Sehari setelah pertemuan ku dengan Naya, aku memberanikan diri untuk bertanya kepada Abel mengenai kehidupannya. Tentu saja setelah mengungkapkan niatan ku responnya tidak terlalu bagus. Aura positif yang selalu terpancar darinya seketika menghilang.
Dari bahasa tubuhnya Abel terlihat sangat ragu untuk menceritakan apa yang telah terjadi padanya di masa lalu. Tentu saja dengan cepat aku menyelanya.
Seraya merangkul bahunya aku bilang, "Kalau kamu gak mau cerita juga enggak apa-apa. Aku enggak tau alasan apa yang kamu punya, tapi aku cuma mau bilang makasih udah mau bertahan sampai sejauh ini. Kamu hebat."
Abel tak bergeming. Aku memberanikan diri untuk melihat wajahnya yang sangat manis itu. Pipinya sudah basah oleh air mata yang jatuh sangat deras. Dan aku teringat kembali cerita Naya pada saat Abel mengetahui jika Mamanya sudah tidak ada.
Aku melihatnya saat ini saja membuat dada ku sesak. Apalagi jika aku melihat Abel kecil pada saat itu. Aku tidak bisa membayangkan sehancur apa hati ku.
Menit demi menit telah berlalu. Abel masih dalam pelukan ku, menangis dalam diam. Aku merasakan kaos ku yang mulai basah, namun tak apa. Aku sengaja tidak berkata sedikitpun dan hanya mengelus punggung Abel, membiarkan semua rasa sakit yang ia pendam selama ini mengalir bersamaan dengan air matanya.
Perlahan Abel mengangkat mukanya. Selembar tisu yang aku ambil dari meja di depan kita ku berikan kepadanya.
"Lega? Atau masih mau nangis?"
Ia menghela nafasnya panjang, "Udah."
"Bentar aku ambilin minum dulu."
Aku lalu beranjak menuju dapur untuk mengambilkannya segelas air putih.
"Maaf ya."
"Iya. Gak apa-apa." ujarnya setelah meminum air putih yang ku berikan.
"Aku gak bermaksud buat menggali luka lama mu."
"It's okay. Kayanya aku juga udah waktunya buat buang semua luka ku dan berdamai dengan itu semua."
"Take your time."
"I'm fine, aku udah terbiasa dengan rasa sakit."
Deg.
Aku memang belum lama mengenal Abel tapi entah mengapa ketika ia mengatakan "Aku sudah terbiasa dengan rasa sakit" sepertinya aku ingin menghabisi siapa saja yang telah membuatnya menderita selama ini.
"Since i believe in you. Kamu mau aku ceritain dari mana?"
"Huh?" aku terdiam sejenak.
"Hmm... up to you. Aku bakal dengerin kamu mau cerita dari mana aja."
Abel mulai bercerita how her life is.
Berawal dari dia menyebut dirinya sendiri adalah anak "haram".
Terkejut? Tentu saja aku terkejut.
Ibu dan ayahnya adalah teman semasa kuliah. Ibunya asli Pontianak, setelah lulus SMA dia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi di Singapore.
Layaknya pasangan yang sedang dimabuk cinta kedua orang itu selalu bersama seperti perangko dan amplopnya.
Masa kuliah mereka habiskan bersama begitu pula dengan masa awal mereka bekerja.
Saat itu ibu Abel tidak mengetahui bahwa perusahaan yang ia lamar adalah perusahaan milik orang tua pacarnya. Karena semasa kuliah pacarnya sangat low profile, sama sekali tidak mencerminkan bahwa dirinya adalah anak dari pemilik perusahaan yang cukup besar di Singapore.
Hubungan mereka berdua menjadi semakin serius. Di tahun ke 2 mereka kerja ayah Abel melamar ibunya dan berjanji untuk menikahinya setelah ia mendapatkan gelar Masternya 5 bulan lagi.
Namun semesta kali ini tidak memihak kepada dua insan tersebut. Bak di sambar petir di siang bolong beberapa minggu setelah lamaran romantis mereka, ayah Abel mengutarakan jika ia akan di jodohkan oleh salah satu anak dari teman orang tuanya.
Awalnya ibu Abel menentang semua itu dan ingin tetap bersama dengan ayah Abel. Namun ketika ia berfikir ya mungkin saja ini memang sudah jalannya. Mengingat hubungan mereka tidak pernah direstui oleh orang tua ayahnya Abel, karena banyak sekali perbedaan diantara mereka, mulai dari status sosial, agama, suku dan masih banyak hal lainnya.
Namun karena rasa cinta yang begitu kuat diantara mereka, ibu Abel tidak menghirauannya. Namun ketika Ayah Abel pulang dari s2 hal yang sama terjadi dengannya, ia dijodohkan juga. Ayah abel tak bisa menolak, dan akhirnya mereka menikah tanpa memutuskan hubungan dengan ibu Abel.
Bertahun-tahun mereka mencinta secara diam-diam, dan terjadilah sebuah kecelakaan yang akhirnya membawa Abel ke dunia yang jahat ini, dan sejak itu ibu Abel berpindah-pindah tempat tinggal untuk menyelamatkan diri dari teror istri ayah Abel yang sangat tidak suka dengannya.
Istri ayah Abel sangat murka ketika mengetahui hal tersebut, karena mereka selama ini mendambakan anak perempuan, sementara tiga orang anak yang telah ia lahirkan adalah laki-laki semua. Ia takut Abel dan ibunya akan menjadi kesayangan suaminya.
Bahkan Abel pernah bertemu sekali dengan istri ayahnya dan dia hampir kehilangan nyawa karena dicekik olehnya, untung ada kakak tertua Abel mengetahui hal itu dan langsung menghentikannya.
"Bagaimana?" tanya abel.
"No words can discribe." jawab brian lesu.
"Ya habis itu kita pindah ke Surabaya, tapi nyatanya mama ku juga gak selamat dari semua teror itu, dia meninggal gara-gara kecelakaan yang sudah direncanakan. Sejak itu aku berdiri sendiri dengan kaki ku. Untung ada Naya dan keluaganya yang selalu jadi support system ku. Mungkin kalo engga ada mereka mungkin aku udah nyusul mama dari dulu."
"Don't say that!" brian lalu memeluk abel erat, "You worth it, pasti ada sesuatu yang membahagikan yang sedang menantimu. Gak ada namanya anak haram. Itu cuma kelakuannya doang yang haram, semua anak bayi gak punya salah, dan mereka juga gak bisa memilih buat dilahirkan dari orang tua yang seperti apa."
"i love you Bel, no matter what. You really precious for me, i love you."
KAMU SEDANG MEMBACA
Get Into | DAY6
Fanfiction[This is life, we never know what will happens] Ternyata benar perjalanan hidup tidaklah semulus apa yang diinginkan. Cinta, perbedaan, dan keegoisan adalah 3 hal yang selalu menghalangi kisah indah itu. Dan perpisahan, jangan pernah melupakannya...