32- Titik 🌱

1 0 0
                                    

"Gausa tegang kali."

"Gabisa, gue kemaren ujian nggak fokus. Jadi takut nilai gue turun."

"Kalo turun tinggal naikin kan bisa."

"Kap kap kap, sawadikhap. Kemana si otak lu? Tinking kek," Arin kembali menatap tembok dihadapannya.

Post it berbagai warna tampak tidak berarah. Tembok dipenuhi oleh post it dan berbagai foto kecil. Sangat estetik jika dikata anak gen z. Tapi itu dulu.

Ganbare!

Dahlah

Tapi, sekarang, Arin mencabut semua post it disana dan menyisahkan hanya 2 buah saja. Tiba - tiba saja, tanpa disuruh dan tanpa berencana, dia melepas semua post it itu.

Kamar Arin. Tidak heran jika suasana kamar mereka berbeda. Sekarang, mereka sedang menginap di rumah Arin. Tadi malam mereka berangkat, dan sekarang pagi telah tiba. Dengan kecemasan Arin sejak sholat shubuh tadi. Mengingat hari ini adalah hari paling horor,

Penerimaan rapor.

"Gue juga ga konsen. Malah gue yakin kalo mat gue salah satu, tapi gue tetep ceria," Rangkap yang duduk dikasur menyangkal omongan Arin tadi.

Arin menghembuskan nafas lelah. Tanpa berbicara lagi, dia keluar kamar. Tentunya dengan menggebrak pintu sampai berbunyi keras. Dug, gitu.

"Astaghfirullah bini gue. Barusan juga shubuhan udah kaya singa lagi," Rangkap mengelus dada. Kepalanya menggeleng dengan wajah melas.

"Gimana? Kamar kamu nggak bau debu kan?" Mama bertanya saat Arin sampai didapur. Dirinya duduk di meja makan untuk minum. Wajah - wajah kekesalan keluar dari tubuh Arin, padahal Mama hanya bertanya basa basi.

"Nggaklah, orang Arin bersiin dulu. Padahal ya, cuman beberapa minggu ditinggal. Tapi masyaallah debunya, tebel banget," Arin menjeda disaat minum.

Muncullah Ayah dengan wajah kebingungan. Matanya menatap handphone dengan panik. Lalu duduk, diam, kemudian mengetuk ngetuk kepala frustasi.

"Mama nggak ngebersiin apa apa dimeja Ayah kan?"

Mama menyerngit kemudian menggeleng. "Takut ntar ada yang hilang. Jadi aku biarin aja. Nggak aku pegang sama sekali."

"Napa yah?" Arin bertanya karena Ayahnya sekarang duduk disebelahnya. Ikut minum digelas yang berbeda dengan Arin. Tapi kepalanya menggeleng nggeleng menatap handphone.

"Ada berkas yang ilang rin. Masa Ayah kurang rekap anak yang namanya Firdan ini. Kemaren malem kan Ayah ngecek yang digital tuh. Nah kok kurang satu punya ni anak. Padahal udah dicetak semuanya, kok kurang?"

"Cariin deh. Siapa tau ada di laptop juga. Ayah punya rekap digital semuanya kan?"

Papa menoleh ke Arin. Matanya berdiam seperti berfikir sebntar. "Labtop Ayah barusan rusak. Jadi beberapa ilang, tinggal yang dikertas doang."

Arin dan Mama menggeleng nggeleng. Kalau sudah menjadi bubur, ya nggak bisa dibalikin jadi padi. Papa menaruh kepala di meja. Kepalanya serasa mendidih. Panas banget kalau deket penerimaan rapot seperti saat ini.

"Eh ntar Mama kan yang ngambil rapot Arin? Jangan lupa loh ma. Arin ngga ke sekolah soalnya. males," Arin mendekat ke dapur. Tangannya sudah siap menjedai rambutnya agar tidak mengganggu.

Mama terkekeh sebentar. "Iya iya. Cuman sekali doang Mama lupa, diingetin terus. Kan kamu juga yang nggak ngasih tau Mama waktu itu. Eh rin kamu potong pre nya deh kaya kurang ini," sebuah paragraf yang lengkap untuk Mama.

"Jangan banyak banyak atuh, gaenak malahan. Itu dah banyak, Mama," Arin malah mengambil centong sayur dilemari. Kemudian mencicipi kuah kare yang dimasak Mama. "Enak, gausa ditambah apa - apa lagi."

Tiener LevenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang