25: Kembali Ke Indonesia

224 27 2
                                    

Mengapa kembali? Tentunya, karena tak ada pilihan, Ratu membathin.

Langkahnya begitu gontai sejak tiba di bandara Soekarno Hatta. Dia bahkan tak mempedulikan koper-kopernya, hanya Putri yang digandengnya untuk bersiap memasuki mobil dimana Pak So, sopir kiriman Jarot telah menjemputnya. Tak ada pengalawan luar biasa seperti dulu. Hanya seorang pria muda yang kemudian tampak kerepotan mengangkut segenap koper.

"Karyawan baru?" Tanya Ratu, seraya melepas kacamatanya.

Pak So yang juga ikut membawa koper cepat mengangguk,"Iya, itu Arman. Saat Ibu ke Amerika, Bapak mempekerjakannya untuk mengurus kamar Ibu dan Non Putri. Waduh, Pak So pangling lihat Non Putri sekarang. Agak beda yo? Nggak bule lagi. Tapi jadi betul-betul mirip Pak Jarot..."

Ratu memalingkan muka, berpura-pura memperhatikan Arman mengangkut koper. Cepat atau lambat, dia harus kuat mental untuk mendengar komentar serupa seperti yang dilontarkan Pak So. Mereka baru pergi setahun ke Amerika, tapi wajah si Putri betul-betul berubah drastis. Seketika, Ratu berharap agar semua orang mendadak amnesia.

"Sesibuk apa Bapak di kantor, So. Sampai tidak jemput Ibu dan Putri?" Tanya Ratu, saat mereka sudah berada di dalam mobil yang melaju.

"Ka-kata Bapak, sedang mau ketemu orang yang mau beli tanah yang di Bogor, Bu." Sahut Pak So, gugup.

"Apalagi yang mau dijual? Tidak kepalanya saja dia gadaikan. Pokoknya, rumah besar jangan sampai dia sentuh."

"Ru-rumah besar sudah lepas, Bu. Bapak nggak cerita?"

"Hah?!"

"Makanya, ini kita tidak akan ke rumah besar, Bu. Tapi apartemen Glanola."

"Glanola?"

"Iya, Bu. Itu juga sedang proses jual, Bu."

"Terus, nanti tinggal dimana jika semua ludes? Siapa yang beli rumah besar, aku mau Jarot beli balik!"

"Rumah itu sudah dibeli Pak Gun, suami Bu Angel yang artis itu. Lebih tepatnya, untuk menutupi hutang Bapak."

"Si Gun? Angel?!"

"I-iya, Bu. Orangtuanya Non Lovely."

"Ya, Allah..."

"Eyang Putri sampai koma, Bu. Mungkin tidak kuat dengan keadaan keluarganya sekarang, yang jatuh bangkrut habis-habisan. Bahkan kini, adiknya Bapak sedang perang sama beliau. Rebutan tanah dan rumah yang di Depok dan Serpong. Mereka tidak akur lagi. Saling serang dan saling melaporkan ke polisi."

"Ya, ampuuun...."

"Banyak Bu, yang terjadi. Mungkin Bapak menutupi semuanya dari Ibu, karena Ibu sedang fokus mengobati Non Putri. Sepeninggal Ibu, sebenarnya Bapak berulang kali masuk rumah sakit."

"Sakit?"

"Parah, Bu. Darah tingginya Bapak!"

"Tuhan..."

"Sekarang, sopir juga tinggal saya Bu. Semua sudah dipecat. Pabrik di Cengkareng sejak terbakar, ya tidak dibangun lagi. Bapak sewa tempat lain, agar cepat mengisi kebutuhan pasar lagi. Tapi bisnis itu kejam ya, Bu. Tutup sehari saja kita sudah banyak kehilangan pelanggan. Apalagi tiga bulan? Bapak kehilangan pangsa pasar..."

Soal Pabrik lagi, Ratu benar-benar tertekan mendengarnya. Segudang rasa bersalah kembali menerpa. Jiwanya terluka. Kalimat demi kalimat yang diucapkan Pak So seakan menambahkan luka bathin. Jantungnya tertohok, ulu hatinya sakit. Sopir pribadi memang lebih tahu segalanya. Mereka menyimpan banyak cerita rahasia, baik yang sedih, senang, hingga busuk dan kacau.

Pak So telah bekerja lebih dari tujuh tahun, dan memang lebih banyak mengantar suaminya. Jadi segala hal dia paham, juga tahu. Kebenaran terkadang terungkap oleh para pekerja yang selalu bersama bosnya. Entah kejutan apalagi nanti, yang harus didengarnya dari orang-orang terdekat suaminya. Ratu hanya bisa memeluk erat anaknya, dia sudah pasrah.

RATU (Sisi Lain Kehidupan Wanita)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang