23- Terbiasa 🌱

0 0 0
                                    

"Arin," panggilan yang biasanya akan membuat Arin gusar, sekarang malah membuat Arin nyaman. Ini alasan kenapa sekarang Arin tidak sering ngambek. Karena Arin tidak kuat untuk mendiami Rangkap lagi.

Contohnya saat kemarin, habis pulang dari reyot, Arin diam hanya semalam. Paginya, dia memulai aktivitas seperti biasa. Ngobrol juga biasa. Karena Arin hanya butuh waktu untuk diam, dan tidak diberi pertanyaan. Maka hatinya akan membaik begitu saja.

Untuk saat ini, Arin seperti itu.

"Minta kecap lagi?" tanya Arin meraih botol kecap berwarna hijau disampingnya. Saat akan memberikan kepada Rangkap, yang dia dapatkan malah bibir Rangkap yang cemberut 30 senti.

"Gue mau yang lain."

"Apa?"

"Mau elo."

Meski wajahnya memanas, Arin tetap menunjukkan wajah bingungnya. Untung kulit Arin tidak putih, jadi tidak terlihat jelas memerah.

"Kan kita udah sering kan ya rin," Rangkap berucap kembali. Dengan tangan mengetuk ngetuk meja makan. Bibirnya beberapakali berubah bentuk karena tidak nyaman berbicara.

"Then? Nilai gue jadi naik karena sering bantuin," Arin menjawab dengan tersenyum.

"Aduh, maksud gue tuh, yang lain, lo.... udah gak nyesel kan? Ini semua udah bukan kesalahan lagi kan rin? Gue kan udah janji bakal buat kenyamanan. Jadi, gue lulus nggak?"

Arin terdiam sejenak, masih dengan senyum, kemudian menunduk. Memandangi jarinya yang berhias cincin. Yang kemudian, bergandengan dengan jari lain yang sama-sama terdapat cincin dijari manisnya. "A+, plusnya lima."

Rangkap tersenyum bahagia. Dengan tangan yang bertaut itu, Rangkap mencoba mendekatkan dirinya. Arin yang conect ikut mendekat dirinya juga. Saat benar-benar dekat, Arin menutup mata, menyilahkan Rangkap berbuat semaunya.

"Ternyata istri gue gapolos ya. Masih pagi rin gabole mikir yang enggak-enggak," Arin spontan membuka matanya. Yang ternyata Rangkap telah berdiri bersiap untuk berangkat kerja.

Arin kesal, sangat kesal.

Melihat kesempatan emas, Arin akan berlari untuk menabok Rangkap. Sampai hati Rangkap membuat Arin berharap. Enak aja, udah ngasih harapan, eh ngilang. Rangkap yang tau itu ikut berlari menenteng jaket dan tasnya. Akibatnya mereka saling kejar-kejar dari dapur, ruang tamu, dan halaman depan.

Sampai akhirnya, Rangkap menang dengan keluar pagar disertai sepedahnya. Gerbang dia tutup sebelum Arin menyusul. Alhasil, Arin hanya menatap Rangkap dari celah kecil diujung pagar.

"Tungguin huhh, gue huhhh, pulang hosh," Rangkap berucap dengan menahan gerbang agar tidak dibuka Arin.

"Lo curang, gue gasuka," Arin membalas, kaki berbalut training panjang itu berhentak sebal. Sedangkan badannya membungkuk melihat Rangkap dari celah pagar.

"Eh lo disitu. Udah, ya," Rangkap menjeda untuk bernafas panjang. "Gue gakuat lari-lari lagi. Ntar malah jadi operasi, kan ga lucu."

Karena tak ada sautan lagi. Rangkap membuka gerbang dengan sedikit. Hanya cukup untuk kepala menongol saja. Untuk memastikan bahwa Arin masih disana. Karena nyatanya, Arin masih disana. Dengan sinis memandang Rangkap.

"Hehe, gue berangkat ya, gausa cemberut ah, gue kan kerja cuman sampe isya'," Rangkap cekikikan karena terjepitnya kepala diantara gerbang.

"Nih salim, biar berkah rejeki gue," Rangkap membuka dahulu gerbang agak lebar sedikit. Kemudian menodongkan tangannya kedepan wajah Arin. Arin menerima tangan itu dengan diam.

"Gausa becanda soal hal yang gak gue tau bisa? Karna gue gapaham yang lo maksut sama operasi tadi. Gue gak tau apapun soal diri lo dan badan lo, gausa sok ngomongin apalagi becandain. Lo aja gamau terus terang sama gue. Gue takut omongan lo beneran."

Tiener LevenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang