarga yang bernilai miliaran.
Bodoh. Itulah yang dipikirkan Ratu saat melihat wajah Jarot yang kini nampak begitu tua, lusuh dan tak berdaya. Dia telah berubah. Dengan kesal, Ratu mengikuti mertuanya masuk ke dalam rumah. Tetapi di ruang tamu, di mana Putri terpaksa duduk pasrah di sofa berdebu, Ratih tampak terdiam memandangi gadis kecil itu.
"Mengapa wajahnya berubah sekali? Tidak mungkin karena penyakit, rahang dan hidungnya sampai begitu jauh berubah?" Tanya Ratih, seraya menoleh pada Ratu.
Ratu menghela nafas, dia sudah mempersiapkan kebohongan baru untuk mertuanya itu. "Ibu, bisa kita bicara empat mata?"
Ratih lalu mengikuti menantunya itu untuk memasuki salah satu kamar. Ruangan berdebu dengan kasur lipat berdebu yang terbentang di lantai, tampak pengap meski jendela terbuka lebar.
"Apa yang ingin kau katakan?" Ratih kembali bertanya, sambil menatap jendela ke luar kamar.
Ratu terbatuk,"Ibu, aku mohon jangan katakan ini pada Mas Jarot."
Ratih berbalik dan melotot,"Apa maksudmu?!"
"Ehm, sebenarnya saat di Amerika, pada masa pengobatannya, taksi yang kami tumpangi ke rumah sakit mengalami kecelakaan."
"Kecelakaan?!"
"Aku takut memberitahukan ini pada Mas Jarot yang sedang stres saat itu karena pabriknya terbakar. Aku bahkan takut mengatakan kepada siapapun, Bu!"
"Apa yang terjadi?"
"Saya tidak apa-apa, Bu. Hanya terluka meski sempat tak sadarkan diri. Tetapi Putri..."
"Kenapa dia?"
"Sempat terlempar ke luar mobil, Bu. Wajahnya menghantam aspal, remuk. Sebab itu, terpaksa harus ditempuh jalur operasi plastik."
"Oh, Tuhan!" Ratih memegangi kepalanya, sebelum kembali menatap Ratu. "Hal sebesar ini kenapa baru terungkap sekarang?"
"Saya takut, Bu. Kondisi Mas Jarot saat itu, dan sekarang juga sedang tidak baik."
"Tetapi kan setelah itu dia pernah ke Amerika? Dia juga tak cerita detil jika ada operasi plastik untuk anaknya? Memang,dia sempat bilang jika ada bagian fisik Putri yang berubah karena adanya penyakit.
"Iya, Bu."
"Sampai sekarang?"
"Aku takut Mas Jarot khawatir."
"Toh semuanya telah terjadi?"
"Iya, Bu. Tapi..."
"Ingat ya, Ratu. Kau pergi tiba-tiba ke Amerika. Bahkan kau memutuskan kontak sepihak dengan Ibu dan Saras. Bertahun-tahun Ibu bahkan sulit menghubungimu dengan video call. Hanya bisa mendengar suaramu dan Putri. Kau pikir, semua orang bisa diperlakukan seperti itu? Aku ini mertuamu!"
"Maafkan aku, Bu."
"Selama ini, kau adalah menantu kesayanganku. Segala hal tentangmu tak ada cacat di mataku. Tetapi aku baru tahu jika ada sisi kekuranganmu yang ternyata cukup mengerikan."
"Ibu, aku bisa jelaskan lagi. Semua ini tidak seperti yang Ibu duga!"
"Aku tak mengerti jalan pikiranmu," ucap Ratih sebelum meninggalkan kamar itu. Tak lama kemudian terdengar dia berteriak. "Jarot, setidaknya kamu segera berpikir untuk beli perabotan rumah dan tempat tidur yang layak. Ini rumah seperti kandang kambing, sih?"
Ratu mendengar itu, dan dia hanya bisa menghela nafas. Tak lama kemudian, Putri masuk ke kamar dan cepat memeluknya. Anak tak bersuara, tetapi dia tampak menangis.
Ratu dengan cepat berlutut, dan menghapus air mata anaknya."Kamu bilang, selalu ingin pulang ke Indonesia. Lalu, mengapa sekarang kamu menangis sayang?"
"Mau pulang ke rumah lama," rajuk Putri.
"Rumah itu sudah dijual sayang. Kita tinggal di sini sekarang."
"Nggak mau. Kalau begitu, balik saja ke Amerika."
"Rumah kita di sana juga sudah dijual, Nak."
"Putri nggak mau tinggal di sini."
"Sayang, ini hanya sementara. Kamu yang sabar, ya?"
Putri tak menjawab, dia hanya terisak. Ratu membelai rambut anaknya, dan memeluk dengan erat tubuh mungil itu. Dia berusaha untuk tidak menangis. Tetapi tiba-tiba Jarot masuk ke kamar, mendekati mereka dan meraih tangan kirinya.
"Kita butuh tempat tidur, kulkas, makanan dan minum. Coba kau pilih sekarang, mau lepas arloji Rolex-mu, atau cincin berlian pernikahan kita?"
Seketika Ratu bangkit dan berteriak marah,"Mas! Masih tidak cukupkah perbuatanmu?"
Jarot hanya bisa menggeleng lesu,"Maaf sayang. Kita tak punya pilihan. Aku tak punya apa-apa lagi. Tolong mengertilah..."
Ratu menatap suaminya itu dengan penuh kebencian,"Kenapa bukan barang-barang yang pernah kau berikan pada Edelia yang bisa kau ambil lagi?!"
(Bersambung)
KAMU SEDANG MEMBACA
RATU (Sisi Lain Kehidupan Wanita)
RomanceRatu, tak pernah menjadi ratu dalam rumah tangganya. Karena sebelum menikahinya, suaminya Jarot telah menjadikan Edelia, sebagai ratu dihatinya. Perasaan terhina, putus asa, dan sedih dalam fase 9 tahun pernikahan itu, akhirnya malah semakin berkonf...